Konten dari Pengguna

Kenapa Progres Pembangunan Jalan Tol di Sumatera Barat Lambat?

Afrida
Dosen Departemen Antropologi Universitas Andalas
6 September 2024 14:27 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afrida tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Jalan Tol di Malam Hari (Sumber: Unsplash.com/kimi lee
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Jalan Tol di Malam Hari (Sumber: Unsplash.com/kimi lee
ADVERTISEMENT
Pembangunan infrastruktur, khususnya jalan tol, merupakan salah satu elemen kunci dalam meningkatkan konektivitas antarwilayah, mempercepat distribusi barang dan jasa, serta memacu pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, pembangunan jalan tol di Pulau Jawa telah menunjukkan dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, di luar Pulau Jawa, termasuk Sumatera Barat, kemajuan pembangunan jalan tol berjalan lambat. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: mengapa progres pembangunan jalan tol di Sumatera Barat lambat?
ADVERTISEMENT
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa menggunakan pendekatan antropologi. Ilmu antropologi memberikan kita lensa yang lebih luas untuk melihat fenomena ini dari perspektif sosial, budaya, dan lokalitas. Melalui analisis antropologis, kita dapat menggali lebih dalam permasalahan yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya masyarakat, relasi kuasa, struktur sosial, serta dampaknya terhadap pembangunan infrastruktur seperti jalan tol.
Sumatera Barat dikenal sebagai daerah yang masyarakatnya masih sangat memegang teguh adat istiadat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau memiliki sistem kekerabatan matrilineal, di mana garis keturunan diambil dari pihak ibu, dan tanah ulayat (tanah adat) menjadi salah satu elemen penting dalam tatanan sosial dan budaya mereka. Tanah ulayat bukan hanya aset ekonomi, tetapi juga memiliki makna simbolis sebagai identitas kultural dan komunitas.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks pembangunan jalan tol, salah satu kendala utama yang sering dihadapi adalah terkait dengan tanah. Di Sumatera Barat, tanah tidak hanya dimiliki oleh individu, tetapi sering kali dimiliki secara kolektif oleh kaum (kelompok kekerabatan). Pengambilan keputusan terkait penggunaan tanah ulayat membutuhkan persetujuan dari banyak pihak dalam kaum tersebut. Proses pengambilan keputusan ini bisa sangat lama dan rumit, karena tanah dianggap sebagai warisan nenek moyang yang harus dijaga dan dipertahankan.
Dalam perspektif antropologi, tanah ulayat adalah bagian integral dari identitas budaya dan sosial masyarakat Minangkabau. Tanah tidak hanya dilihat sebagai sumber daya ekonomi, tetapi juga sebagai bagian dari jati diri mereka sebagai masyarakat adat. Kehilangan atau perubahan fungsi tanah ulayat sering kali dianggap sebagai ancaman terhadap identitas dan keberlanjutan komunitas.
Dua Ruas Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS), Jalan Tol Ruas Padang - Sicincin di Provinsi Sumatra Barat dan Tol Ruas Sigli-Banda Aceh Seksi I Padang Tidji - Seulimum di Provinsi Aceh. Foto: Hutama Karya
Ketika pemerintah atau pengembang swasta berusaha membebaskan tanah untuk pembangunan jalan tol, proses tersebut sering kali menghadapi resistensi dari masyarakat lokal. Resistensi ini bukan semata-mata karena masyarakat tidak ingin ada pembangunan, tetapi lebih karena adanya ketakutan bahwa tanah yang selama ini menjadi simbol keberadaan dan kekuatan komunitas akan hilang atau beralih fungsi menjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai adat.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus pembangunan jalan tol, proses pembebasan lahan sering kali memicu perdebatan yang panjang antara masyarakat adat, pemerintah, dan pengembang. Sering kali, konflik kepentingan ini tidak hanya melibatkan persoalan ekonomi, tetapi juga persoalan identitas dan keberlanjutan budaya.
Dalam masyarakat Minangkabau, pepatah dan petitih merupakan bagian penting dari kebijaksanaan lokal yang diwariskan turun-temurun. Pepatah-petitih ini tidak hanya berfungsi sebagai nasihat atau panduan hidup, tetapi juga merefleksikan cara masyarakat memandang dan menafsirkan realitas sosial-budaya mereka. Salah satu pepatah yang sering dihubungkan dengan tanah ulayat adalah Tanah adat tidak hilang di makan zaman. Pepatah ini memiliki makna mendalam dalam konteks hubungan masyarakat Minangkabau dengan tanah mereka, terutama dalam menghadapi perubahan sosial, ekonomi, dan modernisasi seperti pembangunan jalan tol.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Minangkabau memiliki konsep bahwa tanah adat bukanlah milik individu atau keluarga inti, melainkan milik kaum atau suku yang diwariskan dari nenek moyang. Oleh karena itu, setiap keputusan yang terkait dengan tanah ulayat harus melalui proses musyawarah dengan seluruh anggota kaum, dan setiap keputusan harus sejalan dengan prinsip-prinsip adat.
