Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Menyusuri Lorong Ingatan, Melihat Potret Jejak Konflik Aceh
10 Desember 2019 21:08 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB

ADVERTISEMENT
Plang hitam bertuliskan 'Lorong Ingatan' yang diberi warna merah berdiri di sisi kiri pintu masuk Kantor Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (KontraS) Aceh. Sementara dua instalasi seni yang terbuat dari bambu berada di sebelah kanan.
ADVERTISEMENT
Sejumlah foto dipamerkan di halaman Kantor KontraS Aceh. Foto-foto itu umumnya menampilkan suasana saat Aceh dilanda konflik. Dimana konflik panjang di Aceh baru berakhir setelah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia sepakat damai di Helsinki, Firlandia, pada 15 Agustus 2005 silam. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan 'Memorandum of Understanding' (MoU) Helsinki.
Di antara pajangan foto-foto tersebut, terlihat pengunjung yang tengah menyaksikan foto-foto karya fotografer Hotli Simanjuntak. Pada Selasa (10/12) siang, puluhan mahasiswa duduk di bawah sebuah tenda yang didirikan di halaman Kantor KontraS Aceh.
Di sudut lain, Idrus Bin Harun dan kawan-kawan terlihat melukiskan mural di dinding dan tangga menuju lantai 2 Kantor KontraS Aceh. Di sisi kanan mereka, terdapat bilik yang diinstalasi berwarna gelap dengan menampilkan sejumlah artefak konflik. Instalasi berupa sepatu lars berukuran besar yang dibuat dari bambu yang diisi pecahan-pecahan kaca di dalamnya menyambut pengunjung yang memasuki bilik itu.
ADVERTISEMENT
Di bilik itu, pengunjung juga disuguhkan sebuah instalasi kursi listrik dan meja yang di atasnya diletakkan peralatan seperti tang, golok, palu, gunting. Beberapa goni dan lukisan juga menghiasi ruangan yang didesain dengan nuansa gelap yang turut diiringi alunan musik berirama rendah.
Sementara di lantai 2 atas bilik itu, beberapa foto orang yang hilang di masa konflik dipajang di lantai balkon. Di antara foto-foto itu, terdapat gambar jalan menuju sebuah meja yang di atasnya terletak sebuah kursi besar dikelilingi barang bekas berupa potongan-potongan besi. Instalasi dua sepatu yang telah ditumbuhi rerumputan berada persis di depan kursi yang dicat warna merah muda itu.
Semua foto dan instalasi seni tersebut dipajang pada acara yang digelar selama dua hari, Senin-Selasa (9-10/12), di pekarangan Kantor KontraS Aceh dalam rangka memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) di Aceh.
ADVERTISEMENT
Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra, menyebutkan pihaknya bersama Komunitas Kanot Bu, Apotek Wareuna, LBH Banda Aceh dan Asia Justice and Rights (AJAR) menggelar kegiatan yang diberi nama Lorong Ingatan dengan tema 'Khauri Nujoh'.
'Khauri Nujoh' sendiri bagi masyarakat Aceh sebagai sebuah tradisi bentuk kenduri saat salah seorang anggota keluarga meninggal dunia. Dimana saat kenduri dilaksanakan, saudara dan tetangga dan masyarakat berdatangan ke rumahnya untuk mendoakan orang yang meninggal dunia serta menghibur keluarga yang tengah dirundung kesedihan.
"Semua kegiatan ini dalam rangka memperingati Hari HAM, sebagai upaya merawat ingatan terhadap konflik Aceh masa lalu," ujar Hendra.
Kegiatan digelar berupa pameran foto, instalasi seni, pemutaran film, musik, musikalisasi puisi, hikayat, aksi mural dan diskusi. "Target utama dari kegiatan ini adalah kelompok-kelompok anak muda, karena satu sisi kita melihat ada informasi pengetahuan yang terlalu jauh antara generasi sekarang dengan generasi Aceh masa lalu," sebutnya.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, kegiatan tersebut untuk memperkecil ruang yang terlalu jauh antar generasi. "Penting bagi generasi muda kita untuk mengetahui seperti apa konflik Aceh terjadi di masa lalu," tutur Hendra.
"Jangan sampai cerita-cerita konflik ini menjadi cerita dongeng. Beberapa hal yang terjadi di sini sebenarnya sebuah hal yang melompati akal sehat kita, karena bentuk penyiksaan yang pernah terjadi itu melompati akal sehat kita. Kalau kita berpikir secara akal sehat kita kan ini semua tidak mungkin terjadi," ucapnya.
Hendra menjelaskan, foto-foto dan instalasi seni menunjukkan bahwa Aceh dulu punya sejarah kelam. "Mari kita rawat sejarah itu dan mari kita ingat bersama sejarah itu," kata dia.
"Tapi ini menjadi ingatan kita untuk menjaga perdamaian. Mari kita perbaiki luka-luka yang ada di zaman konflik dulu, hanya untuk merawat perdamaian," ujar Hendra.
Lebih lanjut, Hendra menambahkan, perdamaian Aceh akan sulit berlangsung dengan baik kalau luka-luka lama tersebut tidak dirawat. Karena menurutnya, kekhawatiran pihaknya akan luka-luka lama itu bukan hanya terjadi di generasi sekian tahun, namun bisa saja menjadi luka yang diwarisi kepada generasi mendatang.
ADVERTISEMENT
"Kalau luka ini diwarisi kepada generasi-generasi mendatang akan sangat mudah untuk dipicu emosi ke hal-hal negatif oleh kelompok-kelompok tertentu yang tidak ingin Aceh berdamai. Kita berharap ini menjadi ruang untuk menuju menjaga perdamaian Aceh," pungkas Hendra.