news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kisah Warga di Lembah Leuser, Aceh: Berjuang Menolak PLTA Tampur

Konten Media Partner
21 September 2020 10:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kampung Lesten di lembah leuser. Foto: Habil Razali/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Kampung Lesten di lembah leuser. Foto: Habil Razali/acehkini
ADVERTISEMENT
Kabut tipis bergelayut rendah menyelimuti pegunungan yang memagari Kampung (desa) Lesten, pedalaman hutan Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues, Aceh. Dari kejauhan, kicau burung sayup-sayup merambat ke telinga. Suaranya sesekali beradu dengan pekikan satwa liar.
ADVERTISEMENT
Hawa sejuk pagi terasa menusuk, saat acehkini menyambangi kawasan itu, Rabu (16/9/2020). Kampung Lesten berada di lembah pegunungan Kawasan Ekosistem Leuser. Terpaut sekitar 60 kilometer dari ibu kota kabupaten, Blangkejeren, Lesten masih belum tersambung sinyal telepon seluler. Berpenghuni 235 penduduk dari 82 kepala keluarga, Lesten diapit rangkaian gunung dengan hutan rimbun dan lebat.
Di sana, rumah-rumah penduduk dibangun di lereng gunung. Berbahan kayu dan semi permanen. Sekitar 500 meter sebelah utara perumahan, air sungai Lesten mengalir deras. Bermuara ke Selat Malaka, aliran sungai itu melewati Kota Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang.
"Sungai ini yang ingin dibendung untuk pembangunan PLTA Tampur-I," kata Mat Ali, warga Desa Lesten, sembari menunjuk. Ia berdiri persis di tepi sungai selebar sekitar 100 meter itu.
ADVERTISEMENT
"Kampung Lesten akan menjadi laut kalau itu terjadi,” sambungnya.
Sungai di Kampung Lesten. Foto: Habil Razali/acehkini
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur-I akan membuat air sungai Lesten ditahan dalam bendungan setinggi 173,5 meter dan memiliki daya tampung 697,4 juta meter kubik air. Titik genangan air direncanakan berada di Kampung Lesten.
Perusahaan penggarap mega proyek itu meminta warga Lesten agar bersedia direlokasi. Mat Ali masih mengingat betul tawarannya, yakni akan mendapatkan rumah baru, uang Rp 200 juta per kepala keluarga, dan lahan perkebunan diganti rugi. Syaratnya, warga harus ikut diungsikan ke desa lain.
Iming-iming itu nyatanya tak membuat warga Lesten goyah. Menurut Ali, masyarakat mengkhawatirkan pembangunan PLTA dengan bendungan besar akan menenggelamkan sejarah panjang Kampung Lesten. Termasuk kuburan para leluhur. "Kalau jadi relokasi, anak cucu kami bakal tidak tahu lagi dasar sejarahnya. Kami menolak keras," ujarnya.
Aliran sungai di Kampung Lesten. Foto: Abdul Hadi/acehkini
Wacana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur-I di Desa Lesten bermula ketika Gubernur Aceh, Zaini Abdullah pada akhir masa jabatannya mengeluarkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) kepada PT Kamirzu pada 9 Juni 2017. Pemberian izin tersebut seperti tertuang dalam Keputusan Gubernur Aceh Nomor 522.51/DPMPTSP/1499/IPPKH/2017.
ADVERTISEMENT
Lampu hijau diberikan untuk pembangunan PLTA berkapasitas 433 Mega Watt pada areal seluas 4.407 hektare. Selain Lesten di Kabupaten Gayo Lues, area pembangunan juga termasuk ke wilayah administrasi Kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Timur. Luas wilayah PLTA itu masuk dalam kawasan hutan lindung, hutan produksi, dan area penggunaan lain.
Sebab pengeluaran izin itu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh bersama Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menggandeng 9 pengacara, menggugat Gubernur Aceh ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh pada 11 Maret 2019 dengan nomor 7/G/LH/2019/PTUN.BNA.
Pertarungan di meja hijau dimenangkan Walhi Aceh setelah majelis hakim mengabulkan seluruh tuntutan dan membatalkan izin IPPKH pembangunan PLTA Tampur-I pada 28 Agustus 2019. Atas putusan itu, Pemerintah Aceh lalu mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Medan, Sumatera Utara.
ADVERTISEMENT
Di PTTUN Medan, Pemerintah Aceh juga kalah. Majelis hakim dalam putusannya menguatkan putusan PTUN Banda Aceh terkait gugatan tersebut. Dua kali kalah di persidangan, Pemerintah Aceh lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dengan nomor 270 K/TUN/LH/2020.
Pada 28 Juli 2020, sebagaimana dikutip dari laman resmi Mahkamah Agung, majelis hakim memutuskan menolak kasasi tersebut. Dengan putusan ini, izin IPPKH pembangunan PLTA Tampur-I telah batal.
Kawasan Ekosistem Leuser. Foto: Habil Razali/acehkini

Kolam Gajah di Hutan Lesten

Mega tipis nyaris menutupi Gunung Berawang Gajah saat matahari belum meninggi. Dari tepi sungai Lesten, ancala dengan pepohonan rimbun itu hanya terlihat bagian puncaknya saja. "Berawang itu bahasa Gayo, artinya lubuk, tempat mandi gajah. Di situ memang ada gajah," ujar Mat Ali.
ADVERTISEMENT
Berawang Gajah adalah salah satu pegunungan yang mengelilingi Kampung Lesten. Hingga sekarang, gunung itu masih menjadi habitat bagi gajah liar dan satwa dilindungi lain, seperti harimau dan orang utan. Seandainya izin pembangunan PLTA Tampur-I tak dibatalkan, Berawang Gajah disebut akan menjadi bagian dari dinding bendungan.
Perumahan warga di Kampung Lesten. Foto: Abdul Hadi/acehkini
Kini, Mat Ali sedikit lega setelah mendapat kabar bahwa izin pembangunan PLTA Tampur-I dibatalkan. Tapi di sisi lain, Kepala Dusun Berawang Gajah, Desa Lesten, Edwir Z, merasa gusar. Sebabnya, beberapa pekan ini telinganya menangkap isu tak sedap lain. "Kabarnya kan ada perusahaan lain mau masuk lagi ke sini," ujarnya.
Meski kabar itu belum jelas, Edwir dan masyarakat Lesten sudah membulatkan tekad: menolak pembangunan PLTA dan lokasi bendungan di Lesten. "Masyarakat enggak terima, karena ini tanah nenek moyang dan pekuburan mereka juga di sini," tuturnya.
Edwir (kiri) dan Mat Ali. Foto: Habil Razali/acehkini
Edwir dan Mat Ali memiliki harapan besar, yaitu punya sesuatu yang bisa diwariskan untuk anak dan cucunya kelak. Di Lesten, warisan berharga itu adalah hutan lindung Leuser yang menjadi paru-paru dunia dan rumah bagi satwa yang terancam punah. "Kalau sampai terjadi bendungan, itukan putus untuk generasi penerus," ujar Edwir. []
ADVERTISEMENT