Tarian Saman: Awalnya Misi Dakwah, hingga Jadi Warisan Dunia

Konten Media Partner
23 Agustus 2019 11:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tari Saman saat tampil dalam pembukaan Festival Saman di Gayo Lues. Foto: Suparta/acehkini.
zoom-in-whitePerbesar
Tari Saman saat tampil dalam pembukaan Festival Saman di Gayo Lues. Foto: Suparta/acehkini.
ADVERTISEMENT
Bergerak tak henti selama 10 menit lebih, 15 penari menghentak panggung mengikuti syair penuh makna, menepuk tangan, dada, dan paha. Sebagian lalu bangun, sebagian yang lain masih bertahan duduk bersimpuh. Lalu badan digoyangkan, berirama.
ADVERTISEMENT
Itulah lakon para penari Saman kala menghibur seribuan penonton yang hadir dalam pembukaan Festival Saman di Lapangan Seribu Bukit Gayo Lues, Aceh, Senin malam (19/8/2019). Gelaran festival berlangsung selama tiga hari berturu-turut, diikuti oleh 17 tim dari seluruh Aceh.
Tari Saman memang istimewa, karena menjadi satu-satunya tarian di Aceh yang telah mendapatkan predikat warisan dunia tak benda oleh UNESCO sejak 24 November 2011.
Tarian Saman berawal dari sebuah misi Islam yang dibawa seorang ulama ke Gayo Lues awal abad ke-16. Ulama itu bernama Syech Saman.
“Awalnya tarian ini diadopsi dari sebuah permainan Pok Ane, yang kerap digemari pemuda di sana,” kata Kardinata, Penggiat Tari Saman di Gayo Lues, kepada acehkini, Jumat (23/8/2019). Dia juga menjadi salah satu juri Festival Saman 2019.
ADVERTISEMENT
Kisah asal Saman kerap didengar Kardinata dari ayahnya, Haji Usman. Beliau adalah seniman Tari Saman masa lalu, yang kerap keliling Indonesia sejak tahun 70-an untuk memainkan tarian tersebut. “Ayah saya ikut mencari asal muasal Saman kala itu, untuk sosialisasi dan kampanye,” kata Kardinata.
Asal muasal perlu dicari, karena ada sebagian orang yang pernah menyebut Saman sebagai tarian tanpa awal. “Sama nada yang disebut tumbuh sendiri seperti cendawan,” ujarnya.
Dalam sejarahnya, Tari Saman disebut transformasi dari permainan Pok Ane. Sebuah permainan anak-anak yang dimainkan saat duduk di atas dudukan panjang batang kelapa, sambil menepuk tangan dan bernyanyi.
Saat Syech Saman mengajarkan pemahaman Islam di sana, dia masuk lewat permainan itu. Diciptakan syair-syair Islam, dimainkan saat acara-acara agama. Tari itu kemudian menjadi bagian dari dakwah Islam.
ADVERTISEMENT
Syech Saman juga mengatur para penari yang biasa dimainkan 17 orang. Misalnya penari di tengah disebut 'pengangkat', yang menjadi tokoh utama, menentukan gerak sambil melantunkan syair. “Di sampingnya ada 'pengapit', selanjutnya 'penyepi', dan di bagian sisi-sisinya ada 'penupang',” jelas Kardinata.
Saman kemudian terus berkembang, dimainkan pemuda dan anak-anak di bawah menasah atau surau. Sejalan kondisi Aceh dalam peperangan melawan penjajahan Belanda, Tari Saman memperkaya syair dengan menyisipkan semangat juang rakyat Aceh. Tari ini terus berkembang sesuai kebutuhannya.
“Kepedulian melestarikan tarian Saman sempat memudar di tahun 80-an,” kata Kardinata, yang telah beberapa kali ikut pentas di ajang internasional.
“Saat ini, Tari Saman semakin semangat untuk dijaga di Gayo Lues, apalagi setelah adanya pengakuan dari UNESCO,” sambungnya.
ADVERTISEMENT
Sampai sekarang, tari ini lebih sering ditampilkan dalam perayaan-perayaan keagamaan dan kenegaraan. Bahkan, banyak warga di seluruh dunia seperti negara-negara Asia, Australia, dan Eropa mengadopsi keharmonisan dan kecepatan gerakan tarian ini. Namun, keaslian tari ini tidak pernah bisa ditiru.
Lihat video berikut:
***
Di pentas Nasional, Tari Saman mulai dibincangkan sejak tampil dalam pembukaan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada April 1975. Saat itu, Ibu Tien Soeharto meminta sebuah tarian tradisional dari dari Gayo Lues tampil di sana.
Tarian Saman terus dimunculkan setelah Gayo Lues ditetapkan menjadi kabupaten, pisah dari Kabupaten Aceh Tenggara, berdasarkan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2002. Selanjutnya, Pemerintah Kabupaten Gayo Lues melalui Pemerintah Aceh, mengajukan permohonan kepada UNESCO untuk pengakuan dunia terhadap Tari Saman pada akhir 2009.
ADVERTISEMENT
Setelah melalui kajian dan penelitian mendalam dari lembaga Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tersebut, Tari Saman kemudian ditetapkan sebagai warisan budaya dunia tak benda, pada 24 November 2011, dalam sidang keenam Komite Antar-Pemerintah untuk perlindungan warisan budaya tak benda di Bali, diikuti oleh 500 anggota delegasi dari 69 negara.
Sertifikat Tari Saman sebagai warisan budaya dunia dari UNESCO kemudian diserahkan kepada Gubernur Aceh kala itu, Zaini Abdullah, oleh Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Wiendu Nuryanti, pada Kamis, 25 September 2014, di Anjongan Aceh, Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Saat itu, Wiendu menyarankan agar 24 November ditetapkan sebagai Hari Saman.
Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, menerima serifikat Saman dari Wiendu Nuryanti, setelah ditetapkan UNESCO sebagi warisan budaya dunia, 25 September 2004. Foto: Dok. Humas Aceh.
Setelah diakui UNESCO, Hari Tari Saman pertama pada 24 November 2014, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Gayo Lues menggelar pentas Tari Saman massal yang dimainkan oleh lebih dari 5.005 penari di Stadion Seribu Bukit, Gayo Lues.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, pada 13 Agustus 2017, Tarian Saman memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI), dengan jumlah penari sebanyak 12.262 orang, digelar di Gayo Lues, bagian dari peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-72.
Plt Gubernur Aceh mengajak warga terus melestarikan Tari Saman, dan menampilkannya sebagai jati diri. Saman salah satu keunggulan Aceh, nasional, bahkan global. “Ini aset bangsa khususnya Aceh, kebudayaan bisa menjadi cara meraih kejayaan,” katanya saat malam Pembukaan Festival Saman 2019 di Gayo Lues. []
Reporter: Adi Warsidi