Konten Media Partner

Nasib Meriam Langka Sultan Iskandar Muda yang Tak Terawat di Aceh Barat

20 Juni 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Meriam peninggalan Aceh masa Sultan Iskandar Muda. Foto: Siti Aisyah/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Meriam peninggalan Aceh masa Sultan Iskandar Muda. Foto: Siti Aisyah/acehkini
ADVERTISEMENT
Benda itu kusam, warnanya memudar dimakan usia. Bukan di dalam gedung museum, tapi teronggok pada sebuah tempat yang dikelilingi semak-semak di Desa Arongan, Kecamatan Lambalek, Kabupaten Aceh Barat.
ADVERTISEMENT
Benda itu meriam bubuk mesiu yang langka, diduga peninggalan masa Kesultanan Aceh Darussalam dipimpin Sultan Iskandar Muda, yang digunakan untuk menjaga kedaulatan Aceh dari incaran kapal-kapal penjajah. Konon, meriam warisan abad-17 itu dipesan khusus dari Kesultanan Turki.
Terdapat tiga meriam di sana, letaknya berdekatan. Semua mengarah ke timur laut, seolah-olah sedang menanti musuh datang menyerbu. Kini, ketiga meriam itu telah berkulit lumut akibat tak terurus. Lubang tempat pengisian mesiu tersumbat tanah, mulai berkarat.
Meriam yang menjaga Kesultanan Aceh dari penjajah. Foto: Siti Aisyah/acehkini
Keturunan ke-16 Ulee Balang Woyla Baroh atau ahli waris meriam itu, Abu Said Hitam (80 tahun), mengatakan berdasarkan cerita turun-temurun keluarganya, benda itu peninggalan bersejarah yang diwariskan sejak masa Sultan Iskandar Muda.
Menurut Abu Said, awalnya meriam itu sebanyak lima buah. Namun sebagiannya hilang setelah disapu gelombang tsunami yang menerjang Aceh pada 26 Desember 2004 silam. “Meriam ini sejarahnya dari masa Sultan Iskandar Muda digunakan sebagai pertahanan pada masa itu,” katanya kepada acehkini, Rabu (17/6).
ADVERTISEMENT
“Sebelumnya jumlah meriam ada lima buah, ada yang panjang tiga meter dan yang pendek satu meter. Tapi itu enggak tahu lagi sekarang di mana, sudah hilang. Tersisa tiga buah ini, dulu tempatnya terpisah, kini disatukan," jelasnya.
Tapak rumah panggung. Foto: Siti Aisyah/acehkini
Tak jauh dari lokasi meriam, terdapat sebuah rumah permanen tak berpenghuni. Di sampingnya puing-puing, seperti fondasi bangunan rumah Ulee Balang atau bangsawan perwakilan Sultan Aceh yang mengurus pemerintahan di daerah.
Pada setiap tapak itu terdapat corak coretan bunga. Menurut Abu Said, bunga itu adalah hiasan raja, karena zaman dulu tidak ada taman bunga di depan rumah.
Seingat Abu Said, di fondasi itu dulunya berdiri sebuah rumah khas Aceh berbentuk panggung. Atap rumah itu terbuat dari daun rumbia. Sementara dindingnya berupa papan tebal sekitar 20 sentimeter. Papan itu menurut Abu Said bernama papan salib, berbeda dengan papan yang dibelah dengan mesin gergaji.
ADVERTISEMENT
Tsunami Aceh 15 tahun silam mengakibatkan sejumlah benda pusaka yang disimpan Abu Said hilang. Misalnya; meja perak, cawan emas, hingga peralatan tempur prajurit Sultan Aceh. Kini benda-benda itu tidak diketahui lagi keberadaannya.
Di era konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintan Indonesia (1976-2005), menurut Abu Said, pihak negara Brunei Darussalam pernah berniat menjadikan kawasan itu sebagai monumen sejarah.
Abu Said Hitam, pewaris Ulee Balang Woyla Baroh. Foto: Siti Aisyah/acehkini
Namun, rencana itu urung terwujud. “Ada datang orang dari negara Brunei Darussalam membawa peralatan dengan menggunakan helikopter. Mereka datang untuk membangun lokasi ini sebagai tempat sejarah kerajaan Woyla Baroh,” ujarnya.
Meski kondisinya sekarang tak terurus, meriam langka itu tercatat sebagai benda pusaka adat Aceh di Majelis Adat Aceh (MAA) Kabupaten Aceh Barat. Saat Abu Said menjabat Ketua MAA Aceh Barat, rencana pemugaran tempat itu tak dilakukan karena keterbatasan dana.
ADVERTISEMENT
Abu Said bilang, meriam itu kurang perhatian pemerintah. Sementara pihak keluarga Ulee Balang Woyla Baroh kerap mendatangi tempat itu saat momen berkumpul. "Selama ini sering juga orang datang untuk melihat meriam ini, seperti mahasiswa dari Banda Aceh dan Malaysia,” katanya.
Sangat sedikit warga Aceh Barat yang mengetahui soal meriam itu. Misalnya Nurul Fahmi yang mengetahui keberadaan meriam di sana dari temannya. Ia pun tertarik mendatangi lokasi meriam untuk melihat peninggalan sejarah itu.
”Sebelum datang ke lokasi saya mengira meriam ini peninggalan Belanda atau Jepang, tetapi setelah dijelaskan oleh Abu Said rupanya ini peninggalan masa Kesultanan Aceh,” ujar Fahmi.
Ukiran bunga di bekas tapak rumah Ulee Balang. Foto: Siti Aisyah/acehkini
Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, M Ali Taufik, mengatakan pihaknya keterbatasan anggaran untuk melakukan pemeliharaan peninggalan sejarah itu.
ADVERTISEMENT
“Pastinya kita belum mengetahui meriam itu sejak masa kesultanan mana, mungkin saja masa Sultan Iskandar Muda, tapi kami tidak sampai ke sana pengetahuannya, yang saya tahu itu peninggalan kerajaan," kata Ali kepada acehkini.
Menurutnya, Disbudparpora Aceh Barat pada tahun ini berencana melakukan pendataan semua situs atau bukti sejarah di Aceh Barat. Namun rencana itu terpaksa ditunda karena pengalihan anggaran untuk penanganan COVID-19.
“Nantilah itu kami bicarakan. Kami belum ke lokasi, sekarang lagi pantau-pantau di mana yang ada, karena sekarang semua anggaran ditarik ke penanggulangan COVID-19. Jadi sangat terbatas," demikian Ali Taufik. [] Siti Aisyah
Kondisi di sekitar lokasi meriam. Foto: Siti Aisyah/acehkini