Konten dari Pengguna

Kenapa Hiburan Suku dan Budaya Orang Lain Terasa Membosankan?

Afrida
Dosen Departemen Antropologi Universitas Andalas
26 Agustus 2024 11:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afrida tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gerakan Tari Randai (Sumber: encyclopedia.jakarta-tourism/ Kumaparn.com)
zoom-in-whitePerbesar
Gerakan Tari Randai (Sumber: encyclopedia.jakarta-tourism/ Kumaparn.com)
ADVERTISEMENT
Pernahkah Anda merasakan saat melihat prosesi atau hiburan dari suku bangsa lain terasa membosankan? Pengalaman pribadi ini terjadi pada saya ketika mengajak beberapa teman untuk menyaksikan pagelaran seni randai di masyarakat Minangkabau. Awalnya, saya sangat antusias untuk memperkenalkan mereka pada salah satu bentuk seni budaya yang kaya akan nilai-nilai dan tradisi lokal. Namun, saya segera menyadari bahwa mereka tidak menikmati pertunjukan ini seperti yang saya harapkan. Mereka terlihat gelisah, sesekali melihat jam, dan ada yang bahkan mulai menguap. Kenapa hiburan dari suku bangsa lain, yang bagi sebagian orang adalah ekspresi budaya yang mendalam dan kaya, bisa terasa begitu membosankan bagi orang lain?
ADVERTISEMENT
Fenomena ini bisa dipahami melalui perspektif antropologi budaya, yang melihat kebudayaan sebagai sebuah kerangka acuan yang membentuk cara kita memandang dunia dan merespons berbagai stimulus yang ada di dalamnya. Hiburan, dalam konteks ini, adalah sebuah bentuk ekspresi budaya yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai, norma, dan kebiasaan yang tertanam dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Ketika kita berbicara tentang hiburan, kita tidak hanya berbicara tentang apa yang terlihat di panggung atau layar, tetapi juga tentang seluruh sistem simbolik yang mendasarinya, yang membentuk pemahaman kita tentang apa yang dianggap menarik, menghibur, atau bahkan bermakna.
Secara psikologis, alasan mengapa hiburan dari suku bangsa lain terasa membosankan dapat dilihat melalui beberapa faktor, antara lain keterbiasaan, ketidakpahaman, dan kurangnya ikatan emosional. Keterbiasaan adalah faktor pertama yang paling jelas. Setiap individu tumbuh dalam lingkungan budaya tertentu dengan eksposur yang konstan terhadap bentuk-bentuk hiburan spesifik yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. Ini berarti bahwa preferensi seseorang terhadap hiburan sangat dipengaruhi oleh apa yang sudah akrab bagi mereka. Misalnya, seseorang yang tumbuh besar dengan musik pop Barat mungkin akan lebih mudah menikmati konser pop daripada pertunjukan wayang kulit, karena musik pop tersebut lebih akrab dan lebih sesuai dengan selera yang telah terbentuk sejak kecil.
ADVERTISEMENT
Kedua, ketidakpahaman memainkan peran besar dalam mempengaruhi apakah seseorang dapat menikmati hiburan dari budaya lain atau tidak. Ketika kita menonton sesuatu yang tidak kita pahami — mungkin karena bahasa, konteks budaya, atau simbol-simbol yang tidak kita kenali — maka sulit bagi kita untuk merasa terlibat atau tertarik. Dalam bukunya *The Interpretation of Cultures*, Clifford Geertz menjelaskan bahwa simbol-simbol budaya adalah alat untuk memahami dunia. Ketika kita tidak memahami simbol-simbol tersebut, kita tidak bisa sepenuhnya memahami atau menghargai hiburan yang disajikan.
Ketiga, kurangnya ikatan emosional juga dapat menyebabkan kebosanan. Hiburan bukan hanya tentang konten, tetapi juga tentang emosi yang dihasilkan dan resonansi emosional yang diciptakan. Bagi seseorang yang tidak memiliki keterikatan emosional atau pengalaman personal dengan budaya yang sedang disajikan, akan sulit untuk merasa terhubung. Misalnya, bagi orang yang tidak memiliki koneksi dengan budaya Minangkabau, seni randai mungkin hanya akan terlihat sebagai serangkaian gerakan dan nyanyian yang asing dan sulit dimengerti, tanpa adanya ikatan emosional yang dapat membuat pertunjukan tersebut menjadi bermakna.