Dalam konteks pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, pepatah ini sering kali menjadi landasan penolakan terhadap pembebasan tanah ulayat. Masyarakat merasa bahwa dengan menyerahkan tanah ulayat, mereka kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada uang, yaitu warisan budaya yang mengikat komunitas.
Dari perspektif antropologi, pepatah ini mencerminkan pandangan dunia (worldview) masyarakat Minangkabau yang memandang tanah ulayat sebagai sesuatu yang sakral dan tidak dapat dipisahkan dari identitas komunitas. Konsep tanah dalam budaya Minangkabau tidak hanya bersifat material, tetapi juga spiritual dan simbolis.
ADVERTISEMENT
Pepatah ini mengungkapkan kepercayaan bahwa tanah ulayat memiliki "jiwa" yang hidup, yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan komunitas. Dengan demikian, tanah ulayat adalah semacam jaminan keberlanjutan komunitas, yang tidak boleh dijual atau diambil alih oleh pihak luar tanpa memperhitungkan nilai-nilai adat dan kepentingan komunitas.
Dua Ruas Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS), Jalan Tol Ruas Padang - Sicincin di Provinsi Sumatra Barat dan Tol Ruas Sigli-Banda Aceh Seksi I Padang Tidji - Seulimum di Provinsi Aceh. Foto: Hutama Karya
Pepatah ini juga menunjukkan adanya resistensi terhadap proses modernisasi yang sering kali dianggap mengancam nilai-nilai tradisional. Masyarakat adat Minangkabau sering kali memandang modernisasi sebagai sesuatu yang membawa perubahan cepat, tetapi tidak selalu menghargai atau mempertimbangkan warisan lokal. Dalam banyak kasus, proyek-proyek pembangunan besar dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan adat, terutama karena tanah ulayat dianggap sebagai bagian dari kekuasaan komunitas yang harus dijaga.
Ketika dikaitkan dengan pembangunan jalan tol di Sumatera Barat, pepatah ini mengungkapkan dilema besar yang dihadapi masyarakat adat. Di satu sisi, mereka memahami bahwa pembangunan jalan tol dapat membawa manfaat ekonomi, seperti meningkatkan konektivitas, mempercepat distribusi barang, dan membuka akses ke wilayah yang lebih luas. Namun, di sisi lain, mereka juga menyadari bahwa pembangunan tersebut berpotensi mengorbankan tanah ulayat, yang merupakan simbol keberlanjutan budaya dan komunitas mereka.
ADVERTISEMENT
Dalam banyak kasus, masyarakat adat yang menolak pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol sering kali menggunakan pepatah ini sebagai dasar moral dan kultural untuk mempertahankan tanah mereka. Mereka berargumen bahwa meskipun pembangunan infrastruktur dapat membawa kemajuan, kehilangan tanah ulayat berarti kehilangan sebagian dari jati diri mereka. Tanah ulayat adalah bagian integral dari struktur sosial mereka, di mana setiap individu dan kelompok dalam masyarakat Minangkabau memiliki hubungan yang erat dengan tanah.
Proses negosiasi yang terkait dengan pembebasan lahan sering kali rumit karena tanah ulayat tidak dapat diperlakukan seperti tanah pribadi. Setiap tanah ulayat melibatkan banyak pihak dalam satu kaum, dan keputusan yang diambil harus mencerminkan kesepakatan kolektif.
Tidak jarang, konflik antar-anggota kaum muncul ketika sebagian ingin mempertahankan tanah ulayat sementara yang lain melihat potensi keuntungan ekonomi dari proyek pembangunan. Di sinilah pepatah "Tanah adat tidak hilang di makan zaman" menjadi pedoman bagi sebagian besar masyarakat untuk menahan godaan ekonomi jangka pendek demi menjaga warisan leluhur.
Dua Ruas Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS), Jalan Tol Ruas Padang - Sicincin di Provinsi Sumatra Barat dan Tol Ruas Sigli-Banda Aceh Seksi I Padang Tidji - Seulimum di Provinsi Aceh. Foto: Hutama Karya
Dalam konteks pembangunan jalan tol di Sumatera Barat, pepatah ini mengingatkan kita bahwa pembangunan yang berkelanjutan haruslah mempertimbangkan bukan hanya aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial-budaya lokal. Pembangunan yang mengabaikan adat dan nilai-nilai budaya lokal berpotensi menimbulkan resistensi dan konflik sosial yang berkepanjangan. Masyarakat Minangkabau, melalui pepatah-petitih mereka, mengajarkan bahwa modernisasi tidak boleh mengorbankan keberlanjutan identitas komunitas. Pembangunan yang ideal haruslah mampu menjembatani kepentingan ekonomi dan penghormatan terhadap adat.
ADVERTISEMENT
Pepatah ini juga menggarisbawahi pentingnya dialog yang lebih inklusif dalam proses pembangunan. Pemerintah dan pengembang harus mengakui bahwa masyarakat adat memiliki cara pandang yang berbeda terhadap tanah, pembangunan, dan kemajuan. Dialog yang melibatkan para pemangku adat, tokoh masyarakat, dan anggota kaum sangat penting untuk mencapai kesepakatan yang adil dan berkelanjutan. Pembangunan jalan tol tidak harus selalu bertentangan dengan nilai-nilai adat, asalkan prosesnya menghormati prinsip-prinsip yang telah lama dianut oleh masyarakat lokal.
