Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Kisah Kombatan GAM, Siaga Perang Kala Tsunami Aceh
5 Desember 2019 12:41 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Sekitar 40 pasukan GAM Aceh Rayeuk sedang berada di perbukitan Krueng Raya, Aceh Besar, Minggu pagi 26 Desember 2004, saat bencana besar menguncang Aceh. Gempa 9,1 Skala Righter mengirimkan tsunami setelahnya.
Irwansyah alias Tgk Muchsalmina, Juru Bicara GAM Aceh Besar, di sana saat itu, mencoba bertahan setelah terjebak dalam kepungan aparat TNI sejak dua hari. “Kami tak tahu sama sekali ada tsunami, hanya merasakan gempa sangat kuat,” kisahnya.
Kala ombak raya itu datang, Aceh masih berstatus darurat sipil. Kontak senjata masih sering terjadi, memaksa GAM tetap siaga tempur.
Menjelang siang, kabar bencana dibawa warga ke perbukitan. Aparat telah meninggalkan posnya di kaki perbukitan, melupakan perang, ikut membantu para korban. Kondisi ini membuat konflik longgar. Pasukan GAM bebas turun gunung bahkan sebagian membawa senjata secara sembunyi-sembunyi, sebagian lagi menunggu di markas.
ADVERTISEMENT
Mereka berbaur dengan masyarakat membantu mengumpulkan mayat-mayat berserakan. Sebuah pesan disampaikan Irwansyah, para anggota tidak memulai perang, tidak menyerang lawan. Lalu membantu sebisa mungkin korban-korban selamat.
Banyak anggota GAM kembali ke kampung-kampung, memastikan keberadaan anggota keluarganya. Sebagian mereka juga kehilangan saudara, menjadi korban tsunami. Beberapa tetap berada di markas, sambil menjaga senjata yang ditinggalkan sementara.
Bantuan belum banyak masuk di hari-hari awal tsunami, logistik untuk korban ikut disalurkan kombatan. Selain memakai persediaan mereka, juga dikumpulkan dari masyarakat tak terkena imbas di sekitar perbukitan. Mereka berkabung, melupakan sementara peperangan demi kemanusiaan. “Saya lebih leluasa berada di kampung,” kata Irwansyah.
Betrok dengan aparat agaknya mereda, tak total berhenti. Semua pihak sibuk pada urusan kemanusiaan akibat bencana besar yang menyebabkan 200 ribuan orang meninggal dan ratusan ribu lainnya kehilangan tempat tinggal.
ADVERTISEMENT
Kontak pernah terjadi beberapa kali, karena anggota GAM dan TNI terpancing suasana perang. Salah satunya setelah kejadian pada hari keempat tsunami. Saat itu, kata Irwansyah, seorang anggota GAM di Lhok Nga diketahui tertembak saat pulang mencari orang tuanya.
GAM kemudian membalas tindakan itu dengan menghadang tiga truk reo pasukan TNI di kawasan Ladong, Aceh Besar. Saat penghadangan, mereka sempat berpikir kami bagian dari mereka. Kontak senjata pecah dengan dahsyat. Setelah satu jam lebih, Irwansyah dan pasukannya memilih mundur, kembali ke perbukitan.
Di Lhok Nga terdapat bekas markas TNI, Batalyon Infanteri 112 Dharma Jaya, Kompi Senapan B, Lhok Nga, Aceh Besar. Markas rata tanah digulung ombak tsunami. Sebagian besar perlengkapan TNI hilang. Meraka mengklaim kehilangan 431 pucuk senjata saat bencana tsunami terjadi.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari kemudian, di markas tersebut dipasang imbauan, berbunyi: “Dimohon kepada masyarakat apabila menemukan perlengkapan TNI agar menyerahkan ke posko.”
Pada saat tsunami, banyak media luar negeri dan nasional yang masuk ke Aceh. Mereka mendapatkan kenyataan lain, ada konflik yang telah lama selain bencana alam. Banyak dari para jurnalis yang kemudian menulis tentang konflik tersebut.
Irwansyah ikut melayani kedatangan wartawan di sekitar markas, perbukitan Cot Lame, Aceh Besar. Beberapa media asing yang menjumpai adalah dari New York Times, Associated Press dan Focus Magazine. Dua wartawan dari New York Times mengakui baru pertama ke Indonesia dan Aceh. “Mereka meminta saya bercerita panjang tentang konflik dan sejarah perlawanan GAM.”
ADVERTISEMENT
Kepada semua wartawan yang menjumpainya, Irwansyah selalu mengatakan bahwa masyarakat Aceh sedang ditimpa dua musibah besar, konflik panjang dan tsunami. “Masyarakat dan semua pihak haruslah menjadikan dua hal itu sebagai pedoman awal dalam menerapkan kebijakan apapun terkait Aceh ke depan,” kisahnya. []