Rekonstruksi Sejarah “Banda The Dark Forgotten Trail”

Achmad Humaidy
Lulusan Ilmu Komunikasi yang pernah menjadi buruh bank BUMN dan hijrah menjadi freelance content writer dan KOL Specialist untuk survive di industri digital. #BloggerEksis
Konten dari Pengguna
6 Agustus 2017 18:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Achmad Humaidy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mungkin kita sering menonton film atau video dokumenter di layar kaca. Dengan berbagai cara, gaya, dan bentuk penyajian yang selama ini paling banyak dan umum digunakan dengan format reportase atau investigasi televisi. Maka, format tersebut tak lagi mempertanyakan lebih jauh tentang isi dari pesan yang ingin disampaikan dalam film dokumenternya. Penonton pun mulai bosan dengan tayangan tanpa sisi kedalaman yang mendidik.
Opini masyarakat yang menganggap bahwa film dokumenter membosankan untuk ditonton berhasil ditepis oleh film Banda "The Dark Forgotten Trail". Dengan durasi sekitar 94 menit, penonton akan disuguhi visual yang berbeda dari film-film dokumenter lain karena film ini berupaya mengungkap tabir masa lalu tentang sejarah jalur rempah. Keberhasilan film ini menembus jaringan layar lebar memang layak diapresiasi.
ADVERTISEMENT
Film Banda dipandu oleh suara (voice over) Reza Rahadian yang tegas sebagai penutur cerita (narator). Film ini memberi informasi dari berbagai narasumber, seperti wawancara dari para pakar sejarah, saksi mata atas suatu kejadian masa lalu, dan rekaman pendapat anggota masyarakat. Demikian pula dengan suasana tempat kejadian yang terlihat nyata coba dilihat dari sisi masa lalu dan masa kini. Potongan-potongan gambar kejadian langsung juga menambah rangkaian visual yang dinamis. Bahan-bahan yang berasal dari arsip yang ditemukan pun saling terkumpul membuat satu benang merah yang utuh. Semua unsur khas tersebut memiliki sejarah dan tempat tertentu dalam perkembangan dan perluasan dokumenter sebagai suatu bentuk sinematik.
Diceritakan Bangsa Eropa datang ke Indonesia untuk menguasai negara ini. Ada kekayaan tersimpan dengan nilai tinggi berupa rempah-rempah yang dikenal dengan cengkeh dan pala. Bibit cengkeh tumbuh subur di Maluku bagian Utara yang terletak pada pulau kembar, Ternate dan Tidore. Sementara pala tumbuh subur di Banda Naira, sebuah pulau terpisah dan terpencil dari tenggara Kota Ambon. Meski Banda Naira terletak di Kepulauan Maluku Tengah, potensi sumber daya alam begitu diburu dengan autentik kota yang tak membuat jemu. Didukung pula pesona keindahan panorama yang luar biasa dan membuat kita ingin sekali berkunjung ke sana.
ADVERTISEMENT
Menurut sejarah sejak awal abad ke-12, bangsa Eropa mengcium aroma keberadaan cengkeh dan pala dari para pedagang Melayu, Cina dan Arab yang datang melakukan perdagangan di Banda. Wangi cengkeh dan pala saat itu sebagai komoditas rempah memiliki nilai lebih tinggi daripada emas. Rempah-rempah itu konon dapat menjadi pengawet alami bagi makanan sebelum munculnya teknologi kulkas. Rempah-rempah juga menjadi simbol orang-orang kaya. Oleh karena itu, beredar persepsi "Siapa yang berhasil mengolah pala, mereka akan menguasai dunia".
Begitu berharga nilai dari pala, para pedagang Tiongkok seringkali menutupi rempah-rempah ini dengan kain sutra. Kita pasti juga sering mendengar istilah "jalur sutra" dari catatan sejarah yang pernah ada. Keberadaan pala yang ditutup dengan kain sutra itu asal muasal muncul istilah "jalur sutra". Istilah ini merupakan sebuah upaya untuk menutupi jalur rempah.
