Kisah Anak di Kota Sabang: Begitu Lahir Diberi Gaji (1)

Konten Media Partner
6 Oktober 2021 11:35 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ide memberi gaji bagi anak-anak di Kota Sabang melewati sejumlah tantangan. Program terintegrasi Pencegahan dan Penanganan Malnutrisi ini tak dilahirkan lewat ‘sim salabim aba kadabra’.
Tugu Merah Putih dengan latar pelabuhan di Kota Sabang. Foto: Abdul Hadi/acehkini
Aktivitas di kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Sabang belum berhenti, kendati jam telah menunjukkan pukul 21.00 WIB, Kamis malam (10/6/2021). Para pegawai telah berseragam bebas berkutat dengan lembaran-lembaran kertas, di depan komputer.
ADVERTISEMENT
Kepala Bappeda Sabang, Faisal Azwar, mondar-mandir mengawal. Menu kopi terlihat di beberapa meja. “Masih menyiapkan laporan pertangunggujawaban anggaran,” katanya saat menerima kami di sebuah ruangan.
Agenda pertemuan adalah untuk mendengar ceritanya tentang sukses Kota Sabang menjalankan program terintegrasi Pencegahan Malnutrisi pada Ibu dan Anak, sebuah terobosan bertujuan menjamin kesehatan dan kesejahteraan anak guna menciptakan generasi sehat, kuat dan cerdas.
Program besar itu punya banyak turunan, salah satunya Gerakan untuk Anak Sehat (Geunaseh) yang terfokus pada menekan angka stunting dan gizi buruk anak, digulirkan sejak 2019 disupervisi UNICEF dan Flower Aceh. Kebijakan ini disertai dengan bantuan dana tunai sebesar Rp 150 ribu setiap bulannya kepada semua anak berusia 0 hingga 6 tahun, ragam manfaat dirasakan warga Kota Sabang.
ADVERTISEMENT
Menurut Faisal, Geunaseh telah dirancang sejak akhir 2017. Kala itu, Sabang telah sukses dengan dana pendidikan untuk para siswa. UNICEF melakukan survei terkait hal itu, kemudian melihat ada celah untuk memberikan dana bagi anak-anak dalam rangka pengentasan stunting dan malnutrisi yang menjadi gerakan nasional di Indonesia, juga Aceh.
Kepala Bappeda Kota Sabang, Faisal Azwar. Dok. Pribadi
Sesuai data Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, prevalensi (faktor risiko) balita stunting di Aceh pada 2017 tercatat 34,5 persen, berada di atas rata-rata nasional yaitu 29,6 persen. Sementara di Kota Sabang, kondisinya berada di bawah rata-rata nasional. Saat itu isu stunting lagi panas-panasnya di Aceh.
Peluang perlindungan anak secara universal kemudian digarap Pemerintah Kota Sabang. Sejumlah peiabatnya rutin melakukan diskusi dengan perwakilan UNICEF di Aceh. “Kami butuh pengalaman dari UNICEF dalam menyusun konsep,” jelas Faisal.
ADVERTISEMENT
Ide itu disampaikan ke Wali Kota Sabang, Nazaruddin dan wakilnya, Suradji Junus. Mereka sepakat ditindaklanjuti. Selanjutnya pada 2018, rancangan dipacu melalui serangkaian studi literatur dan studi banding ke Papua. Kebetulan, UNICEF juga telah mendampingi program hampir serupa di provinsi paling timur Indonesia.
Soal anggaran, Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Sabang juga setuju. Rapat-rapat lintas sektoral terus dibahas untuk menyusun peraturan, mengintegrasikan dengan program nasional yang telah bergulir, sampai memberi nama program tersebut agar mudah diingat. “Saya sendiri yang mengusulkan nama Geunaseh atau Gerakan Untuk Anak Sehat, lalu didiskusikan bersama dan disetujui,” kata Faisal. Geunaseh dalam bahasa Aceh berarti kasih sayang.
Program yang didukung oleh UNICEF dan Flower Aceh sebagai mitra pelaksana terus dimatangkan dengan pendataan dan validasi, sasarannya anak umur 0-6 tahun, dengan jumlah sekitar 5.000 jiwa. Memilih anak 0-6 tahun didasarkan pada pertimbangan hanya anak golongan umur tersebut yang belum mendapatkan subsidi. Sementara umur di atas 6-18 tahun, telah diberikan dana beasiswa pendidikan.
ADVERTISEMENT
Soal besaran dana kepada penerima manfaat disepakati sebesar Rp 150 ribu per anak. Besaran dana ini merujuk pada diskusi bersama lintas sektor, berpatokan kepada standar Garis Kemiskinan (GK) atau nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memebuhi kebutuhan hidupnya selama sebulan.
“Rata-rata standar GK adalah Rp 450 ribu, kami sepakati subsidi Rp 150 ribu khusus pemenuhan gizi anak, kebutuhan lainnya dari orang tua masing-masing. Ini juga untuk mengurangi angka kemiskinan anak,” jelas Faisal. Total anggaran yang dikeluarkan untuk menjalankan program keseluruhan termasuk dana untuk anak, tercatat sebesar Rp 9,2 miliar per tahun.
