Vonis 5 Tahun Penjara Nelayan Pembawa Rohingya ke Daratan Aceh Dinilai Berat

Konten Media Partner
2 Juli 2021 12:18 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengungsi Rohingya yang sempat terombang-ambing di laut saat dievakusi menggukanan kapal nelayan Aceh Utara, Juni 2020.  Foto: Zikri M untuk acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Rohingya yang sempat terombang-ambing di laut saat dievakusi menggukanan kapal nelayan Aceh Utara, Juni 2020. Foto: Zikri M untuk acehkini
ADVERTISEMENT
Vonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta terhadap tiga warga Aceh dan satu warga Rohingya yang bermukim di Sumatera Utara, lantaran terbukti menyelundupkan 99 pengungsi Rohingya dengan membawanya dari tengah laut ke daratan Aceh dinilai hukuman berat bagi komunitas nelayan kecil.
ADVERTISEMENT
Vonis ini juga dikhawatirkan menyebabkan nelayan Aceh enggan menolong pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di tengah laut pada masa mendatang karena takut diproses hukum.
Hal ini terungkap dalam diskusi publik secara virtual bertajuk "Vonis Penjara Nelayan Aceh: Penyelundupan atau Kemanusiaan?”, yang digelar International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS), pada Kamis (1/7).
Persamuhan yang dipandu Muhammad Riza Nurdin, peneliti ICAIOS, itu menghadirkan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Aceh Teungku Muhammad Fadhil Rahmi, Rima Shah Putra dari Geutanyoe Foundation, Hendra Saputra dari Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, dan Muhammad Yakub dari Unit Kajian Humaniter dan Pengungsi Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.
Diskusi publik secara virtual bertajuk 'Vonis Penjara Nelayan Aceh: Penyelundupan atau Kemanusiaan?' yang digelar ICAIOS.
Teungku Muhammad Fadhil Rahmi mengatakan vonis tersebut sangat berat bagi komunitas nelayan kecil. Dia berharap penegak hukum melihat sisi lain untuk membuat kasus ini bermartabat. Dia melihat ada kekosongan hukum sehingga akan berupaya mendorong ada regulasi konkret pada tingkat nasional.
ADVERTISEMENT
"Faisal (salah satu terdakwa yang divonis) itu kan pion terdepannya. Bidaknya, bantengnya, menterinya, rajanya mana? Itu secara pelanggaran hukum," katanya.
Soal hukuman berat juga dikatakan Rima Shah Putra. Putusan tersebut membuat dia teringat kasus nenek yang dihukum 2 tahun penjara karena mencuri kayu.
"Kalau dari sekadar perspektif hukum yang sempit, tentu saja perbuatan melanggar tersebut harus dihukum setimpal. Tapi jika dilihat dari sudut pandang kemanusiaan, ada konteks di situ yang bisa meringankan," ujar Rima Shah Putra.
Menurut Hendra Saputra, nelayan di Aceh perlu diperkuat dan diantisipasi dampak kasus ini berupa kekhawatiran atau keengganan nelayan untuk menyelamatkan pengungsi Rohingya di tengah laut pada masa-masa mendatang.
“Pada saat ada nelayan yang menyelamatkan pengungsi di tengah laut, hati-hati Anda akan di-Faisal-kan," katanya.
ADVERTISEMENT
Perkara penyelundupan manusia tidak terlepas dari isu pengungsi. Muhammad Yakub memandang antara penyelundupan dan kemanusiaan saling berkaitan dan sulit dilepaskan. Menurutnya, penegak hukum menimbang banyak aspek termasuk kemanusiaan. Namun hukum disebut saklek, hitam di atas putih.
Direktur Eksekutif ICAIOS Cut Dewi mengatakan, diskusi itu merespons isu terkini di Aceh atau Indonesia dalam bingkai akademis sebagai proses belajar dan juga mendorong kebijakan publik yang baik. Salah satu luaran dari diskusi ini adalah usulan untuk penguatan regulasi baik pada tingkat nasional atau daerah, seperti adanya undang-undang dan qanun yang khusus mengurus pengungsi.
ICAIOS merupakan pusat studi antaruniversitas, antarbangsa tentang Aceh dan kawasan seputar Samudra Hindia yang merupakan wujud kerjasama antar tiga universitas di Aceh (Universitas Syiah Kuala, UIN Ar Raniry, Universitas Malikussaleh), Pemerintah Aceh, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Indonesia, dan beberapa lembaga akademik/ilmuwan internasional. ICAIOS berkantor di Kampus Darussalam, Banda Aceh sejak awal 2009.
ADVERTISEMENT