Selain persoalan tanah ulayat, lambatnya progres pembangunan jalan tol di Sumatera Barat juga bisa dijelaskan melalui analisis relasi kuasa. Dalam banyak kasus pembangunan infrastruktur di Indonesia, proses pengambilan keputusan sering kali didominasi oleh elite politik dan ekonomi, sementara kepentingan masyarakat lokal tidak selalu terakomodasi dengan baik. Hal ini juga terjadi di Sumatera Barat, di mana proyek-proyek pembangunan besar sering kali ditentukan oleh pihak luar tanpa konsultasi yang memadai dengan masyarakat lokal.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks antropologi politik, relasi kuasa antara pemerintah, pengembang, dan masyarakat lokal dapat menciptakan ketegangan. Pemerintah sering kali berargumen bahwa pembangunan jalan tol diperlukan untuk meningkatkan konektivitas dan perekonomian daerah, sementara masyarakat lokal mungkin merasa terpinggirkan atau tidak mendapat manfaat langsung dari pembangunan tersebut.
Selain itu, terdapat kompleksitas kepentingan lokal di antara berbagai kelompok di Sumatera Barat. Masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan mungkin memiliki pandangan yang berbeda dengan masyarakat di kota-kota besar seperti Padang, terkait dengan pembangunan jalan tol.
Masyarakat pedesaan, yang lebih bergantung pada pertanian dan lahan, mungkin lebih khawatir kehilangan akses ke tanah mereka, sementara masyarakat kota yang lebih terhubung dengan aktivitas ekonomi modern mungkin lebih mendukung pembangunan jalan tol karena mereka melihat manfaat ekonomi yang lebih langsung.
ADVERTISEMENT
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisis pembangunan jalan tol di Sumatera Barat adalah melalui perspektif antropologi pembangunan. Pendekatan ini menekankan pentingnya melihat pembangunan dari perspektif masyarakat lokal, bukan hanya dari sudut pandang pemerintah atau pengembang. Pembangunan sering kali dianggap sebagai proses linear yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga hasil, tetapi dalam kenyataannya, pembangunan selalu melibatkan negosiasi, konflik, dan adaptasi terhadap konteks sosial-budaya setempat.
Dalam perspektif ini, pembangunan jalan tol bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga soal bagaimana masyarakat lokal merespons dan berinteraksi dengan proses pembangunan tersebut. Bagaimana masyarakat menegosiasikan identitas mereka, tanah mereka, dan posisi mereka dalam konteks pembangunan yang sering kali didominasi oleh kepentingan nasional dan kapitalis?
ADVERTISEMENT
Banyak proyek pembangunan di daerah yang kaya akan adat istiadat seperti Sumatera Barat sering kali menghadapi benturan antara adat dan modernitas. Pembangunan jalan tol dianggap sebagai simbol modernisasi dan kemajuan, sementara masyarakat adat sering kali dianggap sebagai penghalang karena dianggap mempertahankan tradisi yang tidak relevan lagi dalam konteks modern.
Namun, antropologi mengajarkan kita untuk tidak melihat modernitas dan adat sebagai dua kutub yang saling bertentangan. Dalam banyak kasus, masyarakat adat memiliki cara tersendiri untuk menavigasi antara dua dunia ini. Mereka mungkin menolak aspek-aspek tertentu dari pembangunan, tetapi mereka juga dapat mengadopsi dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi, asalkan perubahan tersebut menghormati nilai-nilai dasar mereka.
Dalam konteks pembangunan jalan tol di Sumatera Barat, penting untuk mencari jalan tengah antara kepentingan pembangunan dan penghormatan terhadap adat dan budaya lokal. Proses negosiasi yang inklusif, di mana masyarakat adat dilibatkan secara aktif dalam pengambilan keputusan, dapat membantu meminimalkan resistensi dan memastikan bahwa pembangunan jalan tol tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi juga membawa manfaat bagi masyarakat lokal.
ADVERTISEMENT
Lambatnya progres pembangunan jalan tol di Sumatera Barat tidak dapat dilihat semata-mata sebagai masalah teknis atau ekonomi. Persoalan ini terkait erat dengan dinamika sosial-budaya, khususnya dalam hal tanah ulayat, relasi kuasa, dan bagaimana masyarakat adat merespons proses pembangunan yang sering kali dianggap mengancam identitas dan keberlanjutan komunitas mereka.
Pendekatan antropologi memberikan kita pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana pembangunan tidak hanya soal infrastruktur, tetapi juga soal manusia, identitas, dan negosiasi antara tradisi dan modernitas. Untuk mempercepat pembangunan jalan tol di Sumatera Barat, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif, di mana masyarakat lokal dilibatkan secara aktif, dan nilai-nilai adat mereka dihormati dalam setiap tahap pembangunan.