Kisah Meliput Pengungsi Konflik Aceh, Wajib Izin ke Tentara

Konten Media Partner
5 November 2019 9:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Usai sebuah kontak tembak di Ujong Pancu, Aceh Besar, Juni 2005. Dok. Adi Warsidi
zoom-in-whitePerbesar
Usai sebuah kontak tembak di Ujong Pancu, Aceh Besar, Juni 2005. Dok. Adi Warsidi
ADVERTISEMENT
Minggu pertama Desember 2004, saya mendapat tugas meliput pengungsi konflik di Lhok Bengkuang, Aceh Selatan. Berangkat ke sana sendiri, saya menginap di rumah seorang sahabat semasa kuliah dulu, Rima Fajri, yang kini telah almarhum menjadi korban tsunami, dua minggu setelah kami berjumpa teakhir kalinya.
ADVERTISEMENT
Saya meminjam sepeda motornya untuk menuju lokasi. Di tempat pengungsian yang dihuni oleh seribuan orang, izin tak berhasil diperoleh. “Izinnya harus ke Kodim (Komando Distrik Militer), kalau tidak ada izin dari sana, tidak boleh masuk,” begitu penjelasan koordinator pengungsi di posko depan.
Tak menunggu lama, saya bergerak ke Kodim Aceh Selatan. Setelah menjelaskan ke piket, saya dipertemukan dengan Kepala Staf Kodim Aceh Selatan, Mayor Ahmad Yani. Saya masih ingat fisiknya sampai sekarang, kendati hanya beberapa kali bertemu sesudahnya.
Seperti biasa, awal pembicaraan dibuka dengan menanyakan identitas. Saya yang meliput untuk acehkita waktu itu, tak berani menunjukkan identitas sebenarnya, maklum media yang rutin menulis suara korban konflik, dimusuhi banyak pihak, termasuk kalangan petinggi tentara. Konyol saja kalau mengaku dari acehkita. Saya punya sebuah identitas lain, Tabloid Lacak, sebuah tabloid yang dikelola salah seorang pengurus acehkita di Jakarta. Tabloid itu tak tersebar di Aceh, terbitnya pun kadang-kadang, itu pun di Jakarta.
ADVERTISEMENT
“Dari Lacak, Pak,” seru saya sambil meletakkan identitas di meja. Saya tak menyangka sama sekali jawaban Pak Kasdim. “Oh iya, saya tahu Lacak, oke enggak apa-apa, silakan meliput, saya izinkan,” ujarnya.
Kompleks Kodim Aceh Selatan, saat peringatan HUT TNI ke-73, 5 Oktober 2018. Dok. Kodam IM
Heran dengan pangakuannya yang mengetahui Tabloid Lacak, yang saya sendiri tak pernah melihat wujudnya. Tapi, saya diam saja dan mengalihkan pertanyaan terkait suasana keamanan di daerah penghasil pala itu dan juga terkait kondisi pengungsi. Setelah berbasa-basi sejenak, bawahannya mengantarkan empat bungkus rokok kepadanya. Dua diberikan kepada saya, “Enggak apa-apa, Pak,” saya menolak.
“Sudah ambil saja, enggak ada maksud apa-apa,” katanya memaksa. Saya mengambilnya, takut izin meliput dicabut. Saya mohon diri dan langsung ke lokasi.
Saya seharian meliput sendiri di pengungsian itu, mengumpulkan keterangan demi keterangan. Sore harinya, ternyata Mayor Ahmad Yani masuk pengungsian dan bertemu saya. Kekhawatiran langsung hilang ketika dia berkata, “Saya memantau saja, mudah-mudahan liputannya lancar,” katanya.
ADVERTISEMENT
Kondisi Pengungsi
Puluhan anak usia Sekolah Dasar memenuhi sebuah bangunan berukuran 15 x 10 meter. Lantainya terbuat dari papan, sementara dindingnya terpal plastik warna hijau yang melindungi mereka dari hawa dingin yang menyusup dari balik bukit Lhok Bengkuang malam itu. Bangunan tersebut terletak di tengah-tengah lokasi pengungsian Lhok Bengkuang, atau terpaut hanya dua kilometer dari pusat Kota Tapak Tuan, ibu kota Kabupaten Aceh Selatan.
