Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1
Konten Media Partner
Sejarah 26 Maret: Usai Inggris Berkhianat dan Siak Tunduk, Belanda Perangi Aceh
26 Maret 2021 14:18 WIB
·
waktu baca 7 menitDiperbarui 6 September 2021 21:24 WIB
ADVERTISEMENT

Sultan Ismail dari Kerajaan Siak (wilayah Riau sekarang) muncul di Singapura pada 1856. Dia mengadu kepada Inggris dan meminta bantuan karena adanya sengketa dengan saudaranya, Tengku Putera, terkait pergantian raja. Mereka berdua, sama-sama ingin menjadi penguasa di Kesultanan Siak.
ADVERTISEMENT
Kendati tak banyak imbalan yang dibawa oleh Sultan Ismail kepada Gubernur Singapura, tapi dia berjanji kalau naik tahta nantinya akan menyerahkan kerajaannya di bawah komando Inggris. Tetapi, Inggris tak tertarik karena taat pada perjanjiannya dengan Belanda atau Traktat London, yang disepakati pada 1824. Isi perjanjian, Inggris tak campur tangan pada perluasan kekuasaan Belanda di Sumatera, dan menghormati Kedaulatan Aceh sebagai sebuah Kerajaan Merdeka.
Paul van’t Veer dalam bukunya De Atheh-oorlog, mengisahkan pihak swasta pedagang Inggris di Singapura, tak terlalu peduli dengan Traktat London. Mereka melihat permohonan Sultan Ismail sebagai peluang. Sejumlah pedagang tergerak membantu.
Seorang Inggris bernama Wilson, berhasil mengumpulkan sebuah pasukan berjumlah besar saat itu yang dapat dilakukan di kepulauan nusantara untuk tujuan swasta. Pasukan terdiri dari perompak Bugis, dikepalai oleh enam orang Eropa. Wilson mengangkut tentaranya ke Siak, bergabung dengan pendukung Sultan Ismail hingga dapat mengalahkan Tengku Putera. Kedudukan Sultan Ismail semakin kuat.
ADVERTISEMENT
Wilson selalu menambah tuntutan dan sulit dipenuhi Sultan Ismail. Bahkan sultan terusir dari daerahnya. Dia kemudian berunding dengan saudaranya Tengku Putera, dan bersama-sama meminta bantuan Belanda berdasarkan perjanjian-perjanjian lama dengan kompeni.
Kedua bersaudara berhasil didamaikan setelah Batavia mengutus Residen Riau ke Siak. Wilson terdesak dan kalah, saat Pemerintah Hindia Belanda mengirimkan kapal perang dari Batavia ke Siak. Dan sultan juga kehilangan kuasa penuh kerajaan, setelah menyerahkannya kepada Belanda pada 1858.
Belanda telah berhasil memperluas kuasa ke Sumatera Timur, sejak dari Langkat, Deli, Asahan, Kampar dan seluruh daerah yang terletak di seberang Malaka, kecuali Aceh.
Usai peristiwa itu, muncul polemik antara Belanda dan Inggris, setelah para pedagang Inggris melancarkan protes dan kampanye pada sejumlah media di Eropa. Namun, pemerintah Inggris tak terlalu menghiraukannnya, tapi Pemerintah Belanda bertingkah sangat hati-hati dalam upaya perluasan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Hubungan Belanda dengan Aceh masih baik, karena Gubernur Daerah Sumatera Barat, Jenderal J van Swieten, sebelumnya sempat membuat perjanjian saling menghormati dengan Aceh, pada 30 Maret 1857. Isinya, menghapuskan berbagai istilah lama mengenai perompakan yang dilakukan oleh Aceh terhadap kapal dagang di Selat Malaka, dan istilah nafsu perluasan wilayah oleh Belanda terhadap daerah kekuasaan Aceh. “Untuk masa-masa selanjutnya, yang ada hanyalah perdamaian persahabatan dan perdagangan bebas di antara kedua negara,” demikian salah satu isi perjanjian.
