Kisah Mr Jali, Lelaki Penunggu Leuser dan Feeling Babi

Konten Media Partner
26 Februari 2020 10:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Disclamer: Sebagian tulisan ini pernah tayang di blog saya, dituliskan kembali karena kerinduan pada Mr Jali dan kesejukan Leuser.
Rajali alias Mr Jali. Foto: Adi Warsidi
Di balik ponsel, kudengar suaranya masih segar. Lelaki itu masih bercerita dengan lancar dan bersemangat tentang hidup dan harapanya di usia lebih setengah abad. Menjaga kawasan hutan di sekitar Gunung Leuser, Kabupaten Gayo Lues.
ADVERTISEMENT
“Aku masih sehat dan kuat,” Kata Rajali sambil terkekeh saat ku hubungi, Selasa (25/2/2020).
Rajali, lebih dikenal sebagai Mr Jali, nama yang dipopulerkan oleh dua turis asing sejak 1981, saat melakukan penelitian di kawasan Gunung Leuser. Saat itu, dia memandu peneliti menyusur hutan-hutan.
Dia adalah penunggu jalur pendakian ke Gunung Leuser. Menjadi pemandu bagi setiap wisatawan yang ingin mendaki ke puncak gunung tertinggi di Aceh itu. Profesi guide sudah dilakoninya sejak remaja, 1980 silam. Dia juga membangun pondok-pondok di kaki gunung, untuk menampung para pendaki, diberi nama Rainforest Lodge, Kedah, Desa Kedah, Kecamatan BlangJerango, Kabupaten Gayo Lues.
Rumah Mr Jali. Foto: Adi Warsidi
***
Hampir empat tahun lalu, 12 April 2016, aku bersama beberapa jurnalis pernah merasakan sensasi menginap di tempat itu. Saat itu, Mr Jali banyak berkisah tentang suka dukanya memandu para turis.
ADVERTISEMENT
Kami tiba di rumahnya menjelang sore, di Desa Keudah, Kecamatan Blangjerango. Setelah jamuan teh hangat dan kisah soal pengalamannya sejenak, kami diantar ke pondoknya yang menjadi titik awal pendakian ke puncak Leuser.
Kami tak berencana mendaki, hanya menginap semalam di sana. Dari rumahnya, kami berangkat dengan dua mobil untuk tiba di jalan terakhir yang bisa dilewati, lalu memarkir kenderaan di rumah warga. Selanjutnya menempuh jalan setapak sekitar 2 kilometer untuk sampai ke tempat yang dituju.
Mr Jali tak percaya kompas dan GPS. Foto: Adi Warsidi
“Saya nanti malam ke sana,” kata Mr Jali. Kami dipandu anaknya Rabudin Mudawali sambil membawa perlengkapan makan malam. Berjalan ke sana melelahkan juga. Karena tak terbiasa, sebagian dari kami ngos-ngosan.
Sudah gelap, saat kami tiba di sana, ada sekitar lima pondok, empat untuk tempat menginap dan satunya tempat memasak dan nongkrong. Tak ada aliran listrik. Rabudin menghidupkan genset untuk penerangan, selanjutnya dia memasak nasi dan indomie untuk kami.
ADVERTISEMENT
Kami bergantian ke kamar mandi untuk membersihkan diri, hawa sejuk menyengat. Suara ragam binatang hutan terdengar nyaring, laiknya menyambut kedatangan kami.
Kawasan Gunung Leuser, menuju ke pondok Mr Jali. Foto: Adi Warsidi
Mr Jali tiba di sana bersama seorang rekannya, usai kami menyantap makan malam. Dia berbagi cerita tentang suka-dukanya menjadi guide Gunung Leuser sejak 1980. Mr Jali muda yang tak tamat Sekolah Dasar itu kerap masuk hutan untuk mencari titik menuju puncak. Pergi seminggu dan kemudian pulang minggu depannya. “Saya baru menikmati pada tahun 1987,” katanya.
Sejak itu, dia mulai membawa tamu untuk menikmati pesona pendakian. Sekali naik dan pulang biasanya memakan waktu hampir sebulan. “Banyak tamu dari mancanegara, karenanya saya paham bahasa Inggris dikit-dikit,” katanya.
