Kisah Letnan Kolonel Scheepens yang Mati Ditikam Rencong Uleebalang (5)

Konten Media Partner
20 Oktober 2021 12:14 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kisah heroik tentang rencong sebagai senjata khas Aceh, paling banyak tercatat dalam perang kolonial Belanda. Sebagian dicatat para serdadu marsose, sebagian dituliskan peneliti dan jurnalis berdasarkan penuturan mereka yang terlibat perang. Banyak di antaranya dituturkan turun-turun, dibumbui semangat kepahlawanan dan menjaga identitas Aceh.
Nisan Letnan Kolonel Scheepens, petinggi militer Belanda yang mati ditikam rencong. Foto: Suparta/acehkini
Pusara Letnan Kolonel Wilhelm Bernhard Johann Antoon (WBJA) Scheepens kokoh di kompleks perkuburan Belanda, Kerkhof Peucut, Banda Aceh. Letaknya sebelah kanan bagian tengah dari pintu masuk. Sebuah tugu penanda kuburnya terlihat lebih besar dari umumnya nisan di sana, karena dia seorang perwira tinggi yang mati dalam Perang Aceh.
ADVERTISEMENT
Kerkhof Peucut adalah kompleks perkuburan militer Belanda terbesar di luar negerinya. Di area seluas 3,5 hektare terbujur jasad sekitar 2.200 prajurit asli Belanda, maupun dari suku Jawa, Batak dan Ambon yang tegabung dalam Korps Marsose, bagian dari Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL) atau tentara Kolonial.
Letnan Kolonel Scheepens adalah perwira yang sangat dikenal di Belanda. Ia pernah kembali dua kali ke negerinya untuk menjalani operasi medis akibat luka tembak yang dialaminya saat operasi militer di Tanah Gayo. Saat itu, ia yang belum pulih mendapat undangan makan malam ke istana oleh Ratu Belanda. Selanjutnya, dia kembali bertugas di Aceh. (HC Zentgraaff dalam Atjeh, 1938)
Selain sebagai komandan divisi, Scheepens menjabat sebagai penguasa sipil di Sigli. Pada awal Oktober 1913, dia menerima kunjungan seorang wanita Amerika, Mrs Mary Smith Ware, yang punya misi keliling dunia, dan ingin melihat bagaimana peri kehidupan khas bangsa Aceh.
Letnan Kolonel WBJA Scheephens. Dok. Buku The Dutch Colonial War in Aceh
Pada 10 Oktober 1913, Scheepens pulang sebentar ke rumah saat menjelang tengah hari, dan harus kembali lagi ke musapat atau Landraad (Pengadilan Negeri) untuk menyelesaikan suatu perkara yang tidak sedap. Seorang warga Aceh dari kalangan penduduk biasa telah memukul putra seorang uleebalang di Titeu, karena anak itu mengganggu harta benda dan istri orang kampung tersebut.
ADVERTISEMENT
Letkol Scheepens akan mendamaikan kasus tersebut dan memutuskan hukumannya. Dalam sidang peradilan itu, uleebalang (anggota musapat) menuntut agar orang yang telah memukul anaknya dijatuhi hukuman yang berat, akan tetapi Scheepens menyadarkannya, bahwa hak kekuasaan semacam itu sudah berlalu, “Tiga bulan (hukuman) krakal sudah lebih dari cukup,” katanya. Krakal adalah hukuman untuk bekerja di tempat umum.
“Itu saya tidak terima,” teriak uleebalang karena keinginan yang dikehendakinya terancam gagal. Akan tetapi Scheepens mengakhirinya dengan berkata: “Tetap tiga bulan; habis!”.
Mendadak Sang Uleebalang menghunus rencongnya dan menikam rusuk Scheepens dengan sangat cepat. Forum dilanda kebingungan dalam beberapa detik, selanjutnya beberapa polisi menyerang uleebalang itu hingga rubuh dengan kelewang mereka.
Scheepens sadar tikaman sebilah rencong pada perut, hampir selalu membawa kematian. Namun, dia lebih memikirkan keadaan istrinya dan berbuat seakan-akan tak ada yang luar biasa terjadi, untuk tidak membuat istri khawatir. Dengan tangan memegang luka di perutnya, ia berjalan pulang ke rumahnya dengan tenang saja. Hanya sedikit darah yang kelihatan. Dan kepada istrinya ia berkata: “Tidak apa-apa, hanya goresan kecil, marilah kita meneguk segelas champagne untuk keselamatan.”
