Mendesak Penyederhanaan Surat Suara Pemilu 2024

Ade Alifya
ASN Sekretariat KPU Kota Padang Panjang, Sumatera Barat
Konten dari Pengguna
27 September 2021 10:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ade Alifya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi KPU. Foto: Embong Salampessy/ANTARA
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KPU. Foto: Embong Salampessy/ANTARA
ADVERTISEMENT
Suara Pemilu 2024
Apa yang paling Anda ingat dari penyelenggaraan Pemilu 2019? Selain polarisasi politik yang membelah rakyat Indonesia secara ekstrem, Anda tentu paling ingat dengan kejadian meninggalnya ratusan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) pasca melaksanakan tugas. Data resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan bahwa sebanyak 894 orang petugas KPPS meninggal dunia dan 11.239 orang sakit setelah melaksanakan tugas sebagai garda terdepan penyelenggaraan Pemilu.
ADVERTISEMENT
Tragedi ini menjadi sorotan. Banyak lembaga yang melakukan riset untuk mengevaluasinya. Tim Kajian Lintas Disiplin Universitas Gadjah Mada (UGM) salah satunya. Hasil risetnya menyimpulkan bahwa meskipun meninggalnya anggota KPPS ini disebabkan faktor natural karena menderita penyakit lain yang sudah menahun, namun anggota KPPS memang kelelahan dalam melaksanakan pekerjaan. Beban kerja mereka sangat berat disebabkan keserentakan pemilu legislatif dengan pemilu presiden yang baru pertama kali dipraktikkan di Indonesia. Selain itu, kewajiban untuk menyelesaikan penghitungan suara pada hari yang sama dengan pemungutan suara menjadikan pekerjaan berproses tanpa jeda.
Untuk melakukan proses pemungutan dan penghitungan suara, KPPS membutuhkan waktu sekitar 16-24 jam. Pemilu sebelumnya hanya memakan waktu 8-11 jam. Administrasi Pemilu yang rumit menjadi alasan panjangnya jam kerja. Salah satunya adalah karena surat suara yang tidak praktis dan menyebabkan petugas kesulitan menjalankan tugas mereka.
ADVERTISEMENT
Peliknya mengurus lima buah surat suara pada Pemilu 2019 tidak hanya menjadi problem petugas tetapi juga menjadi kesukaran pemilih. Dalam hasil survei yang diadakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terungkap bahwa 74% pemilih mengakui bahwa mencoblos surat suara sebanyak itu dalam waktu sekaligus sangat menyulitkan. Hasil survei ini menjawab fakta tingginya angka suara tidak sah pada Pemilu 2019 lalu.
Pada Pemilu DPR misalnya, terdapat 11,12% suara tidak sah atau setara dengan 17,5 juta surat suara. Padahal secara global, surat suara tidak sah ini hanya ditoleransi pada kisaran 2-4% saja. Bahkan pada Pilpres yang surat suaranya relatif paling sederhana, terdapat 3,7 juta suara tidak sah.
Coba simak lagi akibat apa yang ditimbulkan oleh hal yang terlihat sederhana, seperti desain surat suara. Dampak yang dirasakan setelah surat suara tersebut digunakan tidak hanya persoalan teknis dan manajemen, tapi sudah menyangkut nyawa manusia. Mau tidak mau, kita tidak punya alasan lagi, untuk tidak menyederhanakan surat suara. KPU sebagai penyelenggara teknis Pemilu harus melakukannya untuk Pemilu serentak berikutnya yaitu Pemilu 2024. Dengan penyederhanaan ini, kompleksitas Pemilu serentak di Indonesia bisa sedikit berkurang.
ADVERTISEMENT
Alasan yang kita simak di atas saja sudah mengerikan, apalagi sekarang ada situasi baru yang bisa menimbulkan kengerian yang lebih parah lagi lagi, yaitu pandemi COVID-19 yang belum bisa diprediksi kapan akan berakhir. Ini menjadi pendorong kenapa Pemilu 2024 harus diselenggarakan dengan surat suara yang lebih sederhana. Pada Pemilu 2019, rata-rata pemilih menghabiskan waktu di bilik suara selama 6 menit. Ditambah dengan proses validasi daftar pemilih, pengecekan surat suara oleh pemilih sebelum masuk ke bilik suara, serta waktu menunggu giliran, pemilih bisa menghabiskan waktu 15-20 menit di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Hal ini tentu akan menimbulkan antrean pemilih. Dalam konteks pandemi COVID-19, tentu saja antrean ini akan menyebabkan kerumunan dan berpotensi menjadi klaster baru penularan virus.
