Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Kerkhof Petjut, Saksi Bisu Perang Aceh (2)
28 Februari 2019 17:11 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:03 WIB
ADVERTISEMENT
Nur Habibah duduk menyandar ke dinding gapura. Pandangannya menatap deretan pot bunga hias yang ditaruh rapi di areal parkir. Angin pada Senin (25/2) sore itu menerpa rambutnya yang dibiarkan terurai. “Di depan ini lebih adem,” katanya saat dijumpai acehkini di areal Kerkhof.
ADVERTISEMENT
Wanita yang sudah menetap di komplek Kerkhof Petjut sejak tahun 1980-an itu ditemani suami dan anak perempuannya. Kak Nur, demikian ia disapa, tidak ingat berapa kali Walikota berganti sejak dirinya menghuni areal kuburan. “Ka nam go gantoe Walikota, tapi lon mantong tinggai di sinoe,” katanya dalam bahasa Aceh yang kental. Ia hanya ingat, saat Walikota Baharuddin Yahya memerintah, ia sudah tinggal di sana.
Saat itu, orang tua Kak Nur bekerja di kantor Dinas Pertanian. Sehari-hari, ia memotong rumput di areal kuburan untuk pakan ternak. Dari kebiasaan memotong rumput itulah dia diajak untuk menjaga komplek. “Bapak saya bekerja di sini sejak masih digaji 50 ribu sebulan,” cerita wanita yang kini menjual bunga hias di areal kuburan.
ADVERTISEMENT
Saat ini, kata Kak Nur, mereka diberi gaji hingga Rp2 juta per bulan. Gaji itu selalu dibayar tepat waktu dan harus diambil di kantor perwakilan Yayasan yang ada di Aceh. Menurutnya, gaji untuk para pengelola dikirim langsung dari Belanda. Ya, sejak tahun 1976, pengelolaan Kerkhof Petjut berada di bawah Stichting Petjut-Fonds atau Yayasan Dana Petjut.
Kerkhof Petjut mulai menjadi lokasi kuburan untuk para korban perang dimulai sejak tahun 1874, tak lama setelah Belanda memulai kampanye perang terhadap Kerajaan Aceh. Perang yang berlangsung mulai dari 1873 hingga 1942 menuntut banyak sekali korban. Tidak semua korban perang itu dipulangkan ke Batavia atau negeri Belanda. Sebagian dari mereka dikuburkan di tanah lapang, tempat di mana Meurah Pupok, putra Iskandar Muda, dikuburkan. Sejak itu, areal yang berada tak jauh dari Meuligoe Aceh itu pun menjadi kuburan bagi serdadu Belanda yang gugur di medan perang.
ADVERTISEMENT
Pembangunan komplek kuburan secara resmi mulai dilakukan pada 1893. Ditandai dengan pembuatan tembok melengkung seperti terlihat hari ini. Di tembok yang dihias dengan marmer itu, nama semua para prajurit yang gugur di medan perang dicatat. Langkah ini tidak terlepas dari andil Willem Alexander Paul Frederik Lodewijk van Oranje-Nassau atau Raja Willem III.
Raja Willem, mangkat 17 tahun setelah Kerajaan Belanda memaklumkan perang terhadap kerajaan Aceh, dikenal sangat peduli dengan nasib prajurit. Di negeri Belanda, misalnya, ia merintis pembangunan Museum Perang, Bronbeek, di Arhem untuk mengenang pasukan setianya, KNIL. Hingga hari ini, di museum itu, kita bisa menemukan mantan veteran perang, sebagian dari mereka diperkerjakan sebagai tukang sapu, penjaga dan interpreter bagi para pengunjung museum.
ADVERTISEMENT
Kerkhof Petjut menjadi peninggalan fisik terbesar dari Perang Belanda di Nusantara.
Dikepung Prajurit Belanda
Makam Meurah Pupok. Makam tampak kontras dibanding makam lain di areal Kerkhof Petjut. Dibangun lebih tinggi dari makam para prajurit marsose yang tewas dalam Perang Aceh. Makam Meurah Pupok dipayungi sebatang pohon laban (bak mane) yang rindang. Ada tiga makam di dalam komplek yang dipugar dengan jeruji besi seukuran lengan orang dewasa.
Dari pintu masuk, makam Meurah Pupok berada di blok bagian kiri. Tak jauh setelah nisan Mayor JHR Kohler, ada sebuah jalan kecil yang tersambung ke arah makam. Sehelai kain kuning keemasan yang diikat di batu nisan menjadi pembeda dari dua makam di sebelahnya. Bentuk batu nisan di makam Meurah Pupok menyerupai batu nisan untuk kuburan para bangsawan. “Dua makam lain, masing-masing yang satunya seorang panglima, sementara seorang lagi milik abdi dalem kerajaan,” kata Ampon Bit kepada acehkini.
ADVERTISEMENT
Meurah Pupok adalah putra Sultan Iskandar Muda (1583-1636). Di lingkungan Istana Dalam, sang putra kesayangan yang dihukum mati itu populer dipanggil dengan sebutan Phoe-teu-tjoet atau Putra Mahkota dalam bahasa Aceh. Konon, Meurah Pupok dihukum karena berbuat serong dengan seorang istri pejabat kerajaan. Ketika menghukum anak lelakinya itu, sultan mengeluarkan sebuah petuah yang populer sampai sekarang. “Mate aneuk meupat jeurat, gadoh adat ho tamita,” ucap Sultan, dan kata-katanya tersebut kini dinukilkan pada papan di depan makam.
Tidak ada keterangan resmi mengapa Meurah Pupok dimakamkan di lokasi yang hanya berjarak sekitar 500 meter dari Gunongan, tempat pemandian permaisuri Sultan. Menurut Ampon Bit, tempat itu merupakan arena berlatih kuda untuk putra Iskandar Muda dan anak pejabat kerajaan. “Dulunya, di lokasi ini, Meurah Pupok berlatih menunggang kuda,” kata Ampon Bit. Ketika Belanda menduduki Aceh, lokasi ini dijadikan sebagai areal pemakaman.
ADVERTISEMENT
Nama Phoe-teu-tjoet itu di kemudian hari berubah menjadi Peutjut, nama resmi komplek pemakaman militer Belanda ini. Kerkoff Petjut. Bagi orang Aceh, keberadaan makam Meurah Pupok di antara kuburan prajurit Belanda itu seperti mengonfirmasi kebenaran kata-kata Sultan. Mate aneuk meupat jeurat. Atau anak yang sudah meninggal jelas di mana kuburnya. [bersambung ]
Reporter: Taufik Al Mubarak
Live Update