Mengenal Jaran Jenggo: Barongsai Versi Lite dari Kabupaten Lamongan

Afiqul Adib
Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tinggal di Lamongan.
Konten dari Pengguna
5 Agustus 2023 21:33 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afiqul Adib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumen pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dokumen pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dulu, ketika saya masih SD, ada satu kesenian yang sangat populer di Lamongan. Khususnya di pesisir utara. Iya, Jaran Jenggo namanya. Sebuah hiburan yang sangat dinantikan ketika ada karnaval di desa.
ADVERTISEMENT
Kesenian Jaran Jenggo menjadi primadona semua kalangan. Dari anak kecil, bapak-bapak, sampai kakek-nenek. Tiap karnaval, atau perayaan desa, pasti adaaa saja yang nanggap (nyewa) Jaran Jenggo.
Sekadar info. Ketika ada karnaval, pertanyaan yang muncul di masyarakat adalah, ada berapa grup drum band? Dan ada berapa Jaran Jenggo? Kalau jumlahnya banyak, warga desa sebelah pun otomatis akan menonton. Dan hal tersebut adalah kebanggaan tersendiri bagi desa tersebut, sebab karnaval dinilai sukses, sebab penontonnya cukup padat.
Jaran Jenggo memang cukup fenomenal kala itu. Kesenian ini bahkan melekat menjadi salah satu ciri orang berkepunyaan. “Wah, pasti blio orang kaya, sampai bisa mendatangkan Jaran Jenggo.” Sebab, mendatangkan Jaran Jenggo ini tidak murah. Dan tentu saja hanya orang-orang berkepunyaan saja yang mampu.
ADVERTISEMENT
Iya, itu dulu. Kini, ada yang masih ingat namanya saja sudah bagus. Entahlah, kesenian ini seakan lenyap dari pasaran. Saya sering geleng-geleng dengan fenomena ini. Padahal kalau dilestarikan dengan cukup niat, kesenian ini bisa jadi nilai “jual” untuk wisata lokal, sehingga Lamongan ini tidak hanya dikenal sebagai kabupaten asal pecel lele saja.
Sedikit gambaran, Jaran Jenggo adalah salah satu kesenian dari Lamongan, tepatnya dari Kecamatan Solokuro. Jaran bermakna Kuda, sedangkan njenggo berarti mengangguk-anggukan kepala sembari menari. Atau bisa diartikan kalau Jaran Jenggo ini dimaknai sebagai jaran goyang atau kuda goyang.
Kesenian ini merupakan kesenian arak-arakan. Dipadukan dengan atraksi-atraksi yang dilakukan oleh kuda dan beberapa pawang. Kuda tersebut mengangguk-anggukan kepala sambil menari dan berjoget sesuai irama musik.
ADVERTISEMENT
Saya selalu teringat Barongsai ketika menonton Jaran Jenggo. Sebab, ada banyak kesamaan. Sama-sama kesenian arak-arakan, sama-sama disertai atraksi, dan sama-sama menggunakan “hewan” sebagai tokoh utama disertai musik sebagai pengiring.
Meski tentu saja, Jaran Jenggo ini menggunakan hewan asli sebagai “tokoh utamanya”. Berbeda dengan Barongsai yang tokoh utamanya adalah orang yang menyamar menjadi hewan. Alhasil, atraksi yang dilakukan Jarang Jenggo ini tidak segesit Barongsai.
Oh, iya, satu hal lagi yang sering menyita perhatian penonton adalah kuda tersebut ditunggangi anak laki-laki. Lengkap dengan pakaian mewah beserta payung yang dibawakan oleh orang lain. Pokoknya ala-ala raja deh. Kuda yang digunakan pun didandani lho, pakai kostum gitu guys, jadi terlihat lebih menarik buat ditonton.
ADVERTISEMENT
Disclaimer, Jaran Jenggo ini memang dikhususkan untuk dinaiki laki-laki. Tenang, bukan karena patriarki kok. Jangan ngamuk dulu, Bestie!
Sedikit cerita, orang yang paling berjasa atas adanya kesenian Jaran Jenggo adalah H. Rosyid. Seorang kepala desa Solokuro kala itu. Kesenian Jaran Jenggo lahir di tahun 1907 dan memiliki nama kelompok Aswo Kaloko Joyo. Kelompok tersebut merupakan seniman Jaran Jenggo pertama di Lamongan.
Nah, asal mula Pak Rosyid ini membuat kesenian tersebut sebab blio punya anak laki-laki yang takut khitan (sunat). Sebagai orang tua, tentu saja blio membujuknya. Blio bernazar jika anaknya mau disunat, maka anaknya akan diarak keliling desa dengan menggunakan jaran (kuda) dan diiringi musik rebana-jedor. Perkataan itu membuat sang anak bersedia untuk dikhitan.
ADVERTISEMENT
Secara kebetulan, Pak Rosyid ini punya kuda yang sering mengangguk ketika mendengar musik jedor. Dari sana blio mencoba melatih kudanya dan lahirlah kesenian Jaran Jenggo. Karena itu penunggang Jaran Jenggo ini adalah laki-laki, sebab biasanya kesenian ini juga sekaligus hadiah untuk yang sudah mau disunat.
Oh iya, prosesi kesenian ini nggak sekadar kuda yang ngangguk-ngangguk aja lho. Ada semacam sungkem yang dilakukan oleh kuda tersebut kepada anak dan orang tua penyelenggara sebanyak 3 kali.
Sungkem tersebut dilakukan sang kuda dengan menekuk kaki depan beserta kepala ke bantal dan tikar yang telah disediakan di depan anak dan orang tua penyelenggara. Semacam sujud gitu.
Dulu prosesi ini adalah yang paling ditunggu. Kami menyebut proses ini dengan istilah “nyembah”. Sebab, kuda tersebut seakan bersujud di hadapan “tuannya”. Sambil sesekali mbatin dan keheranan, kok bisa kuda disuruh sujud. Duh, hiburan zaman dulu memang sederhana.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, itu dulu. Sekarang, saya bahkan tidak tahu apakah kesenian Jaran Jenggo ini masih ada peminatnya. Tapi saya berharap, meski tidak sepopuler dulu, semoga saja kesenian ini terus kekal, abadi. Paling tidak ia diketahui oleh anak zaman sekarang sebagai warisan kebudayaan. Iya, semoga saja.