Kematian Pada Larangan Menulis Nama dengan Tinta Merah di Korea

Konten Media Partner
4 Agustus 2020 12:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi tinta merah. Dok. pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tinta merah. Dok. pixabay
ADVERTISEMENT
Lain lubuk lain ikan, sebuah peribahasa yang kerap terdengar dalam kehidupan sosial, kebudayaan dan kepercayaan warga di berbagai belahan dunia. Peribahasa itu sebagai pengingat, kemana pun kita pergi harus saling menghormati kebudayaan masing-masing.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa hal yang menjadi tabu untuk dilakukan di daerah tertentu. Kadang bukan sekadar mitos, tapi ada sejarah panjang di balik larangan sebuah larangan.
Di Korea Selatan, ada beberapa mitos yang masih dipercaya masyarakat. Salah satu yang paling terkenal adalah: Jangan menulis nama memakai tinta merah’. Pada beberapa kebudayaan timur seperti negara-negara kawasan Asia Timur mengaitkan warna merah dengan kematian dan kesialan.
“Sebagai generasi muda memang sudah tidak percaya sama mitos-mitos pastinya, tapi kalau ada yang salah menulis nama pakai tinta merah entah kenapa kibuni nappa (merasa jengkel dan kurang senang),” kata Lee Jimin, warga Seoul, Korea Selatan kepada acehkini, Minggu (3/8/2020).
“Walaupun nggak percaya akan terjadi yang buruk, pokoknya sepanjang hari bisa bad mood,” tambahnya lagi sambil tertawa.
ADVERTISEMENT
Warga Seoul lainnya, Lee Geurim, mengatakan masih banyak yang mempercayain mitos ini. Namun, mereka tidak tahu menahu alasan kenapa larangan ini dibuat. “Kita tahunya hanya tidak boleh saja tapi alasannya, baca buku dulu mungkin,” katanya.
Menurutnya, di Korea Selatan hanya nama orang yang meninggal atau surat ancaman yang biasa ditulis dengan tinta merah. “Jadi kalau ada teman yang menulis nama kita dengan tinta merah, itu hal yang serius, apa dia tidak suka sama kita,” tambahnya lagi.
Menulis sebuah nama dalam tinta merah, bisa diartikan bahwa seseorang yang menulis ingin orang yang ditulis namanya tersebut meninggal, atau paling tidak mendapatkan kesialan.
Aktivitas warga Seoul di salah satu pasar tradisional. Foto: Khiththati/acehkini
Menurut beberapa sumber di Korea Selatan, paling tidak ada dua alasan mitos ini dipercayai. Pertama, warna merah mengingatkan pada darah yang secara umum merupakan pertanda kematian dan rasa sakit. Kedua, saat seseorang meninggal namanya akan ditulis dalam tinta merah dalam buku catatan daftar keluarga dan spaduk pemakaman.
ADVERTISEMENT
Penulisan ini dilakukan untuk mengusir roh jahat. Namun ketika nama itu ditulis pada orang yang masih hidup maka efek yang terjadi malah sebaliknya. “Walaupun begitu, untuk stempel nama pada dokumen resmi di Korea banyak yang menggunakan tinta merah dan ini masih dianggap tidak apa-apa,” jelas Lee Geurim.
Kapan awalnya nama orang meninggal ditulis dengan tinta merah? Beberapa sumber mengatakan, ini erat kaitannya sat perang saudara di Korea terjadi selama tiga tahun pada tahun 1950. Ada banyak yang menjadi suka relawan dan berangkat ke medan perang. Karena perang, ada banyak kematian yang harus diumumkan.
Area pemakaman Dongjak di Seoul, tempat korban perang Korea. Foto: Khiththati/acehkini
Saat itu untuk memberi kabar tentang kematian, nama mereka akan dikirimkan ke keluarga dengan bertuliskan tinta merah. Bayangan tentang horornya perang dan kematian keluarga tercinta membuat banyak orang tentunya takut melihat nama dengan tinta merah. Kisah perang Korea ini juga masih menimbulkan luka bagi masyarakat, membuat ingatan mereka akan perang terasa lebih dekat.
ADVERTISEMENT
Namun ada juga yang percaya bahwa mitos ini sudah berkembang jauh, sebelum masa perang Korea. Raja Qin Shi Huang dari dinasti Qin di Tiongkok sangat terkenal di Korea, dan kepercayaannya pada hal mistis. Raja ini juga yang membangun tembok besar di China dan kompleks Terracotta.
Konon, Sang Raja sangat menyukai warna merah, dan tidak ada yang boleh menggunakannya selain dirinya. Sehingga siapapun yang menulis nama mereka dengan tinta merah, maka raja tidak ragu untuk membunuh yang bersangkutan. Setelah itu, orang mulai takut menuliskan nama dengan tinta merah. Besarnya pengaruh Sang Raja, sehingga kepercayaan ini juga masuk ke semenanjung Korea.
Kisah lainnya datang pada masa dinasti Joseon berkuasa. Setelah kematian Raja Sejong, tahta diambil oleh anaknya Munjong. Sedangkan anak keduanya, Sejo, dianggap tidak layak menjadi raja. Saat kematian sang kakak setelah dua tahun menjabat, Sejo juga tidak diangkat menjadi Raja.
ADVERTISEMENT
Saat itu putra satu-satunya Munjong yang bernama Danjong, masih berusia dua belas tahun menaiki tahta. Singkat cerita Pangeran Sejo kemudian melakukan kudeta dan membunuh Danjong, agar bisa menjadi raja. Sejo juga ingin membunuh semua pejabat tinggi yang selama ini mendukung keponakannya itu. Ia kemudian membuat catatan kematian.
Kompleks perumahan kuno peninggalan Dinasti Joseon. Foto: Khiththati/acehkini
Para pejabat yang namanya ada dalam catatan itu dipanggil ke istana utama dengan menggunakan nama keponakannya. Legendanya catatan kematian itu ditulis menggunakan tinta merah. Sejo sendiri bukanlah raja yang dihormati di Korea, berbeda dengan sang ayah Raja Sejong yang sangat dicintai.
“Anak muda sekarang ini, banyak yang tidak tau dari mana asal cerita tinta merah ini, hanya orang tua yang tau,” kata Lee Geurim.
ADVERTISEMENT
“Namun, tentu kisah perang saudara itu yang masih sangat melekat dan diingat banyak orang serta saksi hidupnya masih banyak,” sambungnya lagi.
Kata Lee Geurim, terlepas bahwa itu mitos atau bukan, tetap saja menulis nama orang Korea dengan tinta merah dianggap tidak sopan. “Pokoknya harus hati-hati jangan sampai salah,” dia mengingatkan. []