Mengenang Munir, Meratapi Aceh

Konten Media Partner
7 September 2020 15:36 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Poster Munir dalam aksi Kamisan. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Poster Munir dalam aksi Kamisan. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Pascareformasi 1998, nama almarhum Munir tak bisa dipisahkan dari Aceh. Munir dianggap sebagai pribadi yang sangat concern mengampanyekan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Aceh dan juga di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tidak henti-hentinya Munir meminta pertanggung-jawaban negara atas terjadinya sejumlah kejahatan terhadap kemanusiaan di Aceh, termasuk dengan memfasilitasi terbentuknya sejumlah lembaga yang fokus pada isu pengungkapan sejumlah pelanggaran HAM masa silam. Namun, hingga ajal menjemputnya, keinginan Munir untuk pengungkapan dan penuntasan pelanggaran HAM di Aceh tak kunjung tiba.
Seperti diketahui, hari ini, pada 7 September 16 tahun silam Munir Said Thalib meninggal di atas pesawat yang akan menerbangkannya ke Belanda. Pejuang hak asasi manusia (HAM), itu dibunuh dengan cara diracun, konon melibatkan institusi intelijen negara. Rezim pemerintahan sudah dua kali berganti, namun penyelesaian kasus pembunuhan Munir tak kunjung menemukan titik terang.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, pernah berjanji akan mengungkap secara tuntas skenario pembunuhan Munir termasuk aktor intelektual yang terlibat. Namun, sampai masa kepemimpinannya selama dua periode berakhir, pembunuh Munir tidak juga diketahui. Malah, ayah dari Agus Harimurti Yudhoyono, itu membuat blunder dengan bebasnya Muchdi Pr, seorang dalang yang diduga terlibat dalam pembunuhan Munir. Padahal, para aktivis HAM termasuk istri almarhum Munir, berharap Muchdi Pr dihukum dengan berat untuk menunjukkan keseriusan Pemerintah menyelesaikan kasus tersebut.
ADVERTISEMENT
Penggantinya, Presiden Joko Widodo juga memberi harapan akan menuntaskan kasus pembunuhan Munir. Ia, misalnya, menyebut bahwa, "PR [pekerjaan rumah] kita adalah pelanggaran HAM masa lalu, termasuk kasus Munir. Ini juga perlu diselesaikan," kata Jokowi, di Istana Merdeka pada 22 September 2016, yang dikutip banyak media. Namun, janji itu hanya tinggal janji. Malah, mantan Walikota Solo itu disokong oleh Muchdi Pr dalam kampanye untuk memenangkan kursi presiden di periode kedua.
Munir dan Aceh
Saya dua kali bertemu dengan almarhum Munir. Pertemuan pertama terjadi di kantor Kontras (dulu masih di bilangan jalan Cisadane, Cikini) tahun 2003. Saya tidak ingat untuk urusan apa saya ke sana. Saat itu, para aktivis Aceh yang berada di Jakarta sering datang ke sana. Pertemuan kedua terjadi di Hotel Cemara, Jakarta Pusat, pada 14 November 2003. Munir menjadi salah satu pembicara diskusi “Dampak dan Implikasi Penerapan Darurat Militer di Aceh” yang dibuat oleh Komnas HAM di hotel tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain Munir, diskusi selama dua hari itu, juga menghadirkan (alm) Gus Dur, Pdt Nathan Setia Budi, Hakim Nyak Pha, Otto Syamsuddin Ishak, dan lain-lain. Acara tersebut merupakan salah satu upaya Komnas HAM untuk memberikan opini berbeda terhadap penerapan Darurat Militer (DM) di Aceh. Hampir semua pembicara menyoroti dampak DM bagi masyarakat kecil serta mendorong upaya perdamaian yang sebelumnya digagas. Mereka tak pernah yakin DM mampu menyelesaikan masalah Aceh.
Paparan para pemateri sungguh menarik. Munir, misalnya, banyak menyoroti strategi Darurat Militer di Aceh, yang menurutnya menghancurkan apa yang sudah dibangun oleh Gus Dur sebelumnya di Aceh. Di pelbagai forum dan kesempatan, misalnya, Munir menyerukan pencabutan Darurat Militer. Menurut saya, Munir termasuk aktivis yang paling getol menentang kebijakan militeristik di Aceh.
