Reformasi Pola Rekrutmen Caleg: Filter Awal Pencarian Wakil Rakyat Berkualitas

Ade Alifya
ASN Sekretariat KPU Kota Padang Panjang, Sumatera Barat
Konten dari Pengguna
9 September 2021 16:47 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ade Alifya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apakah anda masih ingat, video anggota DPRD Kabupaten Solok dalam sidang paripurna mereka yang viral sehari setelah peringatan HUT RI ke-76? Tak hanya saling lempar pendapat, mereka juga melempar asbak. Tiga hari sesudahnya giliran anggota DPR Aceh baku pukul di sela-sela skors sidang paripurna. Seminggu sebelumnya, tanggal 12 Agustus, ricuh saling dorong juga mewarnai sidang paripurna DPRD Maluku Tengah.
Tangkapan Layar Video Ricuh Sidang Paripurna DPRD Kab. Solok yang Viral. Sumber Foto: Screenshot Gambar
Di pekan yang sama, anggota DPRD Kota Tangerang yang menjadi sorotan. Pakaian dinas mereka dianggarkan dengan fantastis karena bermerek rumah mode asal Prancis, Louis Vuitton. Perkembangan terakhir, pengadaannya dibatalkan karena menjadi sorotan publik. Tiga hari sebelumnya, lima orang anggota DPRD Kabupaten Labuhan Utara digerebek aparat saat sedang pesta narkoba.
ADVERTISEMENT
Kejadian di atas hanyalah rangkuman kelakuan miris wakil rakyat di bulan Agustus saja. Jika terus dituliskan, tingkah cendala mereka bulan-bulan sebelumnya, tahun lalu, periode lalu, mungkin sudah bisa menjadi buku.
Pola tingkah yang tak terpuji ini ada di hampir setiap tingkatan lembaga legislatif, dari pusat hingga daerah. Berita legislator bolos atau tidur saat sidang, adu jotos saat berbeda pendapat, perselingkuhan dan perzinahan, bahkan bermain anggaran dan korupsi sudah menjadi konsumsi rutin kita. Bukannya tidak ada wakil rakyat yang kerja benar dan benar-benar bekerja, tapi pemberitaan tentang mereka tertutup oleh kelakuan amoral rekan-rekannya.
Jika kita selisik lebih dalam, galat ini bermula pada proses rekrutmen calon anggota legislatif (caleg) oleh partai politik (parpol). Rekrutmen yang dilakukan parpol terkesan sekadarnya. Kapasitas dan kapabilitas tidak menjadi pertimbangan seseorang bisa dicalonkan pada pemilu legislatif. Buktinya, banyak anggota dewan tak paham apa yang akan mereka kerjakan ketika sudah dilantik. Masa lima tahun dihabiskan untuk bolos, tidur, atau pelesiran berdalih studi banding. Tak heran jika akhirnya aktivitas mereka jauh dari kata produktif dalam menghasilkan regulasi berkualitas.
ADVERTISEMENT
Rekam jejak rupanya juga tidak menjadi prasyarat menjadi caleg. Jika anda adalah bekas narapidana kasus korupsi, atau kasus pidana lain dan dijatuhi hukuman berat, anda juga bisa dipilih pada pemilu, cukup dengan menyampaikan di media bahwa anda adalah mantan napi. Pada Pemilu 2019 lalu misalnya, terdapat 81 nama caleg yang sudah divonis sebagai koruptor dicalonkan oleh parpol. Dengan dalih bahwa ini menyangkut hak politik dan HAM, parpol juga berlindung dengan alasan aturannya memang begitu. Padahal kita tahu bahwa yang membuat undang-undang juga kalangan mereka sendiri.
Upaya mengoreksi ini bukannya tidak pernah dilakukan. KPU sebagai penyelenggara teknis pemilu membuat aturan dalam PKPU No. 20 Tahun 2018 bahwa mantan terpidana kasus korupsi, bandar narkoba dan pelaku kejahatan seksual terhadap anak dilarang menjadi caleg. Namun aturan ini harus diubah karena kalah dalam gugatan uji materi di Mahkamah Agung. Dinyatakan hal tersebut bertentangan dengan UU Pemilu yang tidak melarang mantan koruptor untuk menjadi caleg. Jelas upaya ini mengalami kebuntuan.
