Kisah Usai Perang, Merawat Militansi Aceh melalui Meriam Karbit

Konten Media Partner
10 Juni 2019 18:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Kolom

Seorang peserta takbir akbar malam lebaran di Banda Aceh, bergaya dengan senjata mainan. Foto: Ahmad Ariska/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Seorang peserta takbir akbar malam lebaran di Banda Aceh, bergaya dengan senjata mainan. Foto: Ahmad Ariska/acehkini
ADVERTISEMENT
Di Aceh, Lebaran bukan sekadar ritual. Lebaran menjadi momentum merawat militansi anak Aceh.
ADVERTISEMENT
Bagi Anda yang pernah menetap di Aceh saat konflik pasti bisa merasakan perbedaan nuansa perayaan Lebaran. Takbir hanya dikumandangkan di meunasah-meunasah (surau) atau masjid. Di beberapa tempat, gema takbir itu hanya terbatas hingga pukul 22.oo WIB.
Tak ada pesta kembang api dan mercon. Tak ada aktivitas toet meriam karbet (meriam karbit) atau beude trieng (meriam bambu). Permainan seperti ini dilarang. Masyarakat takut keluar malam, meski tidak ada jam malam.
Bukan apa-apa, bunyi dentuman dari drum-drum minyak yang sudah diisi dengan karbit yang dibakar itu menyerupai ledakan granat atau suara tembakan GLM. Aparat keamanan akan menyisir kampung asal bunyi ledakan itu, karena menduga sedang terjadi kontak senjata.
Saat itu penjualan mercon dan kembang api dilarang. Toko-toko yang menjual mercon dan senjata mainan digeledah dan dirazia. Mercon dan senjata disita. Tak jarang pemiliknya harus berurusan dengan pihak berwajib. Hal ini bisa dimaklumi, anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang punya keahlian merakit bom sering menggunakan mercon sebagai bahan membuat bom rakitan.
ADVERTISEMENT
Kini, setelah 14 tahun perdamaian, jika sempat ke Aceh pas malam Lebaran, jangan terkejut dan takut. Jika Anda mendengar bunyi ledakan keras yang bersahut-sahutan, dari satu kampung ke kampung lain, Anda tak perlu khawatir. Itu sama sekali bukan bunyi granat atau ledakan bom rakitan yang dipasang anggota GAM untuk menghadang iring-iringan TNI/Polri. Bukan pula sedang terjadi kontak senjata. Sebab, sejak 15 Agustus 2005, GAM dan RI sudah sepakat berdamai sekaligus berhenti berperang.
Suara dentuman keras itu berasal dari bunyi karbit yang dibakar di dalam drum-drum minyak, diletakkan di bantaran sungai dalam posisi saling berhadapan. Mereka sedang memeragakan adegan perang.
Karena sudah menjadi tradisi, biaya membuat meriam karbit itu berasal dari hasil meuripee (turun tangan) pemuda dan dermawan, atau sumbangan dari perantau yang mudik ke kampung.
ADVERTISEMENT
Di Pidie, saban tahun pesta meriam karbit digelar di Gampong Ulee Ceue, Ulee Tutong, Dayah Tutong Meunasah Tanoh (semuanya di Kecamatan Pidie). Selain itu, masyarakat di bantaran sungai Krueng Baro, seperti Garot, Indrajaya, dan Gampong Aree, Delima juga punya tradisi serupa. Di sini, drum-drum minyak berisi karbit dan meriam bambu diletakkan berjejer di tepi sungai. Dulunya, pesta meriam karbit digelar seusai gema takbir.
Sejak lima tahun lalu, mereka menggelar pesta toet karbet pada malam kedua lebaran, seusai Isya. Begitu gema takbir berhenti, drum-drum itu disulut dengan api, melahirkan bunyi ledakan hebat. Lalu, masyarakat dari desa sebelah membalas dengan suara yang tak kalah besarnya. Mereka seperti berlomba-lomba menunjukkan ledakan mana yang lebih keras. Permainan ini bisa berlangsung sampai semalam suntuk dan baru berhenti saat azan subuh.
