Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Kilas Balik Konflik Aceh: Riwayat Militer GAM
29 Agustus 2019 10:25 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
ADVERTISEMENT
Enam anggota Tentara Neugara Aceh (TNA) berbaris rapi memegang senjata terakhir mereka. Berseragam hitam-hitam, bertopi baret, dan sepatu lars, tanpa simbol GAM. Mereka bukan sedang latihan di tengah hutan, tapi di lapangan Blang Padang, Banda Aceh, mengikuti upacara penghancuran senjata terakhir milik mereka, 21 Desember 2005.
ADVERTISEMENT
Sesaat kemudian, masih dengan komando militer, mereka bergerak mendekati tim decommissioning Aceh Monitoring Mission (AMM), tim yang memantau damai Aceh. Dengan sebuah penghormatan, senjata itu diserahkan, dan kemudian dihancurkan. Itulah upacara resmi penyerahan senjata terakhir milik GAM, disaksikan ratusan pengunjung, pejabat pemerintah, para wakil TNI/Polri, GAM, serta anggota AMM.
“Tadi malam telah ada konfirmasi tertulis dari GAM. Semua senjata, amunisi, dan bahan peledak telah dimusnahkan,” sebut Pieter Feith, Ketua AMM dalam sambutannya saat itu.
Faith menyebutkan, surat tersebut juga telah diberikan kepada Pemerintah Indonesia. Setelah surat itu dikeluarkan, maka tidak boleh lagi ada anggapan negatif dalam proses perdamaian Aceh. Semuanya harus saling percaya, GAM telah komitmen dalam menyerahkan semua senjatanya untuk dihancurkan.
ADVERTISEMENT
Sampai tahap keempat atau terakhir, GAM telah menyerahkan senjatanya sebanyak 1.023 pucuk. Diterima oleh AMM sebanyak 840 pucuk senjata, selebihnya ditolak karena dinilai produk rakitan. Sementara TNI sendiri masih mempermasahkan 71 pucuk senjata yang diterima AMM. Artinya, TNI hanya mensahkan 769 pucuk. Tapi, keputusan terakhir ada di AMM.
Mayjen Bambang Darmono, perwakilan Pemerintah Indonesia di AMM, dalam sambutannya menetralkan hal itu. Pemerintah RI tidak akan mempermasalahkan lagi senjata yang masih jadi pertimbangan itu. “Kita tidak lagi bicara jenis dan jumlah senjata GAM, yang penting kita bicarakan adalah menyakinkan masyarakat, bahwa tidak ada lagi senjata GAM yang tersisa,” sebutnya.
Bambang menyebutkan, pemerintah percaya kepada GAM kalau semua senjata mereka telah dimusnahkan. Pemerintah juga paham kesulitan GAM dalam mengumpulkan senjatanya, untuk itu pihak Pemerintah Indonsia masih menerima senjata GAM, jika kemudian secara tidak sengaja ditemukan kembali, sampai 31 Desember 2005, batas decommissioning sesuai MoU Helsinki.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, jika ditemukan kembali senjata di Aceh, maka senjata tersebut akan dianggap ilegal dan kasusnya adalah kriminal. Penindakannya juga akan dilakukan oleh kepolisian Indonesia. “Ini adalah sukses besar dalam upaya perdamaian yang bermartabat,” sebut Bambang.
Sementara itu, Irwandi Yusuf, perwakilan GAM di AMM saat itu, mengatakan pemusnahan senjata adalah keberhasilan satu tahap dalam proses perdamaian di Aceh. “Kami bergerak ke arah yang tepat dan akan terus bergerak,” sebutnya.
Dia menyebutkan, suatu kesedihan bagi GAM saat ini ketika melihat semua senjata mereka dimusnahkan di depan mata. Senjata-senjata yang telah menemani GAM selama berjuang bertahun-tahun untuk martabat masyarakat Aceh, mempunyai arti tersendiri. Sebagian personel GAM malah telah meninggal, tanpa melihat damai.
ADVERTISEMENT
Tapi, saat ini GAM telah mengucapkan ‘selamat tinggal’ untuk alat perang itu, “Kami menyambut masa lain, di mana senjata tidak diperlukan lagi. Sekarang alat baru, yaitu ikut dalam politik di Aceh,” sebut Irwandi.
Irwandi mengungkapkan, acara itu juga menandakan TNA sebagai militer GAM telah dibubarkan. Nantinya, GAM juga mengumumkan kepada media dan masyarakat, kalau sayap militer mereka telah dibubarkan dan dialihkan ke sipil. “Nanti kita keluarkan keputusan resmi, masih dalam bulan ini (Desember 2005),” sebutnya.
Tepat 27 Desember 2005, GAM mengumumkan secara resmi pembubaran TNA, sayap militernya. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Panglima TNA GAM, Muzakir Manaf, dan Juru Bicara TNA GAM, Sofyan Dawod, dalam konferensi pers di Kantor GAM, kawasan Lamdingin, Banda Aceh, 28 Desember 2005.
ADVERTISEMENT
Muzzakir Manaf menyebutkan TNA dan segala atributnya sudah dibubarkan, “Sekarang yang ada hanya KPA, sebuah organisasi sipil,” sebutnya kala itu.
