Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Perpustakaan Sebuah Formalitas: Masih Perlukah Standar Nasional Perpustakaan?
17 September 2021 20:34 WIB
Tulisan dari Adey Sucuk Zakaria Bahar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, melalui aplikasi zoom meeting saya mengikuti acara yang diselenggarakan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) bertajuk “Gemilang Perpustakaan Nasional Tahun 2021”, acara tersebut kembali saya tonton melalui youtube Perpustakaan Nasional RI.
ADVERTISEMENT
Lazimnya sebuah acara resmi yang seringkali saya jumpai—apalagi digarap pemerintah. Semuanya mengalir dimulai dari pidato pembukaan sang pimpinan, sampai terus kepada tokoh-tokoh penting yang hadir dan memberikan satu-dua patah kata sambutan secara bergiliran.
Acara yang sejatinya digelar dalam rangka memeriahkan Bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjung Perpustakaan tepat setiap tanggal 14 September ini, garis besarnya adalah pemberian apresiasi kepada mereka yang dianggap mempunyai andil besar dalam bidang kepustakawanan dan perpustakaan di Indonesia.
Tak hanya untuk sosok individu, apresiasi juga diperuntukkan kepada buku-buku yang berpengaruh dan bermanfaat bagi masyarakat dan tentu kepada institusi perpustakaan.
Secara maraton penghargaan pun diberikan untuk kategori Buku (Pustaka) Terbaik Tahun 2021 dengan subjek Agribisnis, Covid-19, Inventasi, Media Sosial, Pantun Indonesia, dan Pembelajaran Jarak Jauh; kategori Perpustakaan SLTA Tingkat Nasional; kategori Perpustakaan Desa / Kelurahan Terbaik Tingkat Nasional; Lomba Bertutur Bagi Siswa-siswi SD/ MI Tingkat Nasional; Kontributor Tertinggi Portal Indonesia One Search (IOS)—dimana almamater saya tercinta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berada di posisi ke-2; serta Capaian Tertinggi Indikator Kinerja Kunci Urusan Perpustakaan.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya pemberian penghargaan yang paling dinanti ialah Nugra Jasa Dharma Pustaloka yaitu penghargaan tertinggi di bidang perpustakaan dan pengembangan literasi berdasarkan Keputusan Kepala Perpustakaan Nasional RI Nomor 157 Tahun 2018. Penghargaan ini diberikan untuk beberapa kategori: Pelestari Naskah Kuno, Media Massa, Masyarakat, Tokoh Masyarakat, Pejabat Publik, dan Lifetime Achievment.
Penerima penghargaan Lifetime Achievment ialah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X, yang di bawah kepempimpinannya, Jogja bisa menjadi contoh tak hanya bagaimana pengelolaan perpustakaan di dalam (secara umum: pengadaan, pelayanan, pelestarian) tapi juga pengelolaan perpustakaan keluar (jejaring perpustakaan dan inklusi sosial). Singkat kata, DIY telah memberikan standar baru bagi pengembangan kepustakawanan dan perpustakaan yang wajib ditiru oleh daerah lain.
ADVERTISEMENT
Dari sekian banyak penerima penghargaan. Yang paling menarik adalah pemberian penghargaan pada kategori Pejabat Publik yang sebagian besar merupakan Kepala Daerah. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa penghargaan ini diberikan untuk mereka yang dianggap berkontribusi besar dalam pengembangan perpustakan. Namun sungguh ironis, karena terdapat Kepala Daerah penerima penghargaan tersebut yang tidak pernah menjadikan perpustakaan di daerahnya menjadi institusi penting dan crucial bagi pengembangan masyarakatnya.
Parameternya, perpustakaan di daerah tersebut masih jauh dari Standar Nasional Perpustakaan (SNP) yang telah tertuang dalam Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional RI Nomor 8 Tahun 2017 tentang Standar Nasional Perpustakaan Kabupaten / Kota. Banyak poin dalam peraturan tersebut yang jika dibadingkan dengan kondisi perpustakaannya tidak memenuhi syarat, dimulai dari koleksi, pengembangan koleksi, pelayanan, sampai dengan SDM.
ADVERTISEMENT
Belum lagi jika harus saya sebut referensi lain, yakni berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Tentu akan semakin sulit menerima keputusan tersebut.
Sebagai masyarakat, terlebih sebagai pustakawan yang tahu betul kondisi perpustakaan di daerahnya, pemberian penghargaan tersebut dirasa telah menciderai mereka yang sekuat tenaga berjuang agar perpustakaan di daerah memenuhi SNP. Pemberian penghargaan tersebut secara tidak langsung juga seperti melanggengkan modal satu-satunya para birokrat berupa kekeliruan dalam mengelola perpustakaan tersebut.
Seperti tulisan saya “Pilkada dan Politik Pemustaka” yang dimuat Kumparan pada 4 September 2020, terdapat tiga (3) faktor sulitnya perpustakaan di daerah sulit berkembang: Pertama, Sarana dan Prasarana, Kedua, Sumber Daya Manusia, dan Ketiga, Anggaran yang minim. Ketiga masalah di atas menjadi makanan sehari-hari pada perpustakaan daerah tersebut.
ADVERTISEMENT
Kalau sudah begini sulit rasanya kembali meyakinkan para birokrat, pentingnya mengejar perpustakaan yang sesuai standar. Buktinya, alih-alih mendapat nilai merah atau masuk ke dalam kategori buruk, perpustakaan yang tidak sesuai standar saja (Kepala Daerahnya) ternyata malah mendapatkan penghargaan tertinggi di bidang perpustakaan!
Pada tahap ini bukankah enam (6) jenis Standar Nasional Perpustakaan yang ada (SNP Provinsi, SNP Kabupaten / Kota, SNP Perguruan Tinggi, SNP Kecamatan & Kelurahan / Desa, serta SNP Sekolah) sudah tidak relevan lagi?
Seperti di Jogja, saya percaya perpustakaan yang dikelola (dari dalam) dengan baik, dengan sendirinya akan baik pula pengelolaannya “ke luar”, dan tidak mungkin sebaliknya.
Artinya, semua jenis kegiatan perpustakaan di luar semata-mata tidak mendefinisikan perpustakaan daerah tersebut bermutu, tanpa melihat bagaimana pengelolaan perpustakaannya di dalam. Secara teknis dapat dikatakan, bagaimana mungkin sebuah perpustakaan yang buruk dapat membina perpustakaan lain (perpustakaan binaan) untuk menjadi perpustakaan yang baik? Bahkan dianggap mempunyai andil terhadap hidup seseorang yang tidak pernah sekalipun pergi ke perpustakaan?
ADVERTISEMENT
Tolok ukur kinerja perpustakaan juga harus dilihat secara komprehensif, semisal berdasarkan IKM (Indeks Kepuasan Masyarakat), jumlah kunjungan, jumlah koleksi, serta jumlah peminjaman. Yang semuanya terhubung dengan SDM (pustakawan) yang memadai secara kuantitas dan kualitas.
Lagi-lagi semua tertulis dalam Standar Nasional Perpustakaan.
Namun, karena penghargaan sudah kadung diberikan. Semoga saja semua prasangka saya di atas salah. Siapa tahu dengan adanya penghargaan tersebut justru perpustakaan daerah semakin di perhatikan. Semakin banyak perpustakaan yang bertebaran.
Bahkan tidak menutup kemungkinan untuk melampaui standar nasional, dan justru memenuhi standar International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA). Semoga!