Konten dari Pengguna

Mengapa Filsafat Tidak Cukup Tanpa Menyentuh Realitas?

Adrian Farhan Mubarok
Interested in books, studies and issue related to economy-politics. Behind of @partisipatif.id & @escdotid on Instagram
18 November 2024 10:51 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adrian Farhan Mubarok tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tujuh tahun yang lalu, cara berpikir saya berubah dan berpengaruh hingga sekarang.
ADVERTISEMENT
Berawal dari tiga buku filsafat politik — Karl Marx Ekonomi Politik Aksi Revolusi karya Darsono, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme karya Franz Magnis-Suseno, dan Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara karya Friedrich Engels — membuka mata saya pada apa yang disebut filsafat materialisme dialektika historis.
Karl Marx Pictures/Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Karl Marx Pictures/Unsplash
Saat itu, saya hanyalah seorang mahasiswa yang gelisah, mencari makna dari kekacauan sosial yang tampak tak terpecahkan. Ketiga buku itu menjadi “sihir” intelektual yang membuat saya tidak hanya memahami dunia, tetapi juga sempat heroik seolah bisa menantang dunia.
Dulu, saya berpikir sejarah adalah sekadar catatan tentang raja-raja, pahlawan, atau kisah “besar” bangsa.
Tapi Marx dan Engels berkata lain — sejarah bukanlah tentang mereka yang berkuasa saja, melainkan juga tentang mereka yang tertindas. Mereka yang bekerja keras tetapi jarang disebut dalam buku pelajaran sejarah.
ADVERTISEMENT
Filsafat materialisme dialektika historis memberikan kacamata baru, yang memperlihatkan bahwa di balik setiap kemegahan, ada pergulatan kelas yang menentukan.
Memahami Materialisme Dialektika Historis
Singkatnya, materialisme dialektika historis adalah cara memandang dunia yang mengedepankan materi, bukan gagasan abstrak. Bagi Marx dan Engels, kehidupan manusia ditentukan oleh hubungan material — siapa yang memiliki alat produksi, siapa yang bekerja, dan bagaimana hasil kerja itu didistribusikan.
Teori ini menggunakan pendekatan dialektika, yakni melihat perubahan sebagai hasil dari kontradiksi yang saling bertarung. Dialektika ini menjelaskan bagaimana sejarah manusia adalah medan perang antara kelas yang saling berlawanan antara budak melawan tuannya, petani melawan feodalis, buruh melawan kapitalis. Engels menjelaskan:
ADVERTISEMENT
Sejarah bukanlah rangkaian kebetulan, apalagi takdir. Semua peristiwa besar lahir dari sebab material — bukan dari doa, bukan pula dari wahyu ilahi.
Berkenalan dengan Marx
Buku Darsono adalah pintu pertama saya menuju pemahaman ini. Dengan gaya bahasa yang lugas, Darsono menggambarkan gagasan Marx sebagai kritik tajam terhadap kemapanan.
Salah satu bagian paling penting berbicara tentang alienasi, yaitu bagaimana kapitalisme memisahkan manusia dari kemanusiaannya. Dalam sistem ini, buruh tidak lagi memiliki hasil kerjanya, apalagi makna dari pekerjaannya. Ia hanya menjadi roda kecil dalam mesin kapitalisme.
Setelah buku itu, datanglah Franz Magnis-Suseno dengan pendekatan yang lebih akademis dan pendekatan secara historis. Ia membantu saya memahami perjalanan intelektual Marx — bagaimana ia berkembang dari sekadar kritik sosialisme utopis menjadi teori yang terstruktur. Magnis-Suseno menulis:
ADVERTISEMENT
Engels, di sisi lain, menghadirkan perspektif yang lebih pragmatis. Dalam Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara, ia menjelaskan bahwa lembaga seperti keluarga dan negara bukanlah entitas netral. Mereka adalah alat kekuasaan kelas penguasa. Engels menulis:
Ketika Dunia Terlihat dengan Mata Baru
Saat pertama kali mempelajari materialisme dialektika historis, saya merasa seperti baru saja keluar dari gua. Hal-hal yang dulu saya terima begitu saja tiba-tiba menjadi pertanyaan besar.
