Kisah Warga Aceh Lebaran di Tanah Rantau: Silaturahmi Virtual dengan Keluarga

Konten Media Partner
16 Mei 2021 11:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Berada jauh dari tanah kelahiran, membuat Salman dan Reza Fahlevi harus memendam rasa rindu suasana Idulfitri yang sangat kental di Aceh, daerah yang memberlakukan syariat Islam.
Reza Fahlevi yang kini menetap di Jakarta bersama istrinya melakukan panggilan video (video call) dengan keluarga besarnya di Aceh pada pagi Lebaran pertama. Foto: Dok. Pribadi
Ketika kumandang takbir bertalu-talu menyambut Idulfitri, Salman Mardira bergeming di depan layar telepon seluler pada Rabu (12/5) malam. Dari tempat tinggalnya di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, dia terhubung melalui panggilan video dengan keluarga besarnya yang berjarak ribuan kilometer di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh.
ADVERTISEMENT
Salman tidak pulang ke kampung halaman pada Lebaran tahun ini karena pemerintah menerapkan larangan mudik selama 6-17 Mei. Pembatasan perjalanan ini dilakukan untuk mencegah penyebaran virus corona. Di tanah rantau, Salman menyambut hari besar umat Islam ini dengan tetap menjalin silaturahmi jarak jauh.
Meski secara virtual, Salman bergabung bersama keluarga besarnya yang berkumpul di rumahnya pada pagi Idulfitri. "Dari malam hingga pagi Lebaran terus melakukan panggilan video dengan keluarga di kampung," kata pekerja swasta ini kepada acehkini, Kamis (13/5).
Berada jauh dari tanah kelahiran, membuat Salman harus memendam rasa rindu suasana Idulfitri yang sangat kental di Aceh, daerah yang memberlakukan syariat Islam. "Di kampung halaman Lebaran lebih terasa karena semua keluarga berkumpul memakai pakaian baru," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Karena itu, untuk merasakan suasana Idulfitri di kampung halaman, Salman bertemu dengan warga Aceh di Jakarta. Mereka juga menggelar meugang, tradisi warga Aceh menyantap daging dua hari menjelang Ramadhan, Idulfitri, dan Iduladha. "Di sini kami kumpulnya di warung kopi," tutur Salman.
Langkah serupa juga dilakukan Reza Fahlevi. Pria yang kini menetap di Jakarta bersama istri ini melakukan panggilan video dengan keluarga besarnya di Aceh pada pagi Lebaran pertama. Meski dari jarak jauh, Reza tetap dapat menjalin silaturahmi pada hari raya serta bermaaf-maafan dengan orang tua dan saudara.
"Walaupun hanya dengan video call (panggilan video), tetapi sangat membantu kerinduan kampung halaman," ujar Reza, Kamis lalu.
Reza sudah dua tahun tidak mudik ke Aceh. Sudah dua kali Idulfitri pula dia merayakannya di tanah rantau, tanpa suguhan timphan, kudapan yang kerap disajikan ketika Lebaran di Aceh. Kerinduannya ke kampung halaman kadang-kadang terbalas dengan menjalin silaturahmi bersama keluarga atau warga Aceh yang menetap di kawasan Jabodetabek.
ADVERTISEMENT
Larangan Mudik dan Lonjakan Kasus
Larangan mudik selama 6-17 Mei diberlakukan untuk mengantisipasi lonjakan kasus corona ketika Idulfitri. Di Aceh, pemerintah menyekat pemudik di empat pos perbatasan pintu masuk dari Sumatera Utara, yaitu di Aceh Tamiang, Aceh, Tenggara, Aceh Singkil, dan Subulussalam.
Meski mengantongi surat hasil pemeriksaan swab, kendaraan pemudik tetap diminta putar balik. Pada hari pertama penerapan aturan tersebut, Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Aceh mencatat 148 kendaraan harus kembali ke Sumatera Utara karena tidak bisa memasuki Aceh.
"Kami mengimbau masyarakat tidak mudik karena di setiap pos perbatasan dijaga ketat petugas gabungan. Tujuan penyekatan ini untuk mencegah penyebaran virus corona," kata Direktur Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Aceh Komisaris Besar Dicky Sondani kepada jurnalis, Kamis (6/5) lalu.
ADVERTISEMENT
Selain memagari pemudik dari luar provinsi, Pemerintah Aceh menyetop operasional angkutan umum antarkota dan kabupaten di Aceh selama masa larangan mudik. Penyetopan ini bertujuan mengurangi mobilitas warga melakukan perjalanan antarkabupaten dan kota di Aceh.
