Konten dari Pengguna

Lemahnya Sosialisasi Pelecehan Seksual di Lingkungan Kerja

Adinda Destiana Aisyah
Mahasiswi Sastra Indonesia di Universitas Pamulang.
2 Februari 2023 5:25 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adinda Destiana Aisyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pelecehan seksual di kantor. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pelecehan seksual di kantor. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
“Pahaku sering diraba.”
“Punggungku terlalu sering disentuh.”
“Aku selalu hampir dipeluk dari depan atau belakang.”
ADVERTISEMENT
“Mereka selalu memberikan candaan yang tertuju pada tubuh saya.”
“Stop pelecehan seksual!”
Menyuarakan bentuk pelecehan seksual dewasa ini telah dilakukan oleh beberapa pihak, dengan beragam cara melalui media informasi. Masyarakat bebas mengemukakan seputar pelecehan seksual di ruang publik.
Hal ini tentu bertujuan agar publik tidak buta dan tuli akan situasi sosial terutama yang berkaitan dengan pelecehan seksual. Pelecehan seksual merupakan masalah sosial yang marak terjadi di masyarakat.
Ruang sempit bukan lagi tempat bagi para pelaku pelecehan untuk melancarkan aksinya, tetapi ruang publik dan keramaian menjadi sasaran empuk bagi mereka memuaskan hasrat seksual.
Ilustrasi meminta pertolongan akibat pelecehan seksual di kantor. Foto: Shutter Stock
Pelecehan seksual bukan lagi suatu peristiwa yang terjadi karena adanya situasi yang mendukung—tempat sepi, pakaian perempuan terlalu terbuka, malam hari—tetapi juga dapat terjadi di tengah situasi ramai, siang hari, bahkan menyerang perempuan dengan pakaian tertutup.
ADVERTISEMENT
Faktanya, perempuan tidak hanya berisiko mengalami pelecehan seksual di ruang publik—alat transportasi, jalan, pasar, halte—tetapi mereka juga berpeluang untuk mengalami pelecehan seksual di lingkungan kerja. Lingkungan kedua yang menjadi tempat perempuan bernaung setiap hari.
Dikutip dari antaranews.com, yang menyampaikan hasil survei yang dilakukan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada Agustus-September 2022, terkait pelecehan seksual di dunia kerja dengan melibatkan 1.175 responden.
Hasil yang diperoleh dari survei tersebut adalah 70 persen para responden pernah mengalami pelecehan seksual di dunia kerja, dan 69 persen mengalaminya sebanyak lebih dari satu kali.
Ilustrasi pelecehan seksual di kantor. Foto: Shutter Stock
Peluang adanya aksi pelecehan seksual yang dilancarkan oleh pelaku didukung oleh beberapa faktor, di antaranya faktor budaya patriarki yang mendukung stigma bahwa perempuan adalah makhluk lemah dan inferior, adanya relasi kekuasaan seperti golongan superior dan inferior, atau mendominasi dan didominasi.
ADVERTISEMENT
Stigma bahwa kehidupan, gerak-gerik perempuan, dan eksistensi perempuan sepenuhnya harus diatur, seolah menjadi faktor utama para pelaku untuk melegitimasi bahwa melecehkan pekerja perempuan merupakan hal yang wajar demi kelancaran pekerjaan.
Pelecehan seksual menjadi salah satu aspek yang dinormalisasikan di lingkungan pekerjaan, dan dianggap sebagai bentuk komunikasi atau keakraban di antara para pekerja.
Setelah dinormalisasikan sehingga mendorong para pekerja perempuan untuk diam dan menganggap bahwa hal tersebut yang akan mempertahankan posisinya.
Ilustrasi pelecehan seksual di transportasi umum. Foto: Shutter Stock
Hal tersebut rupanya mendorong beberapa perusahaan mulai menyuarakan bentuk pelecehan seksual di lingkungan kerja dengan beragam cara, seperti memasang spanduk, poster, menyuarakan secara langsung, maupun dengan memberikan edukasi.
Aksi menyuarakan bentuk pelecehan seksual juga dilakukan oleh salah satu perusahaan. Perusahaan besar yang memiliki kurang lebih 5.000 pekerja dan didominasi oleh perempuan, dianggap memiliki peluang besar terjadinya peristiwa pelecehan seksual.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut mendorong pihak perusahaan untuk memberikan edukasi seputar pelecehan seksual, dengan menyuarakan aksi pelecehan seksual yang mungkin terjadi pada siapa pun.
Cara yang dilakukan oleh perusahaan tersebut dengan memasang spanduk di salah satu sudut ruangan besar pada perusahaan yang bergerak di bidang industri itu.
Sumber gambar: Dokumen Pribadi
Namun, patut disayangkan bahwa aksi menyuarakan bentuk pelecehan seksual yang dilakukan oleh perusahaan tersebut terkesan ‘mentah’ dan gagal menyampaikan informasi dengan baik. Jika dilihat dari spanduk yang dipasang oleh pihak perusahaan tampak sangat ‘mentah’ dan sulit untuk dipahami. Sehingga, kecil persentase bahwa informasi yang berusaha disampaikan dengan spanduk tersebut akan benar-benar sampai kepada seluruh pekerja.
Spanduk yang digunakan untuk menyuarakan bentuk pelecehan seksual yang seharusnya dapat memberikan edukasi dan gambaran bagi karyawan, ternyata tidak memberikan dampak apa pun.
ADVERTISEMENT
Persentase pemahaman yang diperoleh pun akan sangat kecil, sebab tidak banyak pekerja yang memahami spanduk dengan dominasi gambar tanpa tulisan tersebut.
Besar kemungkinan bahwa sebagian besar pekerja tidak memahami atau mengetahui makna dari spanduk tersebut.
Fakta yang membuktikan bahwa cara yang digunakan oleh perusahaan terkesan ‘mentah’ dirangkum di dalam poin-poin berikut ini.
Ilustrasi pelecehan seksual. Foto: aslysun/Shuttterstock