Mengapa ada orang kaya dan orang miskin? Mengapa buruh yang bekerja keras tidak pernah kaya? Mengapa negara terlihat lebih peduli pada kepentingan korporasi dibanding rakyatnya?
ADVERTISEMENT
Misalnya, ketika melihat pembangunan jalan tol yang sering dielu-elukan sebagai “pembangunan nasional,” saya mulai mempertanyakan — pembangunan untuk siapa? Apakah jalan itu lebih menguntungkan buruh yang pulang kerja, atau justru kapitalis yang butuh logistik lebih cepat?
Di sinilah Marx menjadi relevan. Ia berkata:
Pembangunan bukan lagi sekadar proyek infrastruktur, tetapi alat untuk mempertahankan kekuasaan dan memperluas ekspansi demi akumulasi keuntungan.
Kontradiksi Kapitalisme
Yang membuat materialisme dialektika historis begitu menarik adalah gagasannya bahwa kapitalisme membawa benih kehancurannya sendiri. Dalam sistem ini, kontradiksi terus terjadi — buruh semakin miskin, sementara kapitalis semakin kaya. Ketegangan ini tidak bisa dihindari. Pada akhirnya, perubahan tidak akan datang dari belas kasih, tetapi dari perjuangan.
ADVERTISEMENT
Marx menulis dalam Das Kapital:
Pandangan ini memberikan saya optimisme bahwa dunia bisa berubah. Tapi perubahan itu tidak datang sendiri.
Filsafat Hidup yang Membumi
Sejak pertama kali membacanya, materialisme dialektika historis tidak hanya menjadi teori di kepala saya, tetapi juga cara saya menjalani hidup. Ia mengajarkan saya untuk tidak puas dengan penjelasan-penjelasan yang dangkal. Ia mengajarkan saya untuk mencari akar dari setiap masalah, dan sering kali akar itu terletak pada struktur ekonomi.
Saat melihat buruh demo, saya tidak lagi merasa mereka “mengganggu ketertiban.”
Saya melihatnya sebagai perjuangan kelas yang nyata. Ketika mendengar politisi bicara tentang “pertumbuhan ekonomi,” saya bertanya: siapa yang diuntungkan? Siapa yang dirugikan?
ADVERTISEMENT
Bagi saya, itulah inti dari materialisme dialektika historis — memahami dunia untuk mengubahnya.
Sebab, seperti kata Marx:
Hingga hari ini, filsafat itu masih hidup dalam cara saya berpikir. Dalam dunia yang penuh kontradiksi, materialisme dialektika historis memberikan peta dan kompas. Ia menunjukkan bahwa di balik setiap ketidakadilan, ada sistem yang bisa digugat — dan bahwa perubahan, betapapun sulitnya, adalah mungkin.
Melihat Dunia dengan Mata yang Lebih Tajam
Sebagai mahasiswa yang dulu hanyalah bagian dari rutinitas kampus, saya merasa terjaga setelah mengenal materialisme dialektika historis. Gagasan-gagasan besar yang pernah saya terima begitu saja kini dipertanyakan satu per satu. Saya mulai melihat dunia ini dengan mata yang lebih tajam, dengan fokus pada ketidakadilan sosial yang tak tampak dalam kemegahan gedung bertingkat atau keindahan jalanan yang terawat.
ADVERTISEMENT
Buku Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara oleh Engels membuka banyak tabir yang selama ini saya abaikan. Ketika Engels menjelaskan bagaimana keluarga dan negara dibentuk sebagai alat penguasa untuk mempertahankan dominasi mereka, saya mulai menyadari bahwa struktur sosial kita bukanlah hal yang “alami” atau “tak terelakkan”. Negara bukanlah lembaga yang ada untuk “kebaikan bersama”, melainkan alat yang digunakan oleh kelas penguasa untuk menjaga kepentingannya.
