Konten Media Partner

Ketua DPR Aceh: Perubahan Qanun LKS Bukan Menghapus Substansi Syariat Islam

14 Mei 2023 10:47 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi rapat di gedung DPR Aceh. Foto: Habil Razali/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi rapat di gedung DPR Aceh. Foto: Habil Razali/acehkini
ADVERTISEMENT
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPR) Aceh mewacanakan revisi Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS), guna menyempurnakan produk hukum. Ide melakukan perubahan tersebut mesti disikapi secara bijak, lantaran yang hendak diubah produk buatan manusia.
ADVERTISEMENT
"Qanun LKS merupakan produk Pemerintah Aceh dan DPR Aceh yang telah melalui berbagai proses hingga disahkan dan diberlakukan di Aceh. Tetapi dalam perjalanan waktu, terdapat beberapa kelemahan dalam implementasi dan kebijakan dari produk hukum tersebut sehingga tidak salah juga apabila Pemerintah Aceh dan DPR Aceh berinisiatif melakukan beberapa perubahan demi kesempurnaan dan kemaslahatan ummat," ujar Saiful Bahri alias Pon Yaya, Ketua DPR Aceh dalam keterangannya, Sabtu (13/5/2023).
Wacana perubahan Qanun LKS belakangan justru disikapi negatif oleh beberapa pihak di Aceh, dan bahkan ada yang menggiringnya ke arah yang lain. Padahal, wacana mengubah Qanun LKS tersebut bukan untuk menghapus atau bahkan berniat menghilangkan sistem syariat Islam dalam sistem keuangan di Aceh seperti yang ada di dalam beberapa pasal, di dalam produk hukum tersebut.
ADVERTISEMENT
"Jadi tidak ada keinginan mengubah syariat Islam, melainkan untuk memberikan pilihan bagi warga Aceh dalam menggunakan jasa lembaga keuangan," kata Pon Yaya.
Selama ini, banyak warga Aceh yang menggunakan Bank Syariah Indonesia (BSI) sebagai tempat untuk menyimpan uang mereka setelah hengkangnya bank konvensional. Masyarakat di Aceh pun seakan-akan beranggapan, setelah tidak ada lagi bank konvensional, maka hanya BSI dan Bank Aceh Syariah (BAS) yang dapat digunakan jasanya dalam menyimpan uang.
Padahal, menurut Pon Yaya, di Aceh masih memiliki sejumlah bank lain yang menerapkan sistem syariat dan tetap beroperasi setelah berlakunya Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Dia mencontohkan beberapa bank tersebut seperti BCA Syariah, Bank Muamalat, Maybank Syariah, Bank Danamon Syariah, Bank BTN Syariah, Bank CIMB Niaga Syariah, Bank BTPN Syariah, dan Bank Mega Syariah.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, dalam perjalanan kebijakan dan pelaksanaan di lapangan, beberapa bank yang menabalkan kata "syariah" tersebut belum mampu memenuhi keinginan dan memberikan pelayanan optimal kepada nasabah di Aceh.
Pelayanan yang dimaksud seperti terdapat beberapa bank tersebut yang hanya membuka kantor cabang di kota-kota tertentu saja. Selain itu, mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) milik bank-bank tersebut yang seharusnya menjadi media untuk memberikan pelayanan maksimal bagi nasabah juga belum terlihat di setiap sudut kota, seperti yang dilakukan oleh Bank Aceh Syariah (BAS) dan BSI.
Dia menambahkan, ketidaksiapan bank konvensional dalam mengimplementasikan Qanun LKS juga berbuntut panjang dengan mengalihkan nasabah-nasabah mereka ke BSI. Pengalihan nasabah secara besar-besaran yang terjadi tersebut belakangan lebih terkesan seperti monopoli terhadap jasa perbankan di Aceh. Akibatnya, ketika BSI mengalami masalah seperti dalam beberapa hari terakhir, warga Aceh pun menjadi korban karena tidak adanya alternatif dalam menggunakan jasa lembaga keuangan seperti di daerah lain.
ADVERTISEMENT
Pon Yaya mengakui bahwa pelaksanaan Syariat Islam di Aceh merupakan buah panjang perjuangan yang sempat digelorakan oleh orang-orang Aceh, sejak Indonesia merdeka. Qanun LKS pun lahir dari proses perjuangan tersebut yang merupakan buah dari keinginan warga Aceh untuk menjalankan syariat Islam secara kaffah. Pun demikian, Pon Yaya berharap, para pihak tidak boleh menafikan bahwa kelahiran Qanun LKS tidak untuk menjadikan bank tertentu memonopoli jasa lembaga keuangan di Aceh.
Sebagai daerah yang berkeinginan maju dan berkembang, serta tidak selalu dijadikan jargon daerah tertinggal, Pon Yaya juga menyebut Aceh perlu mempertimbangkan berbagai peluang masuknya investor ke daerah ini termasuk dalam hal aturan daerah terkait jasa keuangan. Selama ini, terdapat keluhan dari beberapa calon investor yang terkendala untuk berinvestasi di Aceh karena tidak beroperasinya bank konvensional di daerah tersebut sehingga menyulitkan mereka dalam hal melakukan transaksi.
ADVERTISEMENT
"Kita buat program untuk investor masuk ke Aceh, jangankan masuk, pengusaha lokal pun terpaksa keluar hanya karena sulit bertransaksi di Aceh," ungkap Pon Yaya.
Kondisi inilah yang menurut Pon Yaya perlu disikapi bersama agar pelaksanaan Qanun LKS tidak terlalu dipaksakan bagi semua pihak. Dia mencontohkan seperti halnya pemberlakuan hukum cambuk di Aceh, yang hukum tersebut tidak berlaku bagi warga non-Muslim.
"Pada prinsipnya saya setuju agar bank yang menganut sistem syariah tetap kita pertahankan di Aceh, tetapi juga turut memberikan peluang bagi bank konvensional untuk beroperasi," tegas Pon Yaya.
Menurutnya dengan adanya pilihan tersebut, masyarakat akan diberikan pilihan dalam menggunakan sistem bank seperti apa untuk melakukan transaksi ekonomi di daerah ini. "Jika pun nanti bank konvensional kembali beroperasi di Aceh, tetapi pelayanan bank-bank syariah jauh lebih baik dengan adanya kejadian seperti yang dialami BSI dalam beberapa hari terakhir, warga Aceh kan tetap bertahan untuk menggunakan jasa keuangan bank sistem syariah," katanya lagi.
ADVERTISEMENT
Dia menegaskan bahwa wacana perubahan Qanun LKS bukan untuk menghapus substansi syariat Islam yang terkandung di dalamnya. "Saya secara pribadi mendukung bank syariat Islam yang rahmatan lil'alamin, bukan Bank Syariah Indonesia," ujar Pon Yaya.
"Kalau LKS mau diubah oleh dewan, tidak ada urusan dengan menjilat ludah sendiri. Setiap keputusan yang salah memang harus dikoreksi lagi, dan karena kita masih manusia, sangat wajar jika membuat kesalahan. Yang tidak wajar, kalau kita tahu salah, tapi tidak mau mengoreksi," pungkas Pon Yaya. []