Setelah semua konsep matang, pada 8 April 2019, Wali Kota Sabang Nazaruddin meluncurkan program geunaseh secara resmi di aula lantai VI kantor Wali Kota. Saat itu, Nazaruddin menyebut program sebagai respon cepat terhadap tingginya jumlah kasus malnutrisi dan stunting di Sabang.
Wali Kota Sabang, Nazaruddin saat launching Geunaseh. Foto: Humas Kota Sabang
Data Aplikasi Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (E-PPGBM) tahun 2018, angka stunting di sana tercatat 540 dari 2.037 balita atau sebesar 26.5 persen. Artinya, ada 1 dari 4 balita di Sabang mengalami stunting, melampaui batasan yang ditetapkan badan kesehatan dunia (WHO) sebesar 20 persen. “Program ini merupakan wujud nyata dari janji yang pernah kami sampaikan,” katanya saat itu.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, sangat penting melakukan intervensi terpadu terhadap penanganan malnutrisi dan stunting di Kota Sabang, agar tidak menyebabkan berbagai masalah lanjutan terkait gizi, dan berdampak pada ancaman generasi sehat di kota Sabang.
Geunaseh sejalan dengan Visi Pembangunan Kota Sabang yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kota Sabang tahun 2017-2022 yakni; “Terwujudnya pembangunan kota sabang yang mandiri, sejuk, tenteram yang berbasis wisata maritim dan berazaskan syariah dengan semangat kebersamaan (ulama dan umara).” Salah misinya adalah; “Meningkatkan pelayanan kesehatan yang manusiawi dan berkeadilan.”
Tak lama setelah diluncurkan, Nazaruddin mengeluarkan Peraturan Wali Kota Sabang Nomor 21 Tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kebutuhan Esensial Anak Usia 0-6 Tahun, tertanggal 23 Mei 2019. Di dalamnya tertuang segala proses pelaksanaan, dari penanggungjawab sampai pemantauan dan evaluasi.
ADVERTISEMENT
Kebijakan tersebut kemudian disempurnakan pada 17 Juli 2020, dengan keluarnya Peraturan Peraturan Wali Kota Sabang Nomor 21 Tahun 2020 tentang Perubahan atas peraturan sebelumnya tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kebutuhan Esensial Anak Usia 0-6 Tahun.
Pemukiman warga di Kota Sabang. Foto: Abdul Hadi/acehkini

Kebijakan Penuh Tantangan

Keraguan sempat muncul di benak masyarakat saat Geunaseh diluncurkan. Warga sempat menilai kebijakan tersebut tak akan memberikan banyak manfaat bagi anak atau kekhawatiran uang digunakan untuk kebutuhan pribadi orang tuanya.
“Awalnya masyarakat sempat menilai ini bantuan tak mengikat, bisa digunakan untuk apa saja tanpa pemantauan,” kisah Suryadi, warga Gampong Cot Bak U, Sukajaya, Sabang. Dia juga salah satu penerima manfaat Geunaseh.
Menurutnya, pemerintah gencar melakukan sosialisasi terkait dana tersebut yang tak diberi cuma-cuma. Bekerja sebagai Pendamping Desa di Tingkat Kecamatan, Suryadi kerap ikut memberikan kesadaran kepada warga di wilayah kerjanya. Sosialisasi diberikan untuk perangkat desa, selanjutnya bertanggung jawab memberikan pemahaman kepada masyarakat umum.
ADVERTISEMENT
Perlahan penerima manfaat mengerti, bahwa Geunaseh yang mengalirkan dana tunai untuk anak-anak mereka adalah bagian dari program terintegrasi Pencegahan Malnutrisi pada Ibu dan Anak. Artinya jika mau mengambil dana itu, maka orang tua harus patuh mengikuti semua layanan yang terintegrasi dengan Geunaseh, seperti Posyandu, konseling gizi dan PMBA (Pemberian Makan Bayi dan Anak), sanitasi lingkungan dan kegiatan lainnya untuk tujuan kesehatan dan kesejahteraan anak guna menciptakan generasi sehat, kuat dan cerdas.
“Sekarang masyarakat sudah paham soal ini, manfaatnya sudah dirasakan sangat besar bagi tumbuh kembang anak,” kata Suryadi.
Fasilitator Kelembagaan UNICEF di Kota Sabang, Eddy Husnizal mengakui adanya sejumlah tantangan saat mematangkan program. “Awalnya ini dianggap sebagai programnya UNICEF bersama Flower Aceh, bukan kebijakan Pemerintah Sabang. Tantangan itu teratasi lewat kampanye bersama,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya adalah persoalan teknis, dimulai dengan pendataan dan validasi. Semua penerima manfaat harus dipastikan sebagai penduduk Sabang, pengolahan yang berbasis internet, sampai pola pencairan dana langsung ke rekening orang tua si anak. “Awalnya ada yang nggak mau ke Posyandu, tapi mau uang,” jelas Eddy.
