Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perempuan dan Peraturan Rahim
2 September 2024 8:16 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Adinda Destiana Aisyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Siapa sangka, saking peliknya urusan perempuan sampai rahimnya pun ikut diatur bersama-sama. Kita semua pasti pernah mendengar atau pernah menjadi korban bagaimana masyarakat ikut mengatur rahim seorang perempuan, seolah rahim adalah milik bersama. Padahal, rahim seorang perempuan adalah miliknya sendiri bukan milik orang lain. Namun, tanpa sadar masyarakat seolah membuat peraturan rahim bagi perempuan dan digaungkan seperti suatu hal yang lumrah.
ADVERTISEMENT
Bagaimana bentuk peraturan rahim yang selalu diwariskan turun-temurun kepada perempuan? Misalnya, perempuan harus hamil atau mempunyai anak setelah menikah. Perempuan harus hamil atau melahirkan sebelum usia 30 tahun. Perempuan yang tidak bisa hamil dibilang perempuan gagal. Perempuan harus melahirkan secara normal, baru dapat dikatakan sempurna. Jika perempuan belum hamil, maka dibilang mandul, kurang menjaga kesehatan, dipaksa minum jamu-jamuan agar rahimnya subur. Perempuan harus melahirkan anak laki-laki. Setelah memiliki anak pertama, perempuan harus segera melahirkan anak kedua sebelum tua. Perempuan yang memilih untuk childfree dibilang egois. Masih banyak peraturan yang berkaitan dengan rahim perempuan, dan kian ditanamkan secara turun-temurun seolah hal yang benar. Tanpa disadari, peraturan rahim telah merenggut eksistensi dan kebebasan bagi perempuan untuk mengatur atau memilih yang terbaik demi dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Sejatinya tubuh perempuan termasuk rahim adalah milik perempuan itu sendiri. Masyarakat atau siapapun tidak berhak mengatur tubuh perempuan tanpa persetujuan, dan menjadikan suatu standar seperti bentuk keharusan untuk menyempurnakan perempuan. Perempuan memiliki andil yang besar dalam mengambil keputusan demi rahim dan tubuhnya sendiri. Mari sejenak menoleh pada salah satu puisi karya Oka Rusmini dalam bukunya yang berjudul Patiwangi, yaitu puisi “Pada Pemilik Rahim”. Pada puisi tersebut digambarkan bagaimana penderitaan dan rasa tertekan yang dialami oleh perempuan ketika hamil. Perempuan kerap kali tidak mengenali dirinya ketika mengalami kehamilan. Perempuan kerap dituntut untuk melahirkan anak laki-laki, dan dicemooh kita lagi-lagi yang lahir dari rahimnya adalah anak perempuan.
Peraturan rahim perlahan menakuti para perempuan demi menyempurnakan suatu kehidupan, tanpa memperhatikan diri sendiri. Beberapa perempuan mungkin saja lupa untuk mempersiapkan mental dan fisik sebelum mempunyai anak, hanya karena dituntut dan diatur untuk segera memiliki anak. Beberapa perempuan bahkan hidup terpuruk penuh penyesalan hanya karena tidak dapat melahirkan seorang anak laki-laki. Beberapa perempuan bahkan mengutuk diri, hanya karena tidak bisa hamil. Masih banyak dampak negatif lain dari peraturan rahim yang tidak diketahui siapa penciptanya, tetapi terus digaungkan seolah hal yang lumrah.
ADVERTISEMENT
Beberapa kasus yang tercatat ataupun tidak tercatat, menunjukkan bahwa perempuan kerap menjadi korban peraturan rahim yang kasat mata. Perempuan dituntut untuk memiliki rahim yang sehat, kuat, pekerja keras, mampu melahirkan anak-anak yang sempurna dan diidamkan oleh orang lain. Perempuan kerap dipoligami dengan alasan tidak mampu melahirkan seorang anak. Perempuan kerap dicap memiliki rahim lemah hanya karena tidak mampu menjaga calon bayi dalam kandungan ketika mengalami keguguran. Perempuan kerap dipinggirkan ketika rahimnya mengalami masalah. Beberapa contoh di atas seolah menunjukkan bahwa kesempurnaan perempuan terletak pada rahimnya. Padahal, ada banyak aspek penting dalam diri perempuan. Namun, hal yang terus ditanamkan tidak jauh mengenai rahim dan kesempurnaannya berkutat pada hal melahirkan seorang anak.
ADVERTISEMENT
Seiring perkembangan zaman, dimana tujuan hidup perempuan lebih dari sekadar hamil dan melahirkan, masyarakat juga harus berhenti menormalisasi peraturan rahim yang dapat merenggut kebebasan perempuan dalam menjaga tubuhnya. Masyarakat harus berhenti mengurusi rahim perempuan, salah satunya mengatur apakah perempuan harus hamil atau tidak, kapan perempuan harus hamil dan melahirkan, bagaimana perempuan dikatakan sempurna dengan rahim yang beruntung dan pekerja keras. Berhenti menormalisasi pertanyaan “Kapan punya anak?” atau “Kapan hamil anak kedua?”. Berhenti menormalisasi ketidakmampuan suatu hal sebagai bentuk kegagalan atau ketidaksempurnaan dalam diri seseorang. Berhenti berpikir ketika perempuan memprioritaskan kenyamanan tubuhnya sendiri adalah suatu bentuk keegoisan, karena sejatinya perempuan memegang kendali penuh atas tubuhnya sendiri.
Sebagai perempuan perlu sadar bahwa nilai diri lebih dari urusan rahim. Perempuan harus tetap memperhatikan diri alih-alih termakan dengan peraturan rahim yang tidak memiliki penanggung jawab. Ketika memilih untuk hamil dan melahirkan, perlu adanya kesiapan fisik dan mental. Ketika suatu hal dirasa tidak memberikan kenyamanan bagi tubuh, maka perlu adanya kesadaran untuk memprioritaskan kenyamanan diri. Perempuan berhak membuat keputusan untuk tubuhnya, dalam hal kenyamanan jangka pendek atau panjang. Segala hal yang menjadi keputusan dan pilihan perempuan pada dasarnya bukan bentuk keegoisan, tetapi bentuk penghargaan dan rasa sayang kepada diri sendiri. Jadi, bukan suatu kesalahan jika perempuan memilih untuk mengabaikan peraturan atau standar kehidupan tak bertuan yang merugikan fisik maupun mental dalam jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Para perempuan memang tidak mampu menghentikan laju penyebaran peraturan rahim yang selalu digaungkan oleh masyarakat, karena hal tersebut di bawah kendali diri kita sendiri. Hal yang dapat dilakukan oleh perempuan adalah, menyadari aspek penting yang dapat dikendalikan dan dipersiapkan alih-alih fokus pada peraturan-peraturan lisan tersebut.