Rencong Khusus Pembunuh Kafir (22)

Konten Media Partner
23 Januari 2022 12:33 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Di masa perang Aceh melawan Belanda, banyak rencong khusus yang diciptakan dengan niat membunuh kafir. Senjata tradisional ini menjadi identitas pejuang prang sabi, bersanding dengan pedang, senapan dan meriam.
Rencong dengan ukiran kaligrafi di bilahnya, koleksi Tarmizi Abdul Hamid. Foto: Suparta/acehkini
Di antara ragam senjata Aceh, rencong sebagai senjata khas paling populer. Benda pusaka ini mewakili semangat perjuangan dan kepahlawanan Aceh dalam melawan penjajah. Belanda pun mengakuinya, bahkan serdadu marsose ikut memakainya.
ADVERTISEMENT
Rencong sebagai identitas Aceh dinilai mampu membangkitkan semangat perang bagi pemakainya. "Salah satu penyebab mengapa orang-orang Aceh terkenal dan berani dalam setiap peperangan yang dilakukannya melawan musuh adalah karena mereka memiliki rencong yang menakutkan musuh-musuhnya. Orang-orang Belanda mengistilahkan rencong tersebut dengan buiksnijder atau perobek perut," tulis D Staat (1980) seperti dikutip dalam ‘Aceh Tanah Rencong’ karya Rusdi Sufi, dkk (2008).
Koleksi-koleksi rencong masa Kesultanan Aceh dan perang melawan Belanda masih terawat baik di Museum Aceh. Sebagiannya telah dilakukan digitalisai, untuk dipublikasi kepada khayalak umum. Saban tahun, museum juga menggelar pameran senjata tradisional yang biasanya bertepatan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) Museum Aceh, jatuh pada setiap 31 Juli.
Rencong dan senjata yang pernah digunakan dalam perang oleh pejuang Aceh, juga kami temui di Rumoh Manuskrib Aceh, milik Pemerhati Sejarah dan Budaya Aceh, Tarmizi Abdul Hamid. Umumnya rencong di sana jenis meukuree dengan ukiran kaligrafi di bilahnya, bersumber pada kalimat syahadat tauhid.
Rencong koleksi Tarmizi Abdul Hamid. Foto: Suparta/acehkini
Tentang rencong ini, Tarmizi menyakini sebagai senjata yang dibuat khusus dalam perang melawan Belanda. Artinya baru ada setelah 26 Meret 1873, usai Belanda memaklumatkan perang dengan Kesultanan Aceh. “Khusus dipergunakan untuk membunuh kaphe (kafir),” katanya saat wawancara dengan penulis.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, bangsa Aceh banyak terlibat perang menghadapi bangsa lainnya di masa lalu, tapi sebutan kaphe khusus untuk penjajah Belanda. Sebabnya, Belanda sudah mengusik masalah agama Islam yang sangat kental di Aceh, termasuk membakar Masjid Raya Baiturrahman di pusat Kota Banda Aceh. “Karena itu, orang Aceh menabalkan kafir untuk Belanda. Sedangkan penjajah Inggris, Portugis, dan Jepang, tidak disebut kafir karena hanya memonopoli perdagangan rempah dan tidak mengusik ihwal agama,” jelasnya.
Rencong berukiran kalimat tauhid menjadi senjata utama pasukan Aceh dalam perang puluhan tahun yang lebih dikenal dengan Prang Sabi itu. Pemakainya adalah para mujahidin yang sudah sanggup menjaga jiwanya sendiri. Harus selalu dalam keadaan suci atau bersih dari hadas kecil dan besar saat perang. Mereka pasukan terdepan dalam melawan penjajah, dipimpin ulama dengan niat berperang di jalan Allah dan mati syahid.
ADVERTISEMENT
Karena seringnya penggunaan rencong ini dalam perang, kata Tarmizi, kemudian lahir satu peribahasa Aceh: "Rencong nyang ka ditubiet dalam sarong, tetap dipajoh ureung." Maknanya, rencong yang sudah lepas dari sarungnya bakal membunuh orang.
Ureung atau orang yang dimaksud dalam peribahasa itu bukanlah orang Aceh, melainkan kaphe. Ibaratnya, kalau orang Aceh sudah mengeluarkan rencong dari sarungnya saat itu, pasti ada orang Belanda yang mati. "Karena dari dulu rencong tidak digunakan untuk pertikaian sesama orang Aceh," ujarnya. []