news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

WALHI Aceh: Banjir dan Longsor tak Pernah Usai, Jika Kelola Hutan Tetap Begini

Konten Media Partner
16 Mei 2020 15:18 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kawasan banjir bandang di Aceh Tengah. Dok. BPBA
zoom-in-whitePerbesar
Kawasan banjir bandang di Aceh Tengah. Dok. BPBA
ADVERTISEMENT
Sejumlah bencana banjir dan tanah longsor melanda Aceh bersamaan dengan tingginya curah hujan dalam sebulan terakhir. Bencana baru-baru ini adalah banjir di 10 kabupaten/kota di Aceh, serta banjir bandang dan longsor di Aceh Tengah dan Bener Meriah.
ADVERTISEMENT
Menanggapi kejadian bencana tersebut, Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Muhammad Nur, mengatakan pihaknya bersama Organisasi Masyarakat Sipil di Aceh, sudah sering kali mengingatkan Pemerintah Aceh, pemerintah kabupaten/kota dan para pihak terkait lainnya untuk memperhatikan pelestarian dan pemanfaatan hutan dan lahan sesuai daya dukung dan daya tampung.
“Perambahan hutan secara masif masih terus terjadi tanpa henti sampai saat ini, belum lagi berbagai proyek pembangunan sering kali mengubah fungsi hutan tanpa memperhatikan musim hujan dengan curah hujan yang tinggi,” katanya secara tertulis, Sabtu (16/5/2020).
Menurutnya, wilayah tengah Aceh termasuk Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, dari berbagai kajian yang dikeluarkan organisasi dan badan publik, merupakan wilayah rawan bencana longsor dan banjir bandang. “Tetapi dalam praktik di lapangan, sering juga membuka ruas jalan baru yang justru memicu mempercepat bencana,” kata M Nur.
Muhammad Nur, Direktur Eksekutif WALHI Aceh.
WALHI Aceh sendiri selalu mempertanyakan komitmen pemerintah dan para pihak dalam mempertahankan tutupan hutan dari kehancuran setiap tahun. Setidaknya sesuai data, Aceh mengalami deforestasi hutan tiap tahun rata-rata mencapai 16 ribu hektare. Deforestasi disebabkan ilegal logging, membuka kebun, membukan ruas jalan, dan kegiatan pertambangan secara illegal maupun legal, pengrusakan area bantaran sungai sehingga sungai kehilangan fungsinya dengan baik ketika musim hujan. “Sayangnya, kita semua tidak belajar sama sekali dalam berbagai bentuk bencana yang melanda berbagai kabupaten/kota,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Karenanya, WALHI Aceh memprediksi bencana di Aceh tidak akan pernah usai, terus terjadi saban bulan/tahun, jika kesalahan pengelolaan dan pelestarian Hutan dan Lahan tidak pernah diperbaiki. “Begitu juga komitmen pemerintah untuk mempertahankan hutan dan lahan mesti menjadi agenda utama, jika tidak ingin Aceh mengalami kerugian bencana tiap tahun,” tegas M Nur.
Apalagi dengan hadirnya UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) versi baru yang telah disahkan DPR-RI, berpotensi pembukaan serampangan kegiatan sektor sumber daya alam, hingga potensi kerusakan lebih dashyat di masa akan datang.
Pengungsi banjir bandang Paya Tumpi, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah. Dok. BPBA
Sebelumnya dalam diskusi online bertema penanggulangan banjir, yang digelar Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Kamis (14/5), Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), Sunawardi, mengatakan salah satu penyebab banjir di Aceh adalah banyaknya pembangunan yang tidak mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). “Juga adanya perusakan alam berupa perambahan dan illegal logging,” paparnya.
ADVERTISEMENT
"Intinya, untuk penanggulangan banjir, harus ada perencanaan dari hulu ke hilir dan koordinasi semua sektor," kata Sunarwadi.
Sesuai kesimpulan hasil diskusi, Kepala Ombudsman Aceh, Taqwaddin, menyebutkan akan membuat suatu rekomendasi untuk disampaikan kepada pihak eksekutif maupun legislatif Pemerintah Aceh. Beberapa di antaranya adalah; meminta dioptimalkannya implementasi produk legislasi (Qanun) dan regulasi yang sudah cukup memadai, selanjutnya perlu adanya komitmen bersama untuk upaya prevensi, mitigasi, kesiapsiagaan, dan pengurangan risiko bencana. “Juga memperkuat penegakan hukum lingkungan di Aceh,” katanya.
Taqwaddin ikut mengajak semua komponen masyarakat, baik NGO, kalangan bisnis, masyarakat lokal untuk bersama melakukan upaya prevensi, mitigasi, dan pengurangan risiko bencana (PRB). Hal ini penting, karena apabila terjadi bencana maka semua pihak akan menderita kerugian material dan immaterial.
ADVERTISEMENT
“Kami meminta aparat penegak hukum agar lebih peduli melakukan upaya penegakan hukum lingkungan terkait dengan perusakan hutan," tutup Taqwaddin. []