ADVERTISEMENT
Munir menunjukkan beberapa strategi penerapan Darurat Militer di Aceh. Pertama, menghidupkan birokratik otoriter dalam bentuk kebijakan KTP Merah Putih. Awalnya, kebijakan KTP Merah Putih ini dimaksudkan untuk memisahkan rakyat Aceh dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Kenyataannya, KTP itu justru untuk membedakan antara orang Aceh dengan non Aceh,” katanya.
Kedua, pola manipulasi politik masyarakat. Pola ini dimaksudkan untuk memperoleh struktur otoriter, seperti adanya pilihan hitam-putih. “Ini tidak lain adalah sub-ordinasi konsep keamanan. Mendukung DM atau GSA (Gerakan Separatis Aceh, nama yang sering diberikan oleh militer kepada GAM),” jelasnya. Munir mencontohkan aksi demonstrasi atau mobilisasi massa untuk mendukung perpanjangan DM di Aceh. “Padahal pada kenyataannya aksi itu direkayasa oleh TNI,” paparnya.
Ketiga, relasi mutualisme yang memunculkan parasit. Darurat Militer, katanya, membuka peluang terjadinya kerjasama antara militer dengan elit politik lokal. Banyak elit lokal menikmati keuntungan di balik pemberlakuan DM, seperti kesempatan melakukan KKN. “Suasana DM dimanfaatkan oleh elit lokal untuk memperkaya diri,” tegas Munir yang juga pendiri Imparsial.
ADVERTISEMENT
Tidak cuma itu, Munir juga menyoroti bahwa pola operasi yang diterapkan TNI di Aceh yaitu sistem okupasi wilayah. Baginya itu lebih mencerminkan bentuk penyerbuan satu negara ke negara lain.
“DM di Aceh itu sama dengan konsep yang dijalankan oleh AS di Irak,” katanya membandingkan dengan perang yang terjadi di Irak, ketika kekuatan sekutu menyerbu Irak untuk mendongkel Saddam Husein. Pola seperti ini, menurut Munir, sama sekali bukan pilihan terutama untuk mengukur tingkat kemenangan TNI di Aceh. Karena, strategi yang diterapkan GAM adalah perang gerilya yang sama sekali tak menganggap penting pemanfaatan atau pendudukan suatu wilayah.
“Jadi, klaim keberhasilan oleh TNI adalah klaim kemenangan semu,” simpul aktivis kelahiran Batu, Malang, pada 8 Desember 1965 ini.
ADVERTISEMENT
Aceh dan Munir sama Nasib
Merujuk pada penanggalan, hari ini berarti sudah 16 tahun Munir dibunuh. Ia (dan keluarganya) belum juga mendapatkan keadilan, sama seperti banyak kasus lain di Indonesia. Pembunuhnya belum diketahui hingga sekarang.
Ini pula yang membuatnya nasibnya sama dengan nasib Aceh: sama-sama tidak jelas. Pengungkapan siapa aktor intelektual pembunuhan Munir masih suram, dengan bebasnya Muchdi Pr pada 31 Desember 2008 silam. Praktis, hanya operator lapangan, Polycarpus Budihari Priyanto yang dihukum berat: 14 tahun penjara.
Begitu juga halnya dengan penyelesaian pelanggaran HAM Aceh masa lalu, tidak juga menemukan titik terang. Para korban belum semuanya mendapatkan keadilan. Memang, di Aceh, hadir Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk mengungkap kekejaman di masa lalu. Namun, keberadaan lembaga ini nyaris tidak diketahui: antara ada dan tiada. Boleh jadi, pemerintah di level daerah maupun nasional, sama sekali tidak menganggap adanya lembaga ini.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, kasus Munir dan Aceh, jadi preseden buruk betapa negara kehilangan kewibawaannya untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan di masa lalu. Mengenang Munir sama artinya dengan meratapi nasib Aceh. Menyedihkan! []