Untuk pengelolaan dan memudahkan pemantauan secara terpusat, saat ini sedang dikembangkan Social Protection Management Information System (SPMIS) atau Sistem Informasi Manajemen Perlindungan Sosial untuk Geunaseh.
Sistem yang terintegrasi adalah kekuatan dari kebijakan ini, sementara Geunaseh adalah pemantiknya. Semua kebijakan Pemerintah Kota Sabang, maupun kebijakan nasional yang berkaitan dengan anak dijalankan secara bersamaan. Lihat gambar berikut:
Alur program pengentasan malnutrisi ibu dan anak terintegrasi di Kota Sabang
Pemantauan dan evaluasi dilakukan ketat lewat Sekterariat Bersama (Sekber) Geunaseh, menggelar rapat rutin setiap tiga bulanan. Sekber berada di bawah kendali Wali Kota Sabang, Ketuanya adalah Kepala Bappeda, Faisal Azwar dan Wakilnya Kepala Dinas Kesehatan/KB. Para anggota dan pengurus terdiri dari lintas sektor, antara lain; Disdukcapil, Kabag Hukum dan Humas, Diskominfo dan lainnya. Sementara UNICEF dan mitranya, Flower Aceh bertugas mendampingi.
ADVERTISEMENT
Kepala UNICEF Kantor Perwakilan Banda Aceh Andi Yoga Tama menyatakan bahwa agar program berhasil, sejak perencanaan, semua sektor yang terlibat harus memiliki tujuan yang sama: menurunkan kasus malnutrisi.
“Salah satu kunci keberhasilan Kota Sabang ada di perencanaan yang dilakukan secara terintegrasi yang difasilitasi dan dikoordinasi oleh Bappeda, mulai dari tingkat dinas sampai dengan tingkat gampong,” ujar Andi.
Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati, mengatakan model partnership dalam menjalankan program juga menjadi kekuatan tersendiri. Selain melibatkan para pihak di lingkungan pemerintah dan masyarakat, juga melibatkan UNICEF dan Flower Aceh sebagai lembaga non-pemerintah untuk pendampingan.
“Semoga program ini menjadi praktik baik untuk dapat diikuti oleh daerah lainnya dalam menjalankan berbagai kebijakan berkaitan dengan anak,” harap Riswati.
ADVERTISEMENT
***
Memastikan program berjalan baik dan berkesinambungan, kader dan fasilitator terus dicetak. Para tenaga tenaga kesehatan maupun kader Posyandu di seluruh Sabang dibekali berbagai pengetahuan tentang kebutuhan anak.
Menyiapkan fasilitator dimulai berjenjang, dimulai dengan merekrut para pegawai di Puskesmas. Mereka yang telah dilatih bertanggung-jawab menurunkan ilmunya kepada kader lainnya di Puskesmas lalu ke Posyandu. Misalnya, Kota Sabang saat ini telah mempunyai tiga orang Master of Trainer (MoT) untuk fasilitator Pemberian Makan Bayi dan Anak (PBMA). Puluhan fasilitator PMBA telah dicetak mereka, bertugas di 6 Puskesmas dalam 2 Kecamatan di Sabang.
Salah satu Master of Trainer PBMA adalah Dira Fakhrina, sehari-hari bertugas Tenaga Pelaksana Gizi di Puskesmas Sukajaya. Dia mulai dilatih skill PBMA sejak 2018 yang digelar Dinas Kesehatan. “Saat UNICEF masuk, dilatih lagi di Aceh Jaya sebagai konselor (ahli) gizi,” kisahnya.
Master of Trainer PBMA adalah Dira Fakhrina. Foto: Adi Warsidi/acehkini
Dira mendapat pelatihan lagi sebagai fasilitator, dan tahap akhir menjadi MoT pada 2020 lalu. Tugasnya kemudian adalah melatih fasilitator di tingkat Puskesmas, juga konselor di tingkat Posyandu. “Saya juga kerap melatih teman-teman di Puskesmas kabupaten lainnya di Aceh seperti yang digelar di Gayo Lues dan Aceh Selatan.”
ADVERTISEMENT
Sebelum program terintegrasi ini berjalan, pengetahuan tentang PBMA hanya dikuasai oleh tenaga gizi yang terbatas. Saat ini sudah ada ratusan konselor gizi yang terdiri dari para kader Posyandu, bidan, tenaga kesehatan lainya, sampai ibu-ibu organisasi PKK dan ibu-ibu Bhayangkari.
Pantauan Dira, ada perubahan mendasar setelah pengetahuan PBMA disebar ke seluruh Sabang. Ada perubahan perilaku ke arah yang lebig baik. “Dulu ibu-ibu bangga bercerita tentang susu mahal untuk bayinya, saat ini pemberian ASI yang buat mereka bangga, apalagi ekslusif,” tuturnya.
Tak ada tantangan berat yang dialami Dira selama menjadi MoT. “Nggak terasa, karena hanya berbagi pengalaman bukan hanya teori. Kadang ibu-ibu menyadari kekeliruan dalam merawat bayi selama ini, setelah mendapat pengetahuan, lalu sepakat merubahnya.” [bersambung]
ADVERTISEMENT