Komite Peralihan Aceh (KPA) yang dimaksudkan Muzakir adalah organisasi sipil untuk menampung semua mantan TNA, untuk kemudian dibantu dalam mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak. “Kita tetap akan membantu mantan TNA untuk beralih ke sipil,” jelas Sofyan.
***
Keberadaan militer GAM telah ada sejak gerakan itu dideklarasi oleh Tgk Hasan Muhammad Di Tiro, pada 4 Desember 1976. Untuk sayap militernya, dinamakan Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). Markas pusat dibangun di Hutan Tiro, Kabupaten Pidie, untuk memulai gerilya.
Hasan Tiro yang sebelumnya tinggal di Amerika Serikat, menganggap Aceh perlu hidup terpisah dari Indonesia, karena ketidakadilan dan kesadaran politik. Saat awal berdiri, GAM menggunakan nama resminya sebagai Aceh Merdeka (AM), juga dikenal sebagai Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF).
ADVERTISEMENT
Berangkat dari strategi gerilya, awalnya AGAM tak terlalu menonjolkan gerakan bersenjata. Teungku Hasan Tiro menulis dalam catatan hariannya, ”Kami hanya punya beberapa pucuk senjata,” tulisnya dalam ‘The Price of Freedom: Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro’, yang terbit di Kanada pada 1984.
Sofyan Dawood menceritakan, setelah dua tahun mendeklarasi AM, tahun 1979, Hasan Tiro berangkat ke luar negeri untuk mencari dukungan politik. Urusan perjuangan, diberikan kepada sayap militernya. Panglima AGAM pertama adalah Daud Husein alias Daud Panek. Selanjutnya digantikan oleh Keuchik Umar.
Memperkuat gerakan bersenjata, Hasan Tiro mengeluarkan intruksi untuk mengumpulkan para pemuda Aceh yang gagah, untuk dikirim ke Libya. Sekitar tahun 1986, beberapa pemuda Aceh bergabung dan menjalani latihan di Maktabah Tajurra, kamp latihan militer GAM di Libya.
Lalu, satu per satu pulang kembali ke Aceh. “Gerakan bersenjata makin kuat, terutama setelah mereka yang dilatih di Libya kembali ke Aceh,” sebut Sofyan. Para jebolan kamp militer inilah yang kemudian menjadi perintis gerilya di Aceh.
ADVERTISEMENT
Latihan ke Libya berlangsung dalam beberapa tahap, sekitar tahun 1986-1989. Selama itu pula, GAM telah mendidik sekitar 800 orang tentang taktik gerilya, senjata, dan teknik para komando, lalu kembali untuk niat memerdekakan Aceh.
Tapi tak semuanya bisa tiba di Aceh. Sebagian tersangkut di Malaysia, sambil menunggu bisa menyusup ke Aceh. Sebagian lagi memperkuat GAM dalam meminta dukungan pihak luar. Ratusan alumni Libya masih tersisa saat ini, “Sangat banyak, bukan hanya di Aceh, di luar juga ada,” sebut Sofyan.
Beberapa Alumni Libya, misalnya Panglima GAM, Muzakkir Manaf, yang merupakan angkatan pertama Libya. Lainnya adalah Darwis Jeunieb, Ridwan Abu Bakar, dan juga Nasaruddin. Tapi tak sedikit juga yang tewas akibat kontak senjata, seperti Ishak Daud, yang meninggal September 2003 lalu, dalam sebuah kontak di Peurelak, Aceh Timur.
ADVERTISEMENT
Alumni inilah yang mendidik para personel muda lainnya di Aceh, hingga kemudian muncul nama-nama seperti Irwansyah alias Tgk Muchsalmina, Abdul Hadi , dan Tgk Muharram.
Sayap militer GAM, memakai kurikulum pendidikan militer Libya sebagai standar pengkaderan. Misalnya, dalam baris-berbaris, semua perintah masih memakai bahasa Arab. Cara mereka berbaris juga mirip tentara Libya. Seperti berjalan dengan dagu tegak, dan bergerak serempak dengan irama kaki yang dilambungkan tinggi-tinggi ke depan.
Sofyan Dawood menyebutkan, dalam sejarah sayap militer GAM, sebanyak empat orang telah mengisi jabatan panglimanya. Setelah Daud Husein, ada Keuchik Umar, lalu Komandan Rasyid, sebelum Abdullah Syafii memegang tampuk. “Saat itu Muzakkir Manaf adalah wakilnya,” sebut Sofyan.
Dalam pertemuan tersebut juga diatur bentuk pemerintahan, hingga berbagai struktur pemimpinnya. Nama negara menjadi Negara Aceh, lalu nama pemerintahan dikukuhkan menjadi Pemerintah Negara Aceh, dengan Ibu Kota Banda Aceh. Pimpinan Negara dipegang oleh Tgk Hasan Muhammad Di Tiro, dengan Perdana Menteri, Malek Mahmud. Beberapa menteri GAM juga ditetapkan di sana.
ADVERTISEMENT
Damai hadir 15 Agustus 2005, militer GAM resmi bubar empat bulan kemudian. Organisasi tempat menampung para mantan kombatan, Komite Peralihan Aceh (KPA) masih eksis hingga kini. []
Reporter: Adi Warsidi