Menjaga kawasan itu, dia juga mendidik 25 warga kampung dan anaknya untuk menjadi guide. Saat ini, anaknya Rabudin sudah mewarisi ilmu sang ayah dalam mengenal jalur ke puncak. Jika ada tamu yang ingin mendaki, pemuda yang telah dilatih menjadi pemandu. Mr Jali sebagai pemimpin sebagai koordinator mereka.
Pondok Mr Jali di jalur pendakian awal puncak Leuser. Dok. Adi Warsidi
Salah satu yang unik, Mr Jali tak percaya alat penunjuk arah, kompas saat mendaki. “Aku pakai feeling babi saja kalau mendaki, aku tak percaya kompas. Pernah ikuti GPS, nyasar,” katanya sambil tertawa lepas kepada kami.
ADVERTISEMENT
Feeling babi adalah istilahnya, dimaksud sebagai perkiraannya dalam membaca jalur pendakian melalui tanda-tanda alam. Gunung Leuser telah berulang kali dijelajahinya, bahkan sejak kecil dan telah hafal semua jalur ke puncak.
Pengalamannya padat, juga perhargaan dari berbagai lembaga. Hampir semua pendaki Gunung Leuser telah ditemaninya. Mr Jali juga menjadi pemandu saat ekspedisi Satuan TNI Kopassus pada 2011 silam.
Pondok Mr Jali untuk tempat menginap pendaki. Foto: Adi Warsidi
Kawasan Gunung Leuser yang mempunyai dua puncak; Leuser dan Loser, mempunyai ketinggian 3.404 di atas permukaan laut. Kawasan itu masuk dalam Taman Nasional dan daftar warisan dunia UNESCO sebagai hutan hujan tropis Sumatera, yang ditetapkan sejak 2004 silam.
Pekerjaannya sebagai guide disebut sebagai cara menjaga hutan Leuser tetap ada, selain meningkatkan ekonomi masyarakat. Kepada kami Mr Jali, berpesan untuk menyampaikan kepada pemerintah agar membantu prasarana jalan ke pondoknya, sehingga selain pendaki, masyarakat juga dapat berwisata ke sana.
ADVERTISEMENT
Jika jalan bagus, sungai di samping pondoknya dapat dikelola menjadi jalur arung jeram, juga river cubing untuk bermain anak-anak. Jalurnya bisa dimanfaatkan sampai satu kilometer lebih sampai ke perkampungan warga. “Ini akan meningkatkan ekonomi warga di sini,” kata Mr Jali.
Lokasi di jalur awal pendakian ke puncak Leuser, potensi ekowisata. Foto: Adi Warsidi
***
Saat kuhubungi kembali Selasa kemarin, Mr Jali masih bercerita tentang pondok usahanya yang masih eksis hingga kini. Tamu-tamu pendaki terus bertambah, pondoknya telah menjadi 6 unit, juga telah dibangun mushala. “Kalau tamu tetap ada, para pendaki Gunung Leuser,” katanya.
Dia punya harapan lain, mengelola ekowisata. “Ini rencananya mau difasilitasi dan kerja sama dengan pihak KPH. Sudah beberapa kali rapat, tapi belum jalan,” katanya. KPH yang dimaksud adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPTD KPH) V, yang membawahi wilayah Gayo Lues, Aceh Barat Daya dan Nagan Raya.
ADVERTISEMENT
Suasana di lokasi pondok Mr Jali. Foto: Adi Warsidi
Targetnya sederhana, dapat memberdayakan masyarakat sekitar maupun kawasan di kaki Gunung Leuser yang indah. Ini juga menjadi upayanya untuk tetap eksis di usianya yang semakin senja. Naik gunung lagi untuk jadi pemandu, suatu saat pasti tak mampu lagi dilakukan.
Dia mengakui, jika membangun ekowisata tak jalan, maka berniat mengembangkan agrowisata dengan fokus tanaman kopi di kawasan tersebut. Dan menurutnya ini lebih mudah, “yang penting bagaimana kami terus menjaga kawasan Hutan Leuser ini, sambil mencoba mengembangkan parisiwata,” katanya. []
Pose bersama Mr Jali. Dok. pribadi