Engels dengan lugas menyatakan:
Jadi apa yang terjadi di masyarakat ini bukanlah hasil dari nasib atau takdir, tetapi dari hubungan-hubungan kekuasaan yang ada di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Pemikiran itu membuat saya berpikir dua kali setiap kali saya mendengar politisi berbicara tentang “demokrasi” atau “keadilan sosial”. Untuk siapa sebenarnya kata-kata itu dimaksudkan? Jika kita kembali ke akar-akar materialisme dialektika historis, jawabannya jelas untuk mereka yang berkuasa, yang memiliki alat-alat produksi, dan yang bisa mengendalikan sumber daya.
Membaca dengan hati-hati
Memang benar bahwa filsafat, terutama materialisme dialektika historis, memberikan pandangan yang tajam dan mendalam tentang struktur sosial dan ekonomi. Namun, dalam perjalanan saya memahami filsafat ini selama tujuh tahun, satu hal yang saya pelajari adalah pentingnya bijaksana dalam membaca filsafat.
Jangan sampai kita terlalu terbuai oleh gagasan besar yang ditawarkan oleh teori, sehingga kita lupa bahwa kita masih hidup di dunia nyata dengan masalah nyata yang sedang berlangsung.
ADVERTISEMENT
Filsafat terutama yang bersifat teoritis seperti materialisme dialektika historis, sering kali menawarkan visi dunia yang ideal — di mana kelas tertindas berhasil merebut kekuasaan, di mana revolusi sosial membawa perubahan besar bagi masyarakat. Ini adalah gambaran yang sangat menggugah dan inspiratif.
Tetapi, menurut saya, kita tidak boleh terjebak dalam utopia filsafat tanpa melihat kondisi faktual yang ada saat ini. Kalau kita hanya terus membaca dan berbicara tentang teori tanpa memahami dunia yang sedang kita jalani, kita akan kehilangan konteks yang sangat penting untuk perubahan yang sesungguhnya.
Seperti yang dikatakan oleh Friedrich Engels:
Artinya, filsafat bukanlah sesuatu yang terpisah dari kenyataan hidup. Dia tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan permasalahan sosial, ekonomi, dan politik yang sedang terjadi.
ADVERTISEMENT
Filsafat harus dihadirkan dalam tindakan nyata. Filsafat seharusnya menjadi alat untuk memahami dan merespons kondisi faktual — bukan alasan untuk bersembunyi dari realitas.
Di sisi lain, kita juga perlu mengingat bahwa materialisme dialektika historis, meskipun memberi pemahaman mendalam tentang ketidakadilan sosial dan sistem kelas, tidak bisa dijadikan satu-satunya acuan dalam menilai masalah saat ini. Sejarah memang memberikan pelajaran, tetapi konteks zaman sekarang — dengan segala kompleksitasnya — harus tetap jadi prioritas.
Misalnya, kita tidak bisa mengabaikan tantangan yang dihadapi oleh saat ini, yang mungkin tidak berjuang melawan kapitalisme dengan cara yang sama seperti yang diusulkan oleh Marx — melalau revolusi — tetapi melalui cara-cara yang lebih kontekstual sekecil apapun pengaruh dan bentuknya.
ADVERTISEMENT
Saya menyadari bahwa kita hidup dalam era yang sangat berbeda dari Marx dan Engels.
Maka dari itu, filsafat bukanlah alasan untuk berjarak dari dunia yang kita hadapi, tetapi sebagai alat untuk membuat perubahan yang lebih relevan dan kontekstual dengan situasi yang ada.
Filsafat harus menjadi pedoman yang hidup. Dalam membaca, kita harus berpijak pada kenyataan yang sedang berjalan, tanpa terjebak dalam romantisme masa lalu atau mimpi utopis yang mungkin tak terjangkau dalam kondisi sekarang.
Kebijaksanaan dalam membaca filsafat adalah tentang menyeimbangkan teori dan praktik, memahami filosofi, tapi juga bertindak sesuai dengan kondisi sosial yang ada, agar pemikiran kita tidak hanya berhenti di atas kertas, tetapi bisa menginspirasi tindakan nyata yang membawa kebermanfaatan.
ADVERTISEMENT