Konten Media Partner

Menilik Jejak Ganja dalam Kuliner Aceh Tempo Dulu

9 Juli 2019 15:51 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ladang ganja di Aceh Besar. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Ladang ganja di Aceh Besar. Foto: Suparta/acehkini
ADVERTISEMENT
Pada masa dulu di Aceh, ganja kerap menjadi bumbu pelengkap, untuk memasak daging. Sebelum tanaman itu terlarang di Indonesia, para leluhur negeri Serambi Makkah menjadikan pohon ganja sebagai tanaman wajib di kebun rumah.
ADVERTISEMENT
Kuliner mengandung ganja kerap ditanyakan rekan acehkini di luar Aceh, ketika bicara soal masakan. Baru-baru ini, sebut saja Rudi, seorang rekan dari Jakarta berkesempatan mengunjungi Aceh kembali, setelah belasan tahun. “Mungkin enggak ada kari mengandung ganja di festival kuliner Aceh?” tanyanya.
Rudi berada di Banda Aceh saat berlangsungnya Aceh Culinary Festival 2019 yang digelar pada 5-7 Juli 2019 di Taman Ratu Safiatuddin. Tapi, mustahil mencari menu itu di sana, tidak ada. Rindunya terpendam sampai dia kembali ke Jakarta, Senin (8/9) kemarin.
Dia mengaku menikmatinya, dulu pernah dibuatkan kawan-kawannya saat bekerja di Aceh, masa rehabilitasi pascatsunami. Beberapa rekannya kerap mengundangnya makan di rumah, memasak khusus menu itu secara diam-diam, dinikmati ramai-ramai.
Ladang ganja di Aceh Besar. Foto: Abdul Hadi/acehkini
Pemerhati sejarah dan budaya Aceh, Tarmizi Abdul Hamid, mengatakan menu berbumbu ganja bukan barang asing dulunya, sebelum tanaman itu dilarang pemerintah. “Umumnya biji ganja dipakai sebagai bumbu untuk memasak daging; sapi, kambing, ayam, maupun bebek,” kata kepada acehkini, Selasa (9/7/2019).
ADVERTISEMENT
“Biasanya ampuh juga untuk memasak ayam atau bebek yang sudah tua, yang dagingnya sudah sangat kenyal, biji ganja bisa membuatnya lembut,” sambung Tarmizi.
Tarmizi Abdul Hamid memperlihatkan sebuah naskah kuno Aceh miliknya. Foto: Ahmad Ariska
Biji ganja yang dihaluskan bersama bumbu lainnya, bukan sebagai gaya-gayaan. Biji itu mampu membuat empuk daging, hingga enak dikunyah, membuat rasa masakan lebih sedap, dan bahkan menjadi semacam pengawet makanan alami. “Makanannya tidak cepat basi dan dulu tidak ada kulkas. Leluhur kita paham itu,” jelas Tarmizi, yang juga kolektor naskah kuno Aceh.
Tentang ganja sebagai bumbu, Tarmizi mengatakan tertuang dalam kitab Tajol Mulok, warisan Kesultanan Aceh bertarikh abad ke-18 Masehi. Selain resep dan bumbu makanan, kitab itu juga memuat tafsir mimpi, ramalan sifat seseorang sampai kepada gejala alam sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Selain untuk bumbu makanan, ganja juga mujarab sebagai obat-obatan. Misal, akarnya dapat dimanfaatkan sebagai obat darah manis (diabetes) juga asam urat. “Akar direbus, dan diminum airnya,” jelas Tarmizi.
Pemanfaatan tanaman ganja kemudian terus bertransformasi, dicampur rokok, juga daun muda menjadi campuran sayur. Belakangan lahir kopi ganja dan dodol ganja. Usai dilarang pemanfaatannya di Indonesia, jenis-jenis makanan itu makin sulit didapatkan.
Ganja disebutkan secara jelas sebagai barang haram dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika Tahun 1961. Pemerintah kemudian menyempurnakan UU tersebut, melahirkan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ganja dimasukkan dalam narkotika golongan I (satu).
Tanpa bumbu ganja, kuliner tradisional berbahan daging, masih dapat dinikmati hingga kini. Minus biji ganja, bumbu lainnya masih sama. Sebut saja misalnya, dua paling terkenal; kuah beulangong, dan kari sie itek (bebek).
Kuah beulangong, dulunya berbumbu ganja. Foto: Adi Warsidi/acehkini
Kuah Beulangong
ADVERTISEMENT
Dinamakan kuah beulangong karena proses memasaknya dilakukan dalam belanga atau kuali besar. Warga Aceh memasaknya saat kenduri maupun merayakan tradisi memperingati hari-hari besar agama, seperti saat Ramadan, juga Maulid Nabi. Kuah beulangong mudah dijumpai di warung-warung makan, umumnya di Banda Aceh dan Aceh Besar.
Kuah beulangong, berbahan utama adalah daging sapi atau kambing yang dipotong kecil, kemudian nangka muda atau pisang kapok dipotong sesuai selera. Bumbunya lumayan banyak: Kelapa gongseng, kelapa giling, cabai merah, cabai kering, cabai rawit, bawang putih, jahe, kunyit, ketumbar gongseng, kemiri, dan lengkuas. Semuanya dihaluskan menjadi satu.
Jika bumbu sudah ada, memasaknya tak sukar. Daging dimasukkan dalam kuali, kemudian diaduk bersama bumbu dan garam hingga merata. Lalu air ditambahkan secukupnya sampai setengah matang. Selanjutnya potongan nangka muda dimasukkan dan air kembali ditambahkan sampai benar-benar masak. Yang perlu dijaga selanjutnya adalah pengadukannya, agar masaknya merata.
ADVERTISEMENT
Kari Sie Itek
Kari Sie Itek Aceh atau kari bebek biasanya dijual di warung-warung makan, kerap menjadi menu sehari-hari bagi warga Serambi Makkah.
Keistimewaan kari Sie Itek Aceh terletak pada bumbunya, warisan nenek indatu (nenek moyang) Aceh masa silam. Kari itu dimasak dengan bumbu yang diracik berbahan utama cabai merah, merica, lada, jahe, dan bawang yang digiling halus. Lalu ditambahkan daun salam dan serai. Bumbu paling khasnya adalah kelapa parut yang kemudian disangrai dan digiling. Orang Aceh sering menyebutnya ‘u neulhei’, yang membuat kuahnya sangat beda dengan masakan lainnya. []
Reporter: Adi Warsidi