ADVERTISEMENT
Usul penyederhanaan surat suara ini sudah mulai diapungkan KPU sejak bulan lalu. KPU menawarkan enam desain surat suara. Masing-masing desain dengan konsekuensi bervariasi, mulai dengan cara tetap mencoblos, mencontreng dengan pena (seperti pada Pemilu 2009) atau menuliskan pilihan. Tentu saja sebagai sebuah terobosan kebijakan, usulan ini harus dilandasi regulasi yang jelas. UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu harus direvisi, terkhusus pasal-pasal terkait seperti Pasal 342 Ayat (1), (2), dan (3) yang mengatur unsur-unsur yang tercantum dalam sebuah surat suara, Pasal 353 Ayat (1) tentang cara pemberian suara dengan mencoblos, Pasal 348 Ayat (4) tentang pindah memilih, dan Pasal 386 Ayat (1), (2), dan (3) tentang keabsahan surat suara.
Tantangan awalnya adalah meyakinkan parlemen bahwa perubahan ini adalah langkah progresif dalam meningkatkan mutu pelaksanaan Pemilu di Indonesia, sehingga pasal-pasal tersebut bisa direvisi. Sebagai representasi rakyat dan utusan partai politik, politisi Senayan harus diyakinkan bahwa perubahan desain surat suara maupun mekanisme pemberian suara perubahan dinamika yang sudah ada dalam sejarah Pemilu Indonesia sejak tahun 1955.
ADVERTISEMENT
Tantangan berikutnya adalah mensosialisasikan perubahan ini pada seluruh rakyat Indonesia. Pemberian tanda pada surat suara pada pemilu dengan cara mencoblos sudah menjadi pengetahuan kolektif saat ini. Mengubah hal ini tentulah tidak mudah. Sosialisasi harus dilakukan secara masif, intens dan menyentuh semua lapisan masyarakat. Termasuk kalangan yang belum melek huruf yang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 berjumlah 3,62% dari total penduduk Indonesia.
Kumpulan organisasi-organisasi kepemiluan internasional, ACE Electoral Knowledge Network memberikan konsep bahwa semakin sederhana surat suara, semakin efektif pemilu tersebut. Penegasan kesederhanannya terletak pada dua aspek penting yang harus dipertimbangkan, yaitu kemampuan pemilih dalam memahami pilihan-pilihan dalam surat suara dan akurasi penghitungan suara setelah proses voting dilaksanakan.
ADVERTISEMENT
Desain surat suara yang buruk selain membingungkan pemilih juga akan berkonsekuensi pada ruginya partai politik dan calonnya sebagai peserta Pemilu. Selain itu, ketidakjelasan desain dalam surat suara juga akan menimbulkan perdebatan dalam mengklasifikasikan perolehan suara untuk partai mana dan siapa calonnya, juga akan menimbulkan perdebatan dan berpeluang meningkatnya kasus sengketa hasil Pemilu.
Ingat, kita tidak mau jatuh korban baru lagi karena Pemilu, ditambah lagi situasi pandemi ini juga belum tahu kapan ujungnya. Karenanya, ide penyederhanaan desain surat suara ini harus segera ditanggapi oleh para legislator. Jika sudah diatur dalam UU Pemilu, KPU harus segera membuat aturan teknis dan segera melakukan sosialisasi secara intens dan masif. Apalagi jika desain yang baru mengharuskan pemilih menandai pilihannya dengan cara selain mencoblos. Karena cara mencoblos telah menjadi memori kolektif yang lekat dalam ingatan rakyat Indonesia. Karenanya, sosialisasi peralihan ini harus dilakukan segera karena masih ada waktu sebelum Pemilu 2024 diselenggarakan.
ADVERTISEMENT
Proses perumusan kebijakan penyederhanaan surat suara ini tentu harus melibatkan semua unsur. DPR, KPU dan Bawaslu, partai politik sebagai peserta Pemilu, akademisi, dan perwakilan masyarakat sipil harus mencermati hal ini dari semua sisi. Spirit-nya, sekali lagi. adalah kemudahan dalam proses teknis prosedural Pemilu. Tentu saja tujuan penyederhanaan untuk kemudahan baik penyelenggara Pemilu maupun pemilih harus dilakukan tanpa menciderai pelaksanaan asas Pemilu itu sendiri, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Ade Alifya, M.Si.
ASN Sekretariat KPU Kota Padang Panjang, Sumbar.