Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.0
Konten dari Pengguna
Dari Desa Balun Lamongan, Kita Belajar…
26 Maret 2021 14:51 WIB
Tulisan dari Afiqul Adib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Desa Balun, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan. Bagi yang belum tahu, desa ini dijuluki “Desa Pancasila”. Bukan tanpa alasan tentunya. Setidaknya ada tiga agama yang hidup dalam satu lokasi. Menurut keterangan warga sekitar, bahkan ada yang hidup dengan tiga agama dalam satu keluarga. Agama yang ada di Desa Balun adalah Islam, Hindu, dan Kristen.
ADVERTISEMENT
Bukan cuma itu saja, paling tidak sampai saat ini masyarakat desa tersebut bisa hidup berdampingan dengan tiga agama tanpa ada masalah. Padahal seperti yang kita ketahui, isu agama adalah isu yang paling sensitif untuk dibahas.
Di Desa Balun, ketika ada perayaan ogoh-ogoh (perayaan umat Hindu), semua warga pun hadir, meskipun yang berbeda agama. Begitu pun ketika umat Islam melaksanakan takbiran, mereka semua tidak ada yang terganggu. Semua terjadi begitu saja tanpa ada komando, tanpa ada yang menyuruh. Semesta seakan bertanggung jawab mengenai ini.
Pertanyaannya, kenapa mereka bisa hidup rukun padahal ada tiga agama dalam satu lokasi? Bahkan ada loh yang hidup dan tinggal dalam satu keluarga yang terdapat 3 agama sekaligus. Bayangin, 3 agama dalam satu Kartu Keluarga.
ADVERTISEMENT
Dari pengamatan sederhana saya, kunci dari kehidupan harmonis mereka adalah saling mengenal. Mereka terbiasa mengenal satu sama lain. Yah, tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu alasan adanya permusuhan adalah karena tidak mau saling mengenal.
Warga Desa Balun terbiasa dengan perbedaan. Anak-anak di sana dibiarkan bermain dengan siapa saja, bahkan dengan yang berbeda agama. Warga desa (yang terdiri dari tiga agama berbeda) terbiasa gotong royong, nongkrong, ronda, maido, dan melakukan aktivitas apa saja secara bersama-sama, tanpa menyinggung satu sama lain.
Keberagaman seperti itu bukanlah hal tabu bagi masyarakat Desa Balun. Bahkan ketika saya bertanya kenapa bisa rukun, justru mereka bertanya balik, kenapa ada yang tidak bisa rukun? Bagi mereka, agama boleh berbeda, namun kemanusiaan tetaplah sama.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan fenomena yang ada di Indonesia (secara global). Sering sekali kita terpecah hanya karena alasan receh. Contoh dalam kebebasan berpendapat, kita pun terkesan subjektif. Ketika ada orang yang sama dengan pendapat kita, dan orang tersebut dipersekusi, kita akan bersuara “Hai, kebebasan berpendapat, dong!” Namun ketika ada orang lain yang berbeda pendapat dengan kita, dan dia dipersekusi, kita malah ikutan persekusi.
Meminjam kalimat Pandji Pragiwaksono, “Hanya karena kita benar, bukan berarti kita berhak melakukan apa pun kepada yang salah, karena itu menimbulkan dendam.”
Balik lagi, kunci dari persatuan adalah pertemanan, dan untuk menjadi teman maka harus duduk bersama dan menerima perbedaan. Orang yang anti dengan perempuan bercadar pasti karena tidak punya teman bercadar, begitu juga dengan orang yang membenci LGBT pun pasti karena memang tidak punya teman LGBT, begitu seterusnya.
ADVERTISEMENT
Mengkotak-kotakkan manusia memang harus dihindari. Salah satu alasan kenapa terorisme belum selesai di Indonesia, ya karena kita menganggap terorisme adalah orang jahat kemudian kita harus menghukum mereka, padahal mereka melakukan itu kan bukan karena mereka tahu perbuatannya salah.
Perlu dicatat, tidak ada orang yang selalu jahat atau selalu baik. Yang ada hanyalah orang. Nah, orang itu bisa jahat, bisa baik. Kehidupan tidak seperti film superhero yang hanya ada pahlawan dan penjahat. Semuanya adalah orang saja; yang kadang baik, kadang juga jahat.
Sekarang coba direnungi, seorang teroris melakukan bom bunuh diri, apakah ia merasa melakukan kejahatan? Enggak dong. Seorang teroris sampai mau melakukan bom bunuh diri itu karena merasa dirinya melakukan tindakan yang benar.
ADVERTISEMENT
Solusi penyelesaian bukan menemukan siapa jahat dan siapa yang baik, tapi duduk bersama. BNPT pernah mengatakan bahwa cara paling efisien untuk mengurangi radikalisasi adalah dialog, ngobrol, dan tidak membuat mereka menjadi penjahatnya. Karena jika mereka dihukum mati, maka teman-temannya akan merasa bahwa dia adalah pahlawan, sehingga kasus yang sama akan terus terulang.
Kita adalah negara kepulauan. Konsekuensi negara kepulauan adalah membangun jembatan, bukan membangun tembok yang memisahkan.
Jadi, mari berbenah bersama. Mulailah dengan saling mengenal, kemudian hidup dan berdampingan sebagaimana hal yang wajar. Desa Pancasila yang ada di Lamongan setidaknya bisa dijadikan contoh keberhasilan budaya saling mengenal.