Mungkin sekali hubungan antara Singapura (Inggris), Aceh dan Batavia (Belanda) akan berjalan baik seandainya Pemerintah Hindia Belanda menaati desakan ‘politik tidak campur tangan’ dengan negara-negara lain, sesuai yang disampaikan Menteri James Loudon di Den Haag, pada 1861. “Setiap usaha untuk memperluas kekuasaan kita di Kepulauan Nusantara, saya anggap sebagai langkah menuju kepada keruntuhan kita,” demikian disampaikan kepada Gubenur Jenderal di Nusantara.
ADVERTISEMENT
Tetapi di sisi lain, pemerintah di Den Haag terus saja mengharapkan sumbangan dan pajak yang besar dari Hindia Belanda. Bahkan di Siak, didirikan kantor-kantor bea cukai, menerapkan aturan pajak bagi kapal-kapal asing yang masuk dua kali lipat, dibandingkan pajak dari kapal-kapal milik pedagang Belanda.
Belanda merasakan keuntungan ekonomi besar di Siak, maka lambat laun pernjanjian yang pernah dibuat oleh Jenderal van Swieten, luntur. Misalnya, pada tahun 1862, Residen Riau yang untuk sementara ditugaskan menjalankan urusan pemerintahan di Siak, datang ke kerajaan-kerajaan kecil di wilayah perbatasan Siak dan Aceh. Ia berusaha membujuk raja-raja kecil untuk mengakui Raja Siak sebagai pimpinan mereka, supaya mereka mengakui ‘Kamaharajaan’ Belanda. Bujukan itu dijawab Kesultanan Aceh dengan mengirimkan armada kecil kapal-kapal perang untuk mengawasi. Bayangan perang mulai terlihat.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1683, Kesultanan Deli menyerahkan nasibnya langsung kepada Belanda, tidak mengakui baik Aceh maupun Siak. Belanda mengatur hubungan dagang dengan Deli, memberikan keuntungan besar bagi kolonial dari perkebunan tembakau yang terkenal di wilayah itu. Bahkan pada 1870, didirikan Deli Maatschappij, sebuah maskapai perkebunan modern yang pertama kali didirikan Hindia Belanda di wilayah nusantara.
Politik Perang Dagang
Pembukaan Terusan Suez di Mesir pada 1869, membuat jarak Eropa dan Asia semaki dekat. Terusan ini mengubah sejumlah politik dan perdagangan di wilayah-wilayah jajahan.
Belanda mencoba mempengaruhi Inggris untuk tidak mencampuri urusannya dalam perluasan kekuasaan di Sumatera termasuk di Aceh. Imbalannya, Belanda mempertimbangkan memberikan sebagian wilayah jajahan mereka kepada Inggris di Ghana. Masalah itu pernah dibicarakan Menteri Jajahan Belanda, E de Waal dengan Duta Inggris di Belanda, Harris.
ADVERTISEMENT
Dalam laporannya kepada Raja mengenai perundingannya dengan Inggris, pada Juni 1870, De Waal menyebut bahwa Aceh tampaknya harus menjadi milik Belanda disebabkan kepentingan politik yang mendesak.
Lalu pada 1871, Belanda dan Ingris sepakat melahirkan Traktrat Sumatera. Bagian terpenting isinya adalah: “Inggris berjanji tidak akan menunjukkan sesuatu perasaan apapun terhadap usaha-usaha perluasan wilayah kekuasaan yang dilakukan Belanda di bagian manapun di Sumatera.”
Perjanjian ini menghapuskan pembatasan yang dalam Traktat London 1824. Inilah yang menjadi pintu masuk Belanda ke Aceh, satu-satunya daerah di Nusantara yang belum dijajah kala itu. Kesultanan Aceh menyadari hal itu, Belanda juga belum berani frontal dengan Aceh.
