Konten Media Partner

Kelewang Aceh yang Menakutkan, Hingga Belanda Memakainya dalam Perang (16)

2 Desember 2021 10:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Banyak kisah tertulis maupun tidak dalam penggunaan senjata tradisional seperti rencong, pedang dan kelewang dalam sejarah perang Aceh melawan Belanda. Kelewang atau sejenis pedang dinilai ampuh dalam perang jarak dekat, begitu ditakuti serdadu marsose hingga mereka memakainya untuk mengimbangi para pejuang Aceh.
Pedang dan kelewang Aceh. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Pedang dan kelewang Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Ketangkasan pejuang Aceh menggunakan kelewang dalam perang menjadi momok yang menakutkan bagi Belanda. Malah gaya orang Aceh berperang dengan senjata itu disebut sebagai ‘how bovenop’ atau gaya tebasan puncak dari leher membelah rongga dada.
ADVERTISEMENT
Patroli-patroli Belanda sering kewalahan diserang dadakan dengan kelewang oleh kelompok-kelompok kecil pejuang Aceh yang mahir menggunakan senjata tajam. “Dalam kemahiran mempergunakan senjata pun mereka tidaklah berkurang, dan di sini senjata khas adalah kelewang alias peudeng yang panjang. Seseorang yang memperoleh hadiah dengan ‘how bovenop’ dengan kelewang, akan tamatlah perhitungannya dengan dunia ini,” tulis HC Zentgraaff dalam bukunya Atjeh (1938).
Kisah penggunaan kelewang Aceh dalam perang dapat dibaca dalam artikel berikut:
ADVERTISEMENT
Di daerah Seunagan (Kabupaten Nagan Raya sekarang), serbuan kelewang tradisional lebih berbahaya. Di daerah itu, pejuang Aceh menyerbu dengan sepenuh diri. Bertarung demi kepentingan bersama, melawan Belanda. Hal itulah yang membuat patroli Belanda sering mengalami kekalahan dan susah menaklukkan Aceh.
Potret pejuang Aceh dengan senjatanya. Dok. KITLV
Sebuah kisah lain misalnya, pada tahun 1905, ada dua kelompok pasukan Belanda berpatroli. Pada malam naas itu di kampung Rambong dan Sibabe, kedua pasukan itu dicegat pejuang Aceh sengan senapan dan kelewang. Serdadu Belanda hampir seluruhnya tewas bersama pemimpinnya, Letnan Donner. Sementara semua karaben dapat dirampas.
Begitu juga dengan pasukan patroli pimpinan Grunefeld, pada bulan Maret 1926, yang bergerak dari Singkil menuju Trumon, disebabkan oleh kurang waspada, mereka diserang. Hampir seluruh pasukan Belanda tewas. Lima belas pucuk karaben Belanda pun beralih tangan ke pejuang Aceh.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1902, Letnan Molenaar dan pasukannya juga tewas di Terbangan, Aceh Selatan. Dalam serangan dadakan pejuang Aceh menyerang dengan pedang panjangnya. Begitu juga dengan kejadian-kejadian pada April 1904, serangan terbesar yang membuat mental pasukan elit Belanda sekelas Marsose jatuh pada titik nadir.
Pedang pejuang Aceh saat perang melawan kolonial Belanda, koleksi Museum Aceh. Foto: Adi Warsidi/acehkini
Untuk mengimbangi keahlian pejuang Aceh menggunakan kelewang dalam perang, pasukan marsose Belanda kemudian juga dilatih menggunakan senjata yang sama.
“Perang gerilya yang telah berlangsung selama bertahun-tahun itu, tidaklah dimenangkan oleh banyaknya pasukan kita terhadap lawan. Hampir selalu yang memperoleh sukses dalam pertempuran-pertempuran adalah satuan-satuan kecil yang lebih lemah dari pada musuh, berkat keberanian dan ketrampilan lelaki-lelaki kita, yang bahkan cekatan pula menggunakan senjata khas bangsa Aceh; yakni kelewang, dapat mengungguli lawannya,” tulis Zentgraff. []
ADVERTISEMENT