ADVERTISEMENT
Kekayaan Banda dengan rempah-rempah terdengar pula oleh bangsa Eropa lain. Strategi dagang mulai digulirkan dan seluruh armada perang mencari letak pulau kecil di timur Indonesia yang begitu kaya. Singkat cerita, bangsa Eropa ingin menguasai Maluku sebagai tanah surga rempah. Maka, Inggris, Portugis, dan Belanda saling bersaing untuk mendapatkan rempah-rempah dari Maluku. Walaupun, pada akhirnya, Belanda lebih berkuasa di Banda.
Sejarah Banda penuh dengan kesedihan masa lampau. Masa depan Banda dan pala berubah ketika Jan Pieteszoon Coen yang berbendera Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) tiba menjajah dan melakukan aksi pembantaian pertama pada tahun 1621. Setelah kedamaian pulau Banda punah, Coen mendatangkan orang dari berbagai suku untuk bekerja rodi. Umumnya mereka dari bangsa Bugis, Melayu, Jawa, dan Cina. Mereka mulai menjadi budak untuk bekerja dikebun pala.
ADVERTISEMENT
Melalui besutan Jay Subyakto sebagai sutradara berbakat, Film Banda berhasil menekankan rekonstruksi sejarah seperti di atas. Ini penting ditekankan karena dalam berbagai hal bentuk dokumenter sering diabaikan dan kurang dianggap di kalangan perfilman. Seolah dokumenter cenderung bersifat ‘pemberitaan’ (jurnalistik) saja dalam dunia pertelevisian. Padahal, Film Banda mampu membuktikan bahwa bagaimanapun pesatnya perkembangan film nasional, ada kecenderungan kuat di kalangan para pembuat film dokumenter untuk mengarahkan kembali unsur edukasi ke arah pendekatan yang lebih sinematik untuk rana layar lebar.
Meski demikian, film Banda juga menemui perdebatan. Cerita yang tersisa tentang penduduk asli Banda yang masih hidup menjadi tanda tanya. ‘Kebenaran’ dan ‘keaslian’ atas riset yang dilakukan pada pra produksi pun mulai dipertanyakan. Beberapa pihak mengecam ada pemutarbalikkan sejarah. Padahal, Film Banda tetap mengacu pada cerita tentang sejarah Indonesia di masa lalu yang diambil dalam sudut pandang versi nusantara.
ADVERTISEMENT
Dibalik polemik yang terjadi, Film Banda produksi LifeLike Pictures layak ditonton karena pendekatan segi estetik yang mengungkap catatan peradaban dunia. Ada juga kisah-kisah pergerakkan tokoh bangsa yang pernah diasingkan ke Banda pada masa penjajahan seperti Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, Dr. Tjipto Mangunkusumo, dan Iwa Kusuma Sumantri. Kehadiran film ini pun diharapkan mampu membangkitkan kembali semangat kebangsaan dan persatuan bangsa Indonesia.
Dari awal, saat penonton melihat desain poster juga telah dibuat misterius yang membangkitkan rasa ingin tahu begitu tinggi terhadap cerita film ini. Estetika juga didukung oleh tata sinematografi yang kaya dari tangan Ipung Rachmat Syaiful. Dengan dukungan penata kamera lain seperti Davy Linggar, Oscar Motuloh, dan Dodon Ramadhan, departemen kamera mampu menghidupkan imajinasi visual penonton seolah berada di kebun pala, pesisir pantai, hingga Benteng-Benteng Belanda yang masih berdiri kokoh di Banda. Tidak hanya faktor tempat yang divisualisasikan dengan baik, rangkaian musik dan suara yang ditata oleh Lie Indra Perkasa, Yusuf Patawari, dan Satrio Budiono mampu menghentak setiap pesan yang tervisualkan dalam narasi tinggi bersimfoni sejak awal hingga akhir cerita.
ADVERTISEMENT
Anti-klimaks film Banda berlanjut saat puisi karya Chairil Anwar dibacakan dengan penuh penghayatan terhadap sejarah yang pernah tercipta di Pulau Banda. Akhir cerita pun dibalut begitu nasionalis yang membangkitkan rasa cinta tanah air. Untuk itu, sebagai generasi penerus, kita akan menjadi bagian yang melanjutkan sejarah kejayaan peradaban dari suatu bangsa. Kalau bukan kita, siapa lagi?.