ADVERTISEMENT
Rencong abad ke-19 koleksi Museum Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Dibukalah sebotol anggur, dan minumlah Scheepens bersama sang istri, sedangkan Van Galen Last, teman akrab keluarga itu, ikut pula minum bersama mereka. Akan tetapi, kedua pria itu sadar dan maklum bahwa hal itu adalah untuk pertaruhan hidup dan mati.
Usai minum, berangkatlah Scheepens menuju rumah sakit. Sementara itu ke Kutaraja dikirim berita telepon agar segera mengirim ahli bedah kenamaan, dokter Dubinsky ke Sigli. Sebuah kereta api express diberangkatkan membawa sang dokter menuju Sigli.
Atjeh Tram itu merayap dari Kutaraja ke Sigli menempuh jalur sekitar 100 kilometer atas rel yang sempit. Orang-orang Aceh memberi gelar kepada kereta cepat itu “kandang anjing beroda” mampu berjalan dengan kecepatan 30 kilometer per jam.
Kereta api tersebut diyakini telah melakukan perjalanan yang memecahkan rekor dalam riwayat sejarah Aceh. Masinisnya diikat dengan tali pada lokomotifnya, agar tidak terlempar ke luar karena bergerak dengan kecepatan tinggi, membawa dua orang dokter, meluncur di atas rel. Ketika kereta dan dokter itu tiba di Sigli, sore itu juga Scheepens dioperasi.
Kereta api di Aceh, 1895. Dok. KITLV
Turis asal Amerika Serikat, Mary Smith Ware yang menjadi tamu, menyaksikan langsung kematian Scheepens saat dirawat di rumah sakit Sigli. Ia menulisya dalam buku The Old World Though Old Eye; Three Years in Oriental Land. Buku ini diterbitkan kembali pada tahun 1971 di Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Mary Smith Ware menulis: “I ran off to hospital without the slightest preparation, bareheaded, without even an handkerchief. In the enclosure I met some officers who were so deeply move they could scarcely speak. The colonel (Scheepens) was within. His wound was very in the abdomen under the liver. I heard one of the assistants telephone to Governor Swart to come as soon as possible with the Koetaradja surgeon and his staff. They started on a special train and arrived in less than three hours. While I stood waiting for tiding of the colonel, the captain came to say that he wished me to come in ad speak to him. I found him lying on the operating table covered with a sheet, his neck and arms bare, a fine head and super eyes. He began by saying, how sorry he was that he could be of no further service to me, that he must still leave me to te captain’s care. I was deeply touched by the wonderful courage of the man who could think of others at such a time. I could not control my emotion, and had to turn away my head to hide my tears. He told me it was the fifth time he had been wounded.”
ADVERTISEMENT
(Saya berlari ke rumah sakit tanpa persiapan sedikit pun, tanpa tutup kepala, bahkan tak membawa sapu tangan. Di ruang dalam saya berjumpa dengan beberapa orang opsir, dalam keadaan kesedihan yang mendalam, dan hampir-hampir tidak dapat berkata-kata. Kolonel (Scheepens) berada di dalam. Luka yang dialaminya amat dalam di bagian perut, di bawah hatinya. Salah telah mendengar salah seorang asisten menelepon Gubernur Swart, untuk datang dengan secepat mungkin dengan dokter ahli bedah dari Kutaraja berserta stafnya. Mereka telah datang dalam waktu kurang dari tiga jam dengan menumpang sebuah kereta api khusus. Sedang saya berdiri untuk menjenguk kolonel itu, datanglah seorang kapten memberitahukan, bahwa kolonel mengharapkan saya masuk ke dalam untuk berbicara dengannya. Saya melihat dia terbaring di atas meja operasi yang dialas dengan kain. Kuduk dan tangannya terbuka, kepalanya yang bagus dan matanya yang awas. Dia mulai dengan berkata, betapa menyesalnya dia tidak dapat lagi mendampingi saya, dan selanjutnya masih tetap akan diberikan bantuannya oleh kapten. Saya sangat terkesan dengan keberanian yang mengagumkan dari orang yang dalam keadaan seperti itu masih sempat memikirkan orang lain. Tak kuat saya menahan perasaan saya, dan terpaksa memalingkan muka untuk menyembunyikan air mata saya. Dia berkata bahwa ini yang kelima kalinya ia terluka).
ADVERTISEMENT
Setelah tiga hari menjalani perawatan di Rumah Sakit Sigli, Scheepens meninggal dunia. Jenazahnya dibawa ke Kutaraja, lalu dimakamkan dengan upacara militer di Kerkhof Peucut. []
Penyumbang bahan: Is Norman