ADVERTISEMENT
Masukan untuk menyaring caleg lebih dini sudah mental saat UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu masih digodok. Sebagian kalangan menyarankan agar syarat caleg adalah orang yang telah dikader dengan menjadi anggota partai politik minimal satu tahun sebelum pemilu. Niat mulia ini hanya dibahas sekilas, kemudian tidak diakomodir sama sekali dalam UU Pemilu. Jika tidak diatur, akibatnya seperti sekarang, siapa saja bisa menjadi caleg, bahkan mereka yang baru menjadi anggota parpol pada hari pencalonan, yang penting memiliki kartu anggota parpol.
Kesuraman ini berpeluang besar berlanjut pada periode berikutnya. Pasalnya, politisi di parlemen kita telah memutuskan tidak akan merevisi UU Pemilu. Dengan kata lain, aturan mainnya sendiri tidak akan membantu kita menemukan wakil rakyat berkualitas. Lalu, apa yang bisa dilakukan ketika regulasi tidak mendorong ke arah perbaikan? Jalan yang mungkin sulit tetapi punya kans besar sebagai saringan awal caleg berkualitas adalah reformasi pola rekrutmen caleg di internal parpol.
Ilustrasi partai politik. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Parpol bisa mengadopsi pola-pola rekrutmen profesional seperti pada lembaga atau perusahaan bonafide. Caleg yang direkrut kriterianya adalah mereka yang paham dengan pekerjaan yang akan dilakukan. Mulai dari perumusan kebijakan, penyusunan anggaran, pengawasan kinerja eksekutif, dan hal-hal teknis lainnya. Bisa jadi pola rekrutmen ini tidak akan seideal seleksi lowongan kerja. Namun spirit yang dikedepankan adalah dorongan agar caleg-caleg berpengetahuan minim segera menambah wawasan dan menyiapkan dirinya untuk tugas penting yang akan diemban begitu terpilih.
ADVERTISEMENT
Langkah berikutnya, sebagai lembaga publik, parpol bisa melibatkan publik dalam seleksi. Biarkan masyarakat luas menilai sendiri nama-nama yang akan mereka lihat di surat suara pemilu nanti justru sebelum pemilu itu dilaksanakan. Hal ini tentu saja hanya bisa dilakukan jika parpol segera mempublikasikan daftar bakal calegnya. Ini akan mengantisipasi hadirnya politisi instan yang muncul di detik-detik terakhir menjelang pendaftaran ke KPU. Biarkan publik menilai dan menyampaikan tanggapan atas nama-nama yang diumumkan.
Dengan sendirinya, figur-figur dengan moral teruji, rekam jejak yang belum tercela, dan mereka yang berpengalaman melakukan pemberdayaan masyarakat di akar rumput akan melewati filter ini. Publikasi daftar bakal caleg lebih awal ini juga akan meminimalisasi praktik lelang pada proses pencalonan, di mana biasanya parpol cenderung memberikan nomor urut pada siapa saja yang membayar mahar paling tinggi.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan besarnya, maukah parpol melakukan reformasi internal ini karena sudah “nyaman” dengan cara-cara lama? Di antara suara-suara pesimis yang sanksi bahwa hal ini too good to be true, masih ada secercah harapan yaitu itikad baik parpol. Jika itikad ini tidak muncul dari dirinya sendiri, maka kita perlu mendorong parpol untuk segera melakukan pembenahan. Sebelum pandangan pesimis publik berubah menjadi apatis yang berakibat pada anjloknya partisipasi memilih pada pemilu dan berujung pada semakin merosotnya kepercayaan publik pada lembaga legislatif.
Jika reformasi ini diimplementasikan oleh parpol, meskipun disesuaikan dengan AD-ART masing-masing, figur-figur terbaik akan bersaing pada Pemilu 2024. Masih ada waktu untuk itu. Dua puluh delapan bulan lagi adalah waktu yang cukup jika dimanfaatkan dengan optimal. Jika parpol masih mengandalkan kepopuleran dan modal kapital seseorang saja, atau masih menggantungkan harapan pada politik dinasti dan politik identitas untuk meraup suara, maka jangan heran kalau hari ini (dan ke depan?) adu jotosnya anggota dewan yang terhormat dalam sidang adalah sebuah rutinitas belaka.
ADVERTISEMENT
Andai harapan terakhir ini belum makbul karena parpol enggan berubah, maka kunci pamungkasnya ada pada kita, para pemilih. Gunakan hak pilih anda dengan cerdas dengan mencermati caleg yang akan anda berikan suara. Hal lain selain kualitas dan kapabilitas individu caleg harus dikesampingkan dan ditolak dengan tegas. Jika tidak, maka kita masih akan menanggung dosa kolektif karena memberikan kekuasaan pada politisi busuk.*