news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Jelajah Desa Tertinggal di Aceh: Kisah Rakit dan Jalan Berlumpur (1)

Konten Media Partner
1 September 2020 17:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Krueng Nagan, pintu masuk Desa Blang Lango. Belum ada jembatan di sana. Foto: Siti Aisyah/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Krueng Nagan, pintu masuk Desa Blang Lango. Belum ada jembatan di sana. Foto: Siti Aisyah/acehkini
ADVERTISEMENT
Matahari perlahan terbenam di ufuk barat. Hari mulai gelap saat acehkini menginjakkan kaki di tepi Krueng (sungai) Nagan, setelah menempuh perjalanan lebih sejam dari pusat ibu kota Kabupaten Nagan Raya, Aceh.
ADVERTISEMENT
Sungai beraliran deras itu menjadi titik pembatas antara Desa Alue Tho, dan Desa Blang Lango di Kecamatan Seunagan Timur, Nagan Raya. Krueng Nagan itu menjadi pintu akses utama menuju Desa Blang Lango yang berada di seberang.
Tidak ada jembatan yang membentang di atas aliran sungai untuk ke desa seberang. Pilihan satu-satunya hanya rakit, termasuk untuk mengangkut kendaraan. Di atas aliran air, rakit terombang-ambing. Kami harus berpegangan. Sedikit saja lengah akan tercebur ke dasar sungai berair kecoklatan.
Di seberang sungai, seorang pria paruh baya berbadan ceking itu tengah menanti. Ia melambaikan tangan ke arah kami. Namanya Arifin, warga Desa Blang Lango, Kecamatan Seunagan Timur.
Sabtu (29/8) itu, tubuh Arifin dibaluti baju merah dan celana jin pudar sobek-sobek. Kakinya dibiarkan telanjang menginjak tanah tanpa alas. “Kita istirahat dulu di sini sambil minum kopi," katanya, menyapa kami sembari menuntun ke sebuah kios.
ADVERTISEMENT
Tidak jauh dari tempat rakit berlabuh, terdapat sebuah kios yang menjual minuman dan makanan ringan. Ini menjadi semacam pos istirahat bagi orang-orang yang keluar-masuk Desa Blang Lango.
Arifin adalah pengepul yang membeli hasil pertanian warga untuk dijual ke pasar di ibu kota kecamatan atau kabupaten. Saban hari ia harus menaiki rakit untuk keluar dari Blang Lango. "Sewa perahu (rakit) untuk kami warga lokal per bulan 50 ribu per warga," ceritanya.
Potret jalan di pelosok Nagan Raya, Aceh. Foto: Siti Aisyah/acehkini
Menaiki sebuah rakit masih tak seberapa bagi Arifin bila dibandingkan dengan perjalanan yang harus membelah bukit dan melalui jalanan curam sebelum akhirnya tiba di sungai. "Paling sekali bawa barang dapat untung 100 ribu," ujarnya.
Sebagai tengkulak hasil pertanian warga, Arifin harus membeli dengan harga murah atau setengah dari harga normal. Misalnya buah sawit segar biasanya laku Rp1000 per kilogram, Arifin membelinya Rp500.
ADVERTISEMENT
Ini terpaksa dilakukannya mengingat harus mengeluarkan biaya besar agar sampai ke pasar. "Saya beli di sini pun untuk bantu warga, kalau enggak siapa yang sanggup bawa keluar ke sana," katanya.
Kondisi paling sulit dialami Arifin dan warga Desa Blang Lango saat musim hujan dan debit air sungai meningkat. Ini membuat desa itu terisolasi karena rakit sulit mengarungi aliran air sungai yang deras. "Kami pernah banjir satu minggu, itu susah kali enggak ada mata pencarian lain, hasil pertanian kami tidak bisa dijual," tuturnya.
Sekitar 20 menit rehat, perjalanan kami lanjutkan. Arifin mengengkol motor yang hampir seluruhnya diselimuti lumpur. "Ikuti saya ya, hati-hati jalannya licin dan becek. Pelan-pelan saja jangan sampai jatuh,” ujarnya mengingatkan.
ADVERTISEMENT
Mesin motor menderu. Petualangan baru saja dimulai. Suara motor memekik saat mendaki tanjakan pertama. Kerikil dan lumpur menghiasi jalanan. Sebelah kiri dan kanan jalan hanya tampak batang-batang kayu rimbun.
Kondisi jalan di Desa Blang Lango, Nagan Raya. Foto: Siti Aisyah/acehkini
Sesekali kami harus turun dari motor, lalu mendorong 'kuda mesin' itu menaklukkan tanjakan. Adakalanya harus sigap menjaga setang tetap stabil saat melintasi kubangan lumpur.
Dari sungai tadi, perumahan warga Desa Blang Lango berjarak sekitar 4 kilometer. Tak tampak aspal sedikit pun di sepanjang jalan. Beruntung, hari itu, hujan belum membasahi jalanan. Sehingga membuat perjalanan kami sedikit mudah dibandingkan bila tanah sudah basah.
“Beginilah yang kami lewati setiap hari, tidak hujan saja begini. Banyak sabar saja," ujar Arifin. [bersambung]