Namun aturan ini menuai protes dari kalangan pekerja angkutan umum atau masyarakat yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Pemerintah Aceh kemudian mengeluarkan kebijakan terbaru yang membolehkan operasional angkutan umum dalam beberapa zona atau wilayah aglomerasi di Aceh. Aturan ini juga membolehkan perjalanan masyarakat dalam wilayah aglomerasi.
Dalam edaran yang diteken gubernur tersebut, disebutkan bahwa cakupan wilayah aglomerasi yang digunakan untuk pembatasan pergerakan orang adalah Aceh Trade and Distribution Centre (ATDC) berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA).
ADVERTISEMENT
Ada enam zona atau wilayah aglomerasi di Aceh yang masih diperbolehkan dilayani oleh angkutan umum. Pertama adalah Zona Pusat yaitu Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar dan Pidie. Untuk Zona Utara adalah Pidie Jaya, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Tengah, dan Bener Meriah.
Selanjutnya di Zona Timur ada Aceh Timur, Langsa, dan Aceh Tamiang. Kemudian Zona Tenggara meliputi Gayo Lues, Aceh Tenggara, Subulussalam dan Singkil. Berikutnya Zona Selatan yaitu Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, dan Simeulue; terakhir Zona Barat terdiri dari Aceh Barat, Nagan Raya, dan Aceh Jaya.
Wilayah aglomerasi diartikan sebagai satu kesatuan wilayah yang terdiri dari beberapa pusat kota dan kabupaten yang saling terhubung.
"Untuk perjalanan transportasi darat baik pribadi maupun umum dalam satu wilayah aglomerasi dan perjalanan kapal penumpang serta kapal motor penyeberangan tidak diwajibkan untuk menunjukkan surat hasil tes RT PCR/rapid test antigen/tes GeNose C19 sebagai syarat perjalanan," kata Kepala Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Dinas Perhubungan Aceh Deddy Lesmana, Sabtu (8/5).
ADVERTISEMENT
"Namun akan dilakukan tes acak apabila diperlukan oleh Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Kabupaten/Kota se Aceh dalam Provinsi Aceh."
Kepala Kepolisian Daerah Aceh Inspektur Jenderal Polisi Wahyu Widada ketika meninjau kesiapan personel pada pos pengamanan Operasi Ketupat Seulawah di pantai timur dan utara Aceh berulang kali mengingatkan masyarakat agar mematuhi kebijakan pemerintah. Operasi Ketupat Seulawah digelar untuk mencegah masyarakat yang nekat mudik selama Lebaran.
"Larangan mudik ini diberlakukan bertujuan untuk mencegah penyebaran COVID-19 yang masih meresahkan kita semua," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Aceh Komisaris Besar Winardy.
Berdasarkan data Pemerintah Aceh, per Sabtu (15/5), jumlah kasus corona di Aceh mencapai 12.214. Dari angka ini, 1.487 dalam perawatan medis, 10.235 dinyatakan sembuh, dan 492 meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Lonjakan kasus corona di Aceh dalam beberapa hari terakhir membuat Rumah Sakit Umum Daerah dr Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh nyaris penuh. Pasien corona yang kini dirawat di rumah sakit rujukan utama di Aceh itu sudah mencapai 76 orang. Jumlah itu disebut melampaui kurva puncak pasien dirawat dalam waktu bersamaan di rumah sakit itu tahun lalu.
Bila kasus baru terus melonjak dan tak terkendali, sistem pelayanan rumah sakit akan jebol, dan kasus jebolnya sistem pelayanan rumah sakit pernah terjadi di Wuhan, Tiongkok, dan juga di India.
"Ratusan pasien COVID-19 terlantar di luar rumah sakit dan tidak tertangani di India baru-baru ini, dan petaka itu jangan sampai terjadi di Aceh. Mari terapkan protokol kesehatan untuk keselamatan bersama," kata Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Pemerintah Aceh Saifullah Abdulgani, Jumat (14/5) malam.
ADVERTISEMENT
Sementara di Jakarta, Salman dan Reza tetap merayakan hari kemenangan meski terpisah jauh dengan keluarga besar. Larangan mudik tetap membuat Lebaran mereka indah dan silaturahmi tak terputus. "Terhubung dengan panggilan video saja dengan keluarga pada hari Lebaran sudah membuat kami semangat, apalagi saat melihat suasana keluarga yang ramai," tutur Reza.
"Keluarga juga sudah memaklumi keadaan sekarang ini," kata Salman.