1. Spanduk yang Digunakan Didominasi oleh Gambar, Tanpa Ada Penjelasan Tertulis

Jika ditelaah dengan benar, gambar yang terdapat pada spanduk tersebut tergolong ukuran yang kecil, dan menumpuk memenuhi ukuran spanduk yang tidak terlalu besar.
Hal ini menjadi faktor yang menentukan para pegawai sulit memahami makna yang hendak disampaikan melalui spanduk tersebut.
Seharusnya, penjelasan yang berisikan informasi terkait gambar tersebut harus terdapat di dalam spanduk, agar seluruh pekerja dapat memahami setiap makna dengan mudah. Sehingga proses mengedukasi bentuk pelecehan seksual akan mudah terealisasikan.
ADVERTISEMENT

2. Spanduk yang Dipilih sebagai Cara Menyuarakan Bentuk Pelecehan Seksual Hanya Dipasang di Salah Satu Sudut

Biasanya spanduk tersebut hanya dipasang di salah satu sudut, apalagi ukuran spanduk yang terlalu kecil, sehingga sulit untuk menarik perhatian para karyawan untuk berhenti sejenak dan memperhatikan spanduk tersebut.
Hal ini memberikan kesan bahwa, pemasangan spanduk seolah hanya sebagai formalitas dari wujud melaksanakan aksi menyuarakan bentuk pelecehan seksual.
Tentu saja, cara ini terbilang sangat mentah bagi perusahaan yang memiliki peluang besar akan adanya aksi pelecehan seksual. Spanduk tidak dipasang dengan ukuran besar dan mudah ditemui oleh para pekerja. Hal ini sangat disayangkan, karena tidak ada kesungguhan di dalamnya.

3. Spanduk yang dipasang tidak melampirkan nomor telepon atau pihak yang dapat dihubungi

Jika seorang karyawan mengalami pelecehan seksual. Adanya nomor telepon atau penanggung jawab atas penanganan pelecehan seksual sangat lah penting untuk disampaikan secara transparan, agar para pekerja tidak bingung harus bercerita dan melapor ketika mereka mengalami pelecehan seksual di lingkungan kerja.
ADVERTISEMENT
Salah satu faktor yang mendukung sebagian besar perempuan memilih untuk tidak menceritakan peristiwa pelecehan seksual yang mereka alami, karena ketidaktahuan atau minimnya informasi terkait penanggung jawab yang akan menangani hal tersebut.
Hal ini menjadi menjadi faktor menyedihkan lainnya yang membuat cara menyuarakan bentuk pelecehan seksual di perusahaan tersebut terkesan tidak matang.
Faktor lainnya yang membuktikan bahwa cara yang digunakan dalam menyuarakan bentuk pelecehan seksual di perusahaan tersebut terkesan ‘mentah’ adalah, tidak adanya edukasi secara lisan.
Ilustrasi pelecehan seksual. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Kembali lagi kepada fakta bahwa tidak semua orang akan menghentikan langkah mereka untuk sejenak mengamati spanduk yang notabene-nya tidak menarik perhatian sama sekali.
Hal ini tentu memberikan dampak akan minimnya informasi terkait pelecehan seksual di lingkungan kerja. Alangkah baiknya jika aksi menyuarakan bentuk pelecehan seksual tersebut menggunakan cara lisan, sehingga para pekerja akan mudah memahami dan mencerna setiap informasi. Namun, rupanya cara ini hampir tidak pernah dilakukan oleh perusahaan tersebut.
ADVERTISEMENT
Kelemahan atau cara yang terlalu mentah dalam menyuarakan bentuk pelecehan seksual seperti di atas, memberikan dampak yang besar terhadap pengetahuan terkait pelecehan.
Hal tersebut terbukti ketika para pekerja perempuan cenderung tidak mengetahui bahwa yang dialaminya adalah pelecehan dan menjadi hal wajar sebagai bentuk keakraban, menganggap bahwa bentuk pelecehan seksual hanya berupa serangan terhadap organ intim.
Ilustrasi pelecehan seksual di kantor. Foto: Shutter Stock
Faktanya, pekerja laki-laki pun menganggap hal yang dilakukannya terhadap tubuh perempuan bukan aksi pelecehan seksual. Padahal, bentuk pelecehan seksual beraneka ragam mulai dari cat calling hingga berbentuk kekerasan. Hal ini dikarenakan edukasi atau informasi yang disampaikan tidak transparan dan sulit dicerna.
Agar tercapainya tujuan dalam menyuarakan serta mengedukasi tentang pelecehan seksual, tentu harus dilakukan beberapa perubahan.
ADVERTISEMENT
Perubahan-perubahan tersebut di antaranya: memperbaiki informasi tertulis agar mudah dibaca dan dipahami, memperbaiki media informasi yang mudah ditemukan dan menarik perhatian, memberitahukan secara transparan penanggung jawab pelecehan seksual di lingkungan kerja, serta mengedukasi para pekerja dengan penyampaian lisan bukan hanya tulisan.
Perubahan-perubahan di atas perlu dilakukan agar mengontrol jumlah peristiwa pelecehan seksual di lingkungan kerja. Para pekerja pun akan memperoleh pengetahuan seputar bentuk pelecehan seksual, dan cara menanganinya. Pelecehan seksual di lingkungan kerja bukanlah suatu hal yang harus dinormalisasikan dengan alasan keakraban sesama pekerja.
*Adinda Destiana Aisyah, Penulis dan Mahasiswi Universitas Pamulang jurusan Sastra Indonesia