Konten dari Pengguna

Pajak Konsumsi dan Keberlanjutan Ekonomi: Haruskah PPN 12% Diterima?

Ade Nurhidayah
Bachelor of Economics Education - State University of Jakarta, Certified of Associate Wealth Planner
2 Januari 2025 13:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ade Nurhidayah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source: Freepik.com/Finance
zoom-in-whitePerbesar
Source: Freepik.com/Finance
ADVERTISEMENT
Tepat 1 Januari 2025, Indonesia menerapkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12%, sebuah kenaikan signifikan dibandingkan tarif PPN sebelumnya yang berkisar antara 10% dan 11%. Kebijakan ini menimbulkan perdebatan: apakah kenaikan tarif PPN ini dapat diterima sebagai solusi jangka panjang untuk mendukung keberlanjutan ekonomi negara? Sejauh mana pajak konsumsi seperti PPN ini dapat berperan dalam perekonomian Indonesia dan apakah dampaknya dapat diterima oleh masyarakat, terutama golongan menengah ke bawah.
ADVERTISEMENT
PPN adalah salah satu sumber utama pendapatan negara yang digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan dan pengeluaran negara. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada tahun 2024, penerimaan negara dari sektor pajak mencapai sekitar 80% dari total pendapatan negara, dengan PPN menjadi kontributor terbesar. Kenaikan tarif PPN pada 2025 diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara, yang sangat penting mengingat kebutuhan pendanaan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan sektor lainnya.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa penerimaan pajak di Indonesia terus menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2023, total penerimaan pajak tercatat sekitar Rp 2.200 triliun, dan dengan adanya kenaikan PPN menjadi 12%, pemerintah berharap ada tambahan penerimaan sekitar Rp 150 triliun per tahun. Penerimaan ini penting untuk mendukung pembangunan yang lebih merata dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun, kenaikan tarif PPN tentu akan berdampak langsung pada daya beli masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah. PPN yang lebih tinggi akan meningkatkan harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat, yang berisiko mengurangi konsumsi domestik. Dalam laporan World Bank mengenai dampak kebijakan pajak terhadap ekonomi, disebutkan bahwa pajak konsumsi yang tinggi dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi jika daya beli masyarakat menurun secara signifikan.
Sebagai contoh, sebuah barang dengan harga Rp 100.000 akan dikenakan PPN sebesar Rp 12.000 dengan tarif 12%, yang lebih tinggi dibandingkan tarif 10% sebelumnya, yang hanya dikenakan PPN sebesar Rp 10.000. Walaupun dampaknya terlihat kecil untuk produk dengan harga rendah, untuk produk-produk konsumsi yang lebih mahal atau bagi keluarga berpendapatan rendah, kenaikan PPN dapat terasa signifikan. Ini dapat mempengaruhi pola konsumsi, dengan masyarakat cenderung lebih memilih barang-barang yang lebih murah atau mengurangi pembelian barang konsumsi.
Source: Freepik.com/FashionGirl
Salah satu tantangan terbesar dari kebijakan PPN adalah potensi ketimpangan sosial yang lebih besar. PPN merupakan jenis pajak regresif, yang berarti lebih banyak membebani kelompok masyarakat dengan pendapatan lebih rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 40% penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan atau memiliki pendapatan rendah, yang akan sangat terdampak oleh kenaikan harga barang dan jasa akibat PPN yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Beban yang ditanggung oleh kelompok ini dapat memperburuk ketimpangan sosial dan menurunkan kualitas hidup mereka. Dalam laporan dari Asian Development Bank (ADB), kenaikan tarif pajak konsumsi dapat menyebabkan terjadinya peningkatan beban ekonomi yang lebih besar bagi masyarakat dengan pendapatan rendah, terutama jika tidak diiringi dengan kebijakan yang mengurangi biaya hidup mereka.
Sebagai alternatif, beberapa ekonom menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada pajak penghasilan atau pajak kekayaan yang lebih progresif, yang membebani individu kaya dengan tarif pajak yang lebih tinggi. Pajak konsumsi seperti PPN mungkin tidak memberikan beban yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat, mengingat tingkat konsumsi yang sangat berbeda antara kelompok berpendapatan tinggi dan rendah.
Berdasarkan data Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), negara-negara yang menerapkan sistem pajak progresif (seperti pajak penghasilan yang lebih tinggi bagi orang kaya) dapat mengurangi ketimpangan sosial dengan lebih efektif. Misalnya, negara-negara Skandinavia yang memiliki pajak penghasilan progresif dan pajak konsumsi yang relatif rendah telah berhasil menciptakan kesejahteraan sosial yang lebih merata. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia bisa mempertimbangkan kebijakan pajak lain yang lebih adil dan tidak terlalu membebani golongan miskin.
Source: Freepik.com/CalculatingPrice
Agar kebijakan PPN 12% ini dapat diterima dengan baik oleh masyarakat, pemerintah harus meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya pajak dalam pembangunan negara. Data dari Lembaga Demografi UI menunjukkan bahwa hanya sekitar 30% penduduk Indonesia yang memiliki pemahaman yang baik mengenai pajak dan manfaatnya. Edukasi yang lebih intensif mengenai bagaimana pajak digunakan untuk membiayai program-program sosial, kesehatan, dan pendidikan dapat meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap kebijakan ini.
ADVERTISEMENT
Selain itu, penting bagi pemerintah untuk melakukan reformasi perpajakan yang lebih efisien dan berbasis teknologi, sehingga penerimaan pajak dapat optimal tanpa menambah beban administrasi atau mengorbankan transparansi.
Kebijakan PPN 12% yang akan diterapkan pada tahun 2025 memang dapat menjadi sumber pendapatan yang penting bagi negara. Namun, dampaknya terhadap daya beli masyarakat, terutama golongan menengah ke bawah, perlu menjadi perhatian serius. PPN sebagai pajak konsumsi dapat memperburuk ketimpangan sosial jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang lebih adil, seperti pajak penghasilan yang progresif atau subsidi untuk kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Oleh karena itu, sebelum kebijakan ini diterima sepenuhnya, penting untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan fiskal negara dan keberlanjutan ekonomi serta kesejahteraan sosial masyarakat.
ADVERTISEMENT