Pesta meriam karbit di Kabupaten Pidie, Aceh. Foto: Habil Razali
Anak-anak dan senjata mainan
ADVERTISEMENT
Sepanjang ingatan saya, terutama ketika kekuatan GAM menghipnotis Aceh awal 1999 hingga akhir 2001, momen uroe raya kerap dimanfaatkan oleh anak-anak Aceh berlatih perang-perangan. Untuk alat perang, mereka beli senjata mainan, bermacam-macam model, umumnya mengikuti senjata yang digunakan pelaku konflik Aceh.
Senjata mainan jenis AK-47 (senjata yang banyak digunakan tentara GAM) laku keras di pasaran dan jadi senjata favorit anak-anak, selebihnya jenis M-16 dan SS-1 (senjata yang banyak digunakan TNI dan Polri).
Bagi generasi yang pernah hidup di masa pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Daud Beureueh , juga demikian. Saat bermain perang-perangan, satu kelompok bertindak sebagai tentara DII, dan kelompok lain jadi tentara republik.
Pada hari pertama Lebaran, kita segera disuguhkan permainan perang-perangan ala anak-anak ini. Satu kelompok berlagak anggota GAM lengkap dengan nama sandi/panggilan masing-masing, sementara satu kelompok lagi bertindak sebagai anggota TNI dan Polri. Kedua kelompok ini terlibat ‘perang’, mulai di jalan raya hingga ke perkampungan penduduk. Mereka berlarian dan bersembunyi persis seperti pasukan TNI/Polri atau GAM.
ADVERTISEMENT
Celakanya, sebagian dari mereka tak sekadar bermain perang-perangan layaknya perang antara TNI/Polri dan GAM, melainkan juga meniru perangai mereka. Ada yang mencoba menyetop mobil atau sepeda motor di jalan dan meminta pungli (pungutan liar) persis seperti dilakukan anggota TNI/Polri di pos-pos penjagaan, ada pula yang menghadang dan menyerang mobil di jalan, seperti yang kerap dilakukan anggota GAM terhadap patroli TNI/Polri.
Fenomena tersebut sempat menghilang saat Aceh berstatus Darurat Militer dan Darurat Sipil, 19 Mei 2003 hingga tsunami 26 Desember 2004. Penjualan senjata mainan dan mercon untuk anak-anak dilarang. Siapa pun yang menyimpan senjata mainan di rumah harus siap ditanya macam-macam oleh aparat keamanan ketika penggeledahan digelar. Lagi pula, saat Darurat Militer berlangsung, Lebaran di Aceh tak begitu meriah dan semarak.
ADVERTISEMENT
Baru setelah perdamaian tercipta 15 Agustus 2005, Lebaran di Aceh kembali menggeliat. Anak-anak, terutama di Aceh pesisir, kembali bermain perang-perangan, hingga hari ini. Bedanya, jika sepanjang 1999-2001 mereka meniru GAM dan TNI, kini beralih berlagak menjadi tentara ISIS atau pejuang Palestina.
Sesekali mereka juga menembak muda-mudi yang berboncengan di atas sepeda motor di jalan raya. Gaya mereka persis menyerupai militer dengan kaca-mata hitam. Selain menumpang mobil bak terbuka, mereka juga menggunakan becak. Persis seperti tentara yang melakukan patroli.
Dan lebaran ini, saya masih melihat anak-anak berkaca-mata hitam menenteng senjata mainan, dengan wajah yang dibuat sangar. Ini sekali lagi menunjukkan, masih ada sisa-sisa militansi dalam diri anak Aceh. Jika salah dikelola, mereka dapat disulap jadi pejuang di masa-masa mendatang. []
ADVERTISEMENT
Taufik Al Mubarak