Lembaga Wali Nanggroe Aceh Butuh Penguatan, Amanah Perdamaian RI-GAM

Konten Media Partner
16 Oktober 2022 12:36 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Diskusi terkait Kelembagaan Wali Nanggroe Aceh. Foto: ARD
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi terkait Kelembagaan Wali Nanggroe Aceh. Foto: ARD
ADVERTISEMENT
Aceh Resource & Development (ARD) menggelar diskusi bertema ‘Kelembagaan Wali Nanggroe sebagai Kekhususan Aceh’ untuk melihat kembali keberadaan lembaga tersebut setelah 17 tahun damai. Diskusi berlangsung di Hotel Kryiad, Banda Aceh, Sabtu (15/10/2022).
ADVERTISEMENT
Diskusi menghadirkan mantan Juru Runding Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Munawar Liza Zainal; Juru Bicara Partai Aceh, Nurzahri; Pegiat Adat-Reusam Aceh, Taufik Abda; dan Tuha Peut Lembaga Wali Nanggroe, Prof. Syahrizal Abbas. Peserta yang hadir dari beberapa lembaga swadaya masyarakat, dan mahasiswa.
Munawar Liza menyampaikan MoU Helsinki adalah dasar dibentuknya Lembaga Wali Nanggroe serta Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 Pemerintahan Aceh (UUPA). “Dalam perundingan damai di Helsinki, ada dua pihak yang sejajar, pertama GAM mewakili Rakyat Aceh kemudian Pemerintah Republik Indonesia,” katanya.
Dalam perjalanan sejarah usai tanda tangan damai pada 15 Agustus 2005, ada upaya dari internasional dan RI bahwa setelah itu GAM hilang, mengubah diri menjadi institusi-institusi di Aceh.
ADVERTISEMENT
“Sedangkan pada prinsipnya, GAM itu sebenarnya sebagai penanda-tangan, masih ada lembaganya, cuma GAM pasca-MoU tidak punya senjata, GAM yang tidak lagi memperjuangkan kemerdekaan,” jelas Munawar.
Menurut sepengetahuan Munawar, GAM itu adalah sebuah rumah besar, sebuah supermarket besar, kemudian di bawahnya bernaung sejumlah organisasi seperti KPA, membentuk Parpol bernama Partai Aceh (PA). “Jadi GAM tidak melebur menjadi PA, tapi GAM itu membentuk Parpol.”
Sebabnya, dikarenakan ada pemikiran-pemikiran bahwa GAM sudah bertransformasi ke PA, sehingga lembaga-lembaga keistimewaan yang dibentuk kemudian banyak yang diasosiasikan sepertinya punya PA. Ini sebenarnya harus diluruskan kembali. Harus ada batasan bahwa PA itu bukan GAM, tetapi Parpol yang dibentuk oleh GAM yang meneruskan ideologi-ideologi atau perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh GAM.
ADVERTISEMENT
“Kalau tidak, maka lembaga-lembaga keistimewaan yang terbentuk, termasuk Lembaga Wali Nanggroe, terpengaruh oleh hal ini, sehingga oleh sebagian rakyat Aceh dirasakan bukan milik mereka,” jelas Munawar.
Penilaiannya, Lembaga Wali Nanggroe saat ini perlu dikuatkan sebagai pemersatu yang independen di Aceh, guna memperkuat semangat perdamaian hingga kekhususan Aceh yang menjadi pertaruhan saat kesepakatan damai GAM-RI diraih di Helsinki.
Sementara itu, Nurzahri mengungkapkan terdapat benturan antara qanun Aceh terkait kelembagaan Wali Nanggroe dengan berbagai regulasi yang ada di Indonesia. Hal ini berimbas pada peruntukan anggaran yang tidak maksimal terhadap kerja-kerja Lembaga Wali Nanggroe.
Seharusnya, Lembaga Wali Nanggroe merupakan bagian dari pemerintahan apabila merujuk pada MoU Helsinki. Tapi kenyataannya, lembaga tersebut tidak jelas posisinya dalam pemerintahan, dan hanya dianggap sebagai lembaga pemersatu adat.
ADVERTISEMENT
Nurzahri sepakat perlu penguatan Lembaga Wali Nanggroe ke depan. Salah satunya melalui revisi Qanun Wali Nanggroe dan UUPA yang saat ini sedang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). []