Konten Media Partner

Kisah Eks GAM Saat Konflik Aceh: Markas Dibombardir 'Si Kampret' (6)

14 Agustus 2019 14:32 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Eks kombatan GAM di lokasi bombardir pesawat tempur, saat konflik Aceh. Tampak daun-daun besar terbakar. Foto repro: acehkini/Dok. Irwansyah
zoom-in-whitePerbesar
Eks kombatan GAM di lokasi bombardir pesawat tempur, saat konflik Aceh. Tampak daun-daun besar terbakar. Foto repro: acehkini/Dok. Irwansyah
Pada akhir Juli 2004 atau sebulan setelah status Darurat Militer diterapkan di Aceh, sebuah kabar berantai datang dari informan di perkampungan sekitar markas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di pegunungan Aceh Besar. Saat itu, Aceh berstatus Darurat Sipil. Pesan berantai tersebut yang mengabarkan bahwa akan ada penyerangan markas dengan pesawat tempur, membuat panik.
ADVERTISEMENT
Mantan Juru Bicara GAM Aceh Rayeuk, Irwansyah alias Tgk Muchsalmina, menceritakan kisahnya secara detail kepada acehkini, dalam beberapa kesempatan setelah damai hadir di bumi Serambi Makkah.
Sejatinya, itu bukanlah yang pertama. Satu hari setelah Darurat Militer ditetapkan atau pada 20 Mei 2003, pesawat tempur pernah menjatuhkan beberapa mortir di perbukitan Cot Keueng, dan Ujong Pancu di Aceh Besar, serta beberapa kawasan di Nisam, Aceh Utara. Saat itu, mortir ditembakkan, namun kepanikan hanya terjadi sesaat.
Kabar penyerangan dengan pesawat tempur di markas secara besar-besaran itu, sontak membuat pasukan GAM menyiapkan perlindungan.
Tepat 28 Juli 2004, pukul 10.00 WIB, dua pesawat tempur milik TNI Angkatan Udara jenis Bronco OV-10 menderu di atas perbukitan Siron, Aceh Besar. Bronco OV-10 adalah pesawat tempur taktis, punya julukan ‘Si Kampret’ yang telah dipensiunkan oleh TNI AU sejak 2007. Sebutan lain untuknya adalah 'Si Kuda Liar'.
Pesawat Bronco OV-10 telah dimuseumkan. Foto: avionmuseum.eu
Irwansyah bersama pasukan didera kepanikan, mereka tak terlalu berpengalaman menghadapi serangan udara. Yang muncul di benak mereka ialah perang semakin serius laiknya konflik antar negara. Semua pasukan militer GAM di wilayahnya mencari titik strategis untuk berlindung dari bombardir mortir.
ADVERTISEMENT
Bom berdaya ledak rendah dan mortir dijatuhkan bebarengan dengan serbuan senapan mesin dari udara ke lokasi yang diduga sebagai markas GAM. Serangan terus terjadi hingga satu jam lamanya.
“Saya tak sempat menghitung jumlah yang dijatuhkan karena sibuk melarikan diri bersama babi dan hewan-hewan hutan,” kisah Irwansyah.
Setelah senyap, pasukan memeriksa kehancuran. Lokasi bom jatuh membentuk lubang-lubang kecil. Itu adalah pengalaman pertama bagi Irwansyah dan beberapa rekannya menghadapi teror udara.
Pesawat dengan kecepatan luar biasa itu tak mungkin dihadapi dengan tembakan dari bawah. Otomatis tak ada perlawanan dari GAM di Aceh Besar, mereka hanya bisa melihat sambil berlindung. Saat bom jatuh, guncangannya seperti gempa kecil. Mereka beruntung, tak ada korban yang jatuh saat itu.
ADVERTISEMENT
Warga yang tinggal di pinggiran gunung turut merasakan guncangan. Banyak rumah yang berdekatan dengan kawasan yang dibombardir rusak, kaca-kaca rumah hancur berserakan. Warga merasakan trauma berat kala itu.
Setelah bombardir mortir berhenti, Irwansyah mulai menerapkan ilmu-ilmu gerilya yang didapat, pasukan ditempatkan di segala penjuru gunung dan hutan, bahkan di kawasan dekat bandara Angkatan Udara di Blang Bintang, Aceh Besar.
Keesokan harinya, beberapa media memuat kejadian tersebut. Komandan Kodim 0101 Aceh Besar (saat itu), Letkol (Inf) Joko Warsito membenarkan penyerangan itu. Menurutnya serangan udara dilakukan untuk mengejar anggota GAM yang sudah berhasil dideteksi keberadaannya. TNI menyebutkan perbukitan Siron, Aceh Besar ditenggarai sebagai markas Gubernur Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Aceh Rayeuk, Teungku Akhyar.
ADVERTISEMENT
Saat itu GAM juga mengeluarkan komentarnya ke media. Mereka menyebut markas telah diserang oleh TNI dengan menjatuhkan lebih dari 30 bom ke sekitar markas. [bersambung]
Reporter: Adi Warsidi