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang antropologi, kebosanan terhadap hiburan budaya lain juga bisa dihubungkan dengan konsep "ethnocentrism" atau "etnosentrisme", yaitu kecenderungan untuk melihat budaya lain melalui kacamata budaya sendiri dan menilai mereka berdasarkan standar budaya sendiri. Ketika kita menghadapi bentuk hiburan yang berbeda dari apa yang biasa kita lihat atau nikmati, ada kecenderungan untuk menilainya sebagai "aneh" atau "tidak menarik" karena tidak sesuai dengan standar atau harapan kita. Misalnya, bagi seseorang yang tumbuh dalam budaya yang sangat mengutamakan hiburan cepat dan interaktif seperti video game, pertunjukan teater tradisional yang berfokus pada narasi yang lambat dan mendalam mungkin akan terasa membosankan.
Selain itu, Pierre Bourdieu dalam bukunya *Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste* menyebutkan bahwa preferensi estetika sering kali dibentuk oleh habitus, yaitu sekumpulan disposisi yang dibentuk oleh pengalaman sosial dan pendidikan seseorang. Habitus ini berperan dalam menentukan apa yang kita anggap menarik atau tidak menarik. Dalam hal ini, preferensi seseorang terhadap hiburan sangat dipengaruhi oleh latar belakang sosial dan budayanya. Ketika seseorang dihadapkan pada hiburan dari budaya lain yang tidak sesuai dengan habitus mereka, ada kecenderungan untuk merasa tidak nyaman atau bosan.
ADVERTISEMENT
Namun, penting untuk dicatat bahwa kebosanan terhadap hiburan budaya lain tidak selalu menunjukkan sikap negatif terhadap budaya tersebut. Sebaliknya, ini bisa menjadi refleksi dari kurangnya pemahaman atau pengalaman dengan budaya tersebut. Edward T. Hall dalam bukunya *The Silent Language* menekankan bahwa komunikasi antarbudaya membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang konteks budaya, termasuk sistem nilai, norma, dan kebiasaan. Ketika kita tidak memiliki pemahaman ini, kita cenderung merasa "hilang" atau tidak terhubung dengan apa yang kita saksikan.
Dalam beberapa kasus, pendidikan dan paparan terhadap berbagai bentuk hiburan budaya dapat membantu mengatasi rasa bosan ini. Semakin banyak seseorang terpapar pada budaya lain, semakin besar kemungkinan mereka untuk mengembangkan apresiasi terhadap bentuk-bentuk hiburan yang berbeda. Misalnya, program pertukaran budaya, perjalanan, atau bahkan pendidikan formal tentang seni dan budaya dapat memperluas wawasan seseorang dan membuat mereka lebih terbuka terhadap bentuk-bentuk hiburan yang tidak biasa.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, kebosanan terhadap hiburan dari suku bangsa lain juga bisa menunjukkan kebutuhan untuk mendekati budaya dengan rasa ingin tahu dan keterbukaan. Alih-alih menilai hiburan berdasarkan standar kita sendiri, kita bisa mencoba untuk melihat dari perspektif budaya yang bersangkutan. Victor Turner dalam bukunya *The Anthropology of Performance* menyebutkan pentingnya "pendekatan partisipatoris" dalam memahami budaya lain, yaitu dengan benar-benar melibatkan diri dan mencoba memahami makna-makna yang ada di balik setiap ekspresi budaya. Dengan cara ini, kita tidak hanya melihat "pertunjukan", tetapi juga memahami "kenapa" dan "bagaimana" pertunjukan itu penting bagi masyarakat yang menciptakannya.
Pada akhirnya, pertanyaan tentang kenapa hiburan dari suku bangsa lain terasa membosankan adalah pertanyaan yang mengajak kita untuk merenung lebih jauh tentang cara kita memahami dan menghargai keberagaman budaya. Kebosanan mungkin adalah respons awal yang alami ketika kita dihadapkan pada sesuatu yang tidak kita kenali atau pahami. Namun, melalui upaya untuk lebih memahami dan menghargai keanekaragaman budaya, kita dapat belajar untuk melihat nilai dan keindahan dalam berbagai bentuk hiburan yang berbeda, bahkan yang berasal dari suku bangsa lain. Dengan demikian, kita tidak hanya memperkaya pengalaman kita sendiri, tetapi juga menunjukkan penghargaan terhadap kekayaan budaya yang ada di dunia ini.
ADVERTISEMENT