Konten Media Partner

RPuK Aceh: Selesaikan Itsbat Nikah Korban Konflik, Bukan Poligami

12 Juli 2019 18:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Salah satu pasangan sidang itsbat nikah yang telah berusia lanjut di Aceh Utara, tahun 2018. Foto: Dok. RPuK
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu pasangan sidang itsbat nikah yang telah berusia lanjut di Aceh Utara, tahun 2018. Foto: Dok. RPuK
ADVERTISEMENT
Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK) Aceh, meminta Pemerintah Aceh menyelesaikan segala permasalahan pernikahan siri, yang banyak terjadi ketika Aceh dilanda konflik dan bencana tsunami. Banyak warga waktu itu menikah tanpa tercatat di KUA, atau belum dicatat negara sehingga tak mengantongi buku nikah.
ADVERTISEMENT
“Selesaikan dulu itsbat nikah korban konflik dan korban tsunami, bukan (bicara) poligami dulu,” kata Leila Juari, Sekretaris Eksekutif RPuK, Jumat (12/7/2019). Isbat nikah adalah permohonan pengesahan nikah yang diajukan ke pengadilan untuk dinyatakan sah-nya pernikahan dan memiliki kekuatan hukum. Biasanya sidang ini diadakan bagi pasangan yang pernikahannya belum dicatat negara, kehilangan buku nikah, atau menikah sebelum tahun 1974
Komentar ini disampaikan Leila, berkaitan dengan rencana DPRA yang ingin mengatur tentang pelegalan poligami dalam Rancangan Qanun Hukum Keluarga, beralasan agar kaum perempuan mendapat keadilan dan terlindungi hak-haknya.
Menurut Leila, soal poligami untuk saat ini cukuplah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menjadi patokan. Termasuk Putusan Mahkamah Konstitusi No. 12/2007 dan Kompilasi Hukum Islam.
ADVERTISEMENT
“DPRA tidak perlu mengaturnya lagi dalam Qanun Aceh. Kecuali hal-hal khusus yang berkembang dan membutuhkan penanganan mendesak. Seperti mengenai pernikahan siri yang banyak terjadi pada masa konflik Aceh. Masih menyisakan berbagai persoalan akibat ketiadaan administrasi kependudukan,” kata Leila.
Pernikahan siri pada masa konflik yang dimaksud Leila, tidak berhubungan dengan poligami. Tetapi pernikahan suami dengan satu istri secara agama Islam, yang tidak tercatat negara karena kondisi perang dan bencana di Aceh kala itu.
Sekretaris Eksekutif RPuK, Leila Juari. Dok. Pribadi
Berdasarkan kerja-kerja RPuK di Aceh Utara sepanjang 2015-2018, ditemukan sebab pernikahan siri pada masa konflik adalah karena proses administrasi pemerintahan tidak dapat berjalan seperti biasanya. Juga sebab lainnya seperti keamanan, kemiskinan, akses pelayanan yang jauh ke kantor KUA, proses yang berbelit, dan pengetahuan masyarakat (khususnya perempuan) di daerah-daerah terpencil yang sangat terbatas, tentang pentingnya pencatatan pernikahan.
ADVERTISEMENT
Dari informasi yang dikumpulkan RPuK melalui Kepala Dinas Syariat Islam Aceh tahun 2018, diketahui terdapat sekitar 19.000 pasangan, yang menikah saat konflik dan korban tsunami, masih berharap untuk mendapatkan itsbat (penetapan) nikah secara gratis.
“Harusnya dengan anggaran yang besar melalui otonomi khusus, Pemerintah Aceh dapat mengalokasikannya untuk mempercepat proses penertiban pencatatan administrasi kependudukan tersebut,” kata Leila.
Karena sejak disahkannya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pengesahan Pernikahan (Itsbat Nikah) Pelayanan Terpadu Satu Hari, tercatat setiap tahunnya Pemerintah Aceh hanya mengalokasikan anggaran untuk 1.000 sampai 1.600 pasangan.
“Dengan kondisi masyarakat seperti ini, seharusnya Pemerintah Aceh lebih mengutamakan menyelesaikan dampak pernikahan siri pada masa konflik dan tsunami. Bukan malahan melegalkan poligami,” kata Leila mengakhiri.
ADVERTISEMENT
Selama ini, RPuK aktif memfasilitasi itsbat nikah warga korban konflik Aceh, di wilayah-wilayah pedalaman Aceh. “RPuK mencoba menfasilitasi kepentingan masyarakat korban konflik dan pemerintah yang menginginkan ketertiban administrasi dapat terwujud,” kata Leila. []
Reporter: Adi W