Pada Januari 1872, Mr James Loudon diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Sikapnya yang kaku, dinilai sebagai pemicu perang Belanda dengan Aceh. Pada akhir 1872, Loudon mengangkat dua orang komisaris pemerintah untuk rencana mengadakan perundingan dengan Sultan Aceh, dalam rangka meninjau kembali perjanjian perdagangan, perdamaian dan persahabatan dengan pernah dibuat pada 1857.
ADVERTISEMENT
Rencana kedatangan mereka pada Desember 1872, telah diberitahukan kepada Sultan Aceh. koran-koran di Penang (Malaysia) dan Singapura memberitakan secara luas rencana-rencana Belanda setelah memperoleh kebebasan untuk campur tangan di Sumatera. Aceh telah mengambil inisiatif sendiri.
Di sinilah muncul Panglima Tibang Muhammad, seorang Syahbandar Aceh yang datang menghadap Residen Riau, DW Schiff, pada September 1872. Tibang Mengatakan, bahwa telah dikuasakan Sultan Aceh untuk melakukan perjanjian baru dengan Belanda. Tibang tak mampu menunjukkan surat kuasa, dia ditolak Schiff.
Pada Desember 1872, Tibang Muhammad datang lagi ke Tanjung Pinang, ingin bertemu Schiff. Kali ini dia mengaku sebagai ketua sebuah delegasi yang berjumlah lima orang. Tibang membawa surat Sultan Aceh, Alauddin Mahmudsyah yang saat itu masih berumur 15 tahun, mengharapkan agar Belanda jangan dulu mengutus delegasi, karena sultan ingin menunggu balasan surat terbarunya dari Sultan Turki.
ADVERTISEMENT
Tibang menyakinkan Schiff saat itu dengan alasan bahwa di Aceh sedang terjadi sengketa. Ada dua partai yang berseteru, yaitu kelompok Arab pro-Turki dan anti-Belanda di bawah pimpinan Habib Abdurrahman, sementara satu lagi adalah kelompok sultan -termasuk Tibang- di dalamnya yang mau berdamai dengan Belanda. Tibang mengatakan, sekiranya kunjungan perutusan Belanda ditunda, bahwa kelompok Arab akan mengalami kekalahan.
Setelah sebulan di Riau, Tibang Muhammad dan anggotanya dengan sebuah kapal Belanda berangkat ke Singapura dengan sejumlah kepentingan lainnya. Di sana, mereka mengadakan pertemuan dengan konsul Italia dan Amerika Serikat. Italia menolak perjanjian kerja sama, tapi Amerika Serikat berusaha untuk memulai kerja sama dengan delegasi Aceh, bahkan rencana kontrak telah disusun.
Belanda mengetahuinya, menilai bahwa penting untuk memutuskan menunjukkan kekuatan kepada Aceh. Maka dikirimkan Wakil Ketua Dewan Hindia Belanda, F. N. Nieuwenhuijzen, sebagai komisaris pemerintah ke Aceh, guna memperoleh penjelasan dan meminta jaminan urusan dagang di masa mendatang. Hindia Belanda juga mempersiapkan sebuah ekspedisi, jika jawaban yang didapat dari Kesultanan Aceh tidak memuaskan.
ADVERTISEMENT
Pertemuan tak memuaskan bagi Hindia Belanda. Maka pada Rabu, 26 Maret 1873 bertepatan dengan 26 Muharam 1290 Hijriah, Belanda menyatakan perang dengan Kerajaan Aceh. Maklumat itu dibacakan sendiri oleh F. N. Nieuwenhuijzen, dari geladak kapal perang Citadel van Antwerpen yang berlabuh di antara Pulau Sabang dan daratan Aceh.
Sebulan kemudian Senin, 6 April 1873, Belanda mendaratkan pasukannya di Pante Ceureumen, Ulee Lheue di bawah pimpinan, Mayor Jenderal JHR Kohler. []