10 Desember 2004, sekitar pukul 19.30 WIB, saat gerimis turun membasahi Bumi Kota Naga itu, anak-anak pengungsi melakukan aktivitas rutinnya; mengaji. Di bawah penerangan dua lampu neon 20 watt, mereka berbagi cahaya. Lantunan ayat-ayat suci Alquran keluar tanpa henti dari mulut-mulut mungil. Sesekali mereka berhenti, lalu bercanda sesamanya, untuk kemudian kembali mengaji dengar suara keras.
ADVERTISEMENT
Seakan tak ada beban yang mereka rasakan, kendati sudah satu setengah tahun hidup dalam pengungsian. Gelombang pengungsian itu dimulai pada bulan Mei 2003, tak lama setelah Jakarta mengumumkan status darurat militer di Aceh. Gelombang pertama tercatat dilakukan 47 kepala keluarga (KK) dari Desa Koto Manggamat, Kecamatan Kluet Tengah.
Kawasan permukiman di Lhok Bengkuang saat ini. Foto: Ahmad Ariska/acehkini
Setelah satu setengah tahun status darurat, pengungsi di Lhok Bengkuang, terus bertambah. Setidaknya ada 30 barak yang dihuni oleh sekitar 697 jiwa atau sekitar 240 KK. Data tersebut adalah data yang tercatat di lokasi pengungsian yang dilaporkan Bupati Aceh Selatan, T Machsalmina Ali kepada Dinas Sosial Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) melaui surat bernomor 521/959/2004 tertangal 29 September 2004.
Kondisi di kamp pengungsian Lhok Bengkuang jauh dari kesan nyaman. Barak beratap daun rumbia, setiap bangunan disekat-sekat dengan terpal plastik. Masing-masing sekat digunakan oleh satu keluarga. Di belakang deretan barak terdapat bangunan kecil yang dilengkapi sumur untuk mandi dan WC umum. Di depan barak, ada fasilitas air untuk minum dan memasak yang dialirkan melalui pipa-pipa PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum). Bila sore tiba, pemandangan balita yang sedang dimandikan sang ibu, terlihat di keran-keran air itu.
ADVERTISEMENT
Makanan? Nasi, sedikit sayur, ikan asin yang kadang-kadang berganti telur dan ikan basah, plus segelas kopi untuk menghilangkan rasa mengantuk. Jangan bayangkan ada daging sebagai lauk.
Penghuni Lhok Bengkuang umumnya bekerja sebagai buruh bangunan dan nelayan. Sementara yang wanita, tinggal di kamp walaupun ada yang mencari upahan sebagai pengumpul batu atau pasir di muara-muara sungai.
Untuk bertahan hidup, tak mungkin mengandalkan bantuan dari pemerintah yang tak seberapa. Satu-satunya cara adalah bekerja. Apalagi, rata-rata mereka telah mengungsi sejak Juni 2003 dan mengaku belum berani kembali ke tempat asal mereka masing-masing dengan alasan keamanan.
Seorang pengurus pengungsi, Lukman, mengatakan sebelumnya terdapat sekitar 7.000 pengungsi di Lhok Bengkuang. Setelah keadaan berangsur kondusif, sebagian mereka kembali ke kampung asalnya. “Umumnya mereka yang kembali, karena sudah aman dan di desanya sudah ada pos TNI,” katanya.
ADVERTISEMENT
Mereka mengungsi karena dipaksa perang, kontak senjata kerap terjadi di permukiman warga. Mereka tak bisa mencari nafkah. “Kebun-kebun pala kami letaknya di gunung, dan untuk ke gunung dilarang,” sebut Syarifuddin, seorang pengungsi di sana kala itu.
Ilustrasi pengungsi konflik Aceh di Seunebok Bayu, Aceh Timur. Dok. acehkita
Kini, saya selalu mengenang peristiwa tersebut, tentang perasaan khawatir dan merasa tak nyaman ketika liputan. Dan, merasakan hidup di zaman konflik, selalu tak mengenakkan.
Salam hormat saya untuk Pak Ahmad Yani, di manapun anda bertugas kini. Sayang, foto-foto liputan saya saat itu raib, bersama sejumlah peralatan kerja kala tsunami menghancurkan tempat tinggal di Banda Aceh. []