Kapal Apung Tsunami Aceh: Cerita Satu-satunya Awak yang Selamat (2)

Konten Media Partner
19 Desember 2019 9:28 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kapal PLTD Apung, situs tsunami Aceh. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Kapal PLTD Apung, situs tsunami Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Kapal PLTD Apung, salah satu situs tsunami paling terkenal di Banda Aceh. Ramai dikunjungi wisatawan yang ingin membuktikan dahsyatnya ombak raya, berhasil menyerat kapal seberat 2.600 ton dari laut ke darat, sejauh 4 kilometer.
ADVERTISEMENT
Ketika kapal PLTD Apung didatangkan ke Kota Banda Aceh, Aceh, tahun 2003, Faisal telah direkrut menjadi buruh operator kapal generator listrik milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) itu. Selain Faisal, kapal seberat 2600 ton itu membutuhkan 12 pekerja lain.
"Totalnya ada 13 pekerja di kapal, di mana empat orang berasal dari Aceh dan sisanya orang Kalimantan," kata Faisal (47 tahun), kepada acehkini, Minggu (15/12). Warga Gampong Punge Blang Cut, Kota Banda Aceh, ini sekarang bekerja di PLTD Sabang.
Jadi, menurut penuturan Faisal, kapal PLTD Apung itu sebelumnya berlabuh di berbagai daerah di Indonesia, untuk memenuhi kebutuhan listrik. Sebelum ke Aceh, kapal itu bertugas di Kalimantan. Sehingga sebagian besar pekerjanya kala itu memang dari negeri Borneo.
Kapal ini terseret sampai 4 kilometer dari laut ke darat. Foto: Suparta/acehkini
Nah, kapal itu kemudian dikirim ke Aceh, untuk memenuhi kebutuhan listrik di Kota Banda Aceh. Karena tahun 2000-an, konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Republik Indonesia sedang memanas. Sering tiang dan tower listrik interkoneksi Sumatera Utara-Aceh dirubuhkan, pasokan arus terganggu, pemadaman listrik menjadi hal biasa.
ADVERTISEMENT
Pada Minggu pagi, 26 Desember 2004, ketika Tanah Seulanga dihembalang gelombang tsunami, Kapal PLTD Apung sedang berlabuh di Pelabuhan Ulee Lheue, Kota Banda Aceh. Hari itu, di kapal terdapat tujuh pekerja yang sedang bertugas piket.
Setelah tsunami, Faisal hanya mengetahui satu sosok yang terhindar dari malapetaka itu meski sedang piket di Kapal PLTD Apung. "Namanya Deri, dia dari Kalimantan. Sementara enam orang lainnya sampai sekarang tidak ketemu," kata Faisal.
Lantas, seperti apa cerita Deri ketika tsunami melanda? Faisal menuturkan ulang kisah yang diutarakan Deri kepadanya tak berselang lama setelah tsunami.
Tugu di kompleks Kapal PLTD Apung, memuat nama-nama warga setempat yang meninggal. Foto: Suparta/acehkini
Minggu pagi itu, setelah gempa 9,2 Skala Richter, dari atas Kapal PLTD Apung, Deri melihat air laut surut. Kawasan pelabuhan Ulee Lheue, tempat kapal berlabuh menjadi kering. Kejadian itu begitu cepat. Kemudian posisi kapal pun bergeser sedikit miring.
ADVERTISEMENT
Deri dan enam pekerja yang piket di Kapal PLTD Apung kemudian bergegas keluar dan turun ke daratan. "Mereka berlari ke darat di pelabuhan. Dari sana, mereka kemudian berlari ke arah jalan Ulee Lheue," tutur Faisal.
Baru sekitar 10 menit mereka lari, tiba-tiba dari arah laut suara gemuruh disertai gelombang tinggi menggulung. Mereka terhempas air bah. Deri terseret arus ke laut. Saat gelombang kedua, Deri didorong ke daratan dan kembali ditarik ke laut ketika air surut.
Ketika di laut itulah, Deri mengambil sebuah pelampung yang terhempas dari kapal cepat di pelabuhan. Pelampung itu digenggamnya di antara puing-puing sampah yang diseret tsunami. "Saat dia memegang pelampung, dia lalu dihantam gelombang tsunami ketiga, dia terseret sampai ke belakang kampus Unida," kata Faisal.
ADVERTISEMENT
Unida adalah kependekan Universitas Iskandar Muda yang terletak di Gampong Surien, Kecamatan Meuraxa. Kampus ini hanya terpaut beberapa meter dari posisi Kapal PLTD Apung sekarang di Gampong Punge Blang Cut.
Kondisi permukiman warga di sekitar Kapal PLTD Apung, setelah 15 tahun tsunami. Foto: Abdul Hadi/acehkini
Dari belakang Unida, Deri melihat corong Kapal PLTD Apung. Menurut Faisal, kondisi Deri saat itu mengalami luka parah. Sekujur badannya terluka akibat terkena goresan seng dan puing-puing tsunami. Meski demikian, Deri kala itu berjalan merangkak dan tertatih-tatih menuju ke arah cerobong kapal.
Setelah menceritakan kejadian itu, Faisal dan Deri lama tak bertukar kabar. Faisal terakhir mendengar Deri bertugas di Kutacane, Aceh Tenggara, dan masih di bawah PLN. "Sampai sekarang belum bertemu lagi dengan dia," kata Faisal.
Sekarang, setelah 15 tahun tsunami, video penuturan Faisal mengenai tsunami Aceh diputar berulang-ulang di lambung Kapal PLTD Apung yang telah menjadi museum. Sementara Faisal masih menjadi buruh kontrak di PLTD Sabang di bawah PLN Aceh.
Para pengunjung di Kapal PLTD Apung jelang peringatan 15 tahun tsunami. Foto: Suparta/acehkini
Kapal itu pun kini dikunjungi ribuan pelancong saban hari. Berkat kapal itu pula, sebagian penyintas tsunami di Gampong Punge Blang Cut --tempat kapal berada sekarang-- memperoleh pendapatan dengan menjadi pemandu wisata di sana.
ADVERTISEMENT
Setelah dibuka untuk umum sebagai situs tsunami Aceh pada 2012, Kapal PLTD Apung menjadi berkah bagi warga sekitar. Salah satunya, dana pembangunan masjid di sana yang berasal dari kotak amal sumbangan pengunjung kapal.
Bagaimana cerita pembangunan masjid yang sebagian besar dananya dari sumbangan pengunjung Kapal PLTD Apung?
[Bersambung]