Konten dari Pengguna

Marriage is Scary? Sebuah Tinjauan Kritis!

Afrida
Dosen Departemen Antropologi Universitas Andalas
7 September 2024 11:54 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Afrida tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi KDRT. (Sumber: Pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KDRT. (Sumber: Pixabay.com)
ADVERTISEMENT
Pernikahan adalah institusi sosial yang telah berlangsung sejak zaman kuno dan memainkan peran penting dalam kehidupan individu serta masyarakat. Namun, di era modern ini, pernikahan kerap kali dianggap menakutkan oleh sebagian orang. Pertanyaan seperti, “Apakah pernikahan masih relevan?” atau “Mengapa banyak orang takut untuk menikah?” menjadi semakin sering terdengar. Kekhawatiran terhadap pernikahan, baik dari segi komitmen jangka panjang, beban finansial, hingga ketakutan akan kegagalan rumah tangga, menjadi wacana yang sering diperbincangkan. Dalam esai ini, kita akan meninjau alasan mengapa pernikahan sering dianggap menakutkan, mengkaji bagaimana pernikahan berkembang dalam konteks sosial, ekonomi, dan psikologis, serta mempertimbangkan apakah rasa takut terhadap pernikahan itu benar-benar berdasar.
ADVERTISEMENT
Salah satu alasan utama mengapa pernikahan dianggap menakutkan adalah karena komitmen jangka panjang yang terlibat di dalamnya. Pernikahan bukan hanya sekadar formalitas hukum atau upacara adat; ia merupakan kontrak sosial dan emosional yang mengikat dua individu untuk hidup bersama dalam jangka panjang, seringkali seumur hidup. Komitmen ini mencakup tanggung jawab emosional, finansial, bahkan moral terhadap pasangan.
Di era di mana kemandirian dan kebebasan individu dihargai, komitmen semacam ini mungkin terasa berat. Banyak orang modern merasa bahwa berkomitmen untuk hidup bersama seseorang "selamanya" adalah hal yang tidak realistis, mengingat betapa dinamisnya kehidupan dan perubahan yang terjadi dalam diri seseorang seiring waktu. Ketakutan akan kehilangan kebebasan, takut akan perubahan diri atau pasangan, serta kemungkinan terjebak dalam hubungan yang tidak lagi sehat adalah beberapa faktor yang membuat pernikahan dianggap menakutkan.
ADVERTISEMENT
Namun, komitmen dalam pernikahan juga dapat dilihat dari sudut pandang yang positif. Banyak penelitian menunjukkan bahwa pernikahan yang sehat dan stabil memberikan dukungan emosional dan mental yang signifikan bagi individu. Dalam pernikahan yang sehat, pasangan saling mendukung satu sama lain dalam menghadapi tantangan hidup, baik secara emosional, finansial, maupun sosial. Jadi, ketakutan terhadap komitmen ini sebenarnya lebih berkaitan dengan ketakutan terhadap ketidakpastian dan perubahan, daripada pernikahan itu sendiri.
Ketika membicarakan pernikahan, salah satu aspek yang sering dianggap menakutkan adalah beban finansial yang menyertainya. Mulai dari biaya pernikahan itu sendiri, tanggung jawab keuangan sehari-hari, hingga perencanaan masa depan seperti memiliki anak, rumah, dan pendidikan, semua ini menambah tekanan yang dirasakan oleh calon pasangan suami istri. Dalam masyarakat modern yang kompetitif, di mana harga properti, pendidikan, dan kebutuhan hidup terus meningkat, kekhawatiran tentang keuangan sering kali menjadi salah satu penghalang utama bagi seseorang untuk melangkah ke jenjang pernikahan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pasangan juga harus mempertimbangkan bagaimana mereka mengelola keuangan bersama, yang seringkali menjadi sumber konflik dalam rumah tangga. Perbedaan pandangan tentang bagaimana uang harus dihabiskan atau diinvestasikan bisa menimbulkan gesekan, bahkan dalam hubungan yang harmonis. Dalam beberapa kasus, ketidakmampuan untuk mengelola keuangan bersama ini bisa berujung pada perceraian.
Namun, ada juga perspektif lain tentang aspek finansial dalam pernikahan. Jika dikelola dengan baik, pernikahan justru bisa menjadi kemitraan yang membantu memperkuat stabilitas finansial. Dua orang yang bekerja sama dalam mencapai tujuan keuangan dapat saling mendukung, sehingga beban yang terasa berat ketika dipikul sendirian menjadi lebih ringan. Tentu saja, kuncinya terletak pada komunikasi terbuka, perencanaan, dan pengelolaan keuangan yang matang antara kedua belah pihak.
ADVERTISEMENT
Ketakutan terbesar yang seringkali muncul ketika seseorang memikirkan pernikahan adalah kemungkinan kegagalan. Data menunjukkan bahwa angka perceraian di banyak negara, termasuk Indonesia, mengalami peningkatan dalam beberapa dekade terakhir. Fenomena ini membuat banyak orang ragu apakah pernikahan masih menjadi pilihan yang tepat, mengingat kemungkinan besar hubungan tersebut bisa berakhir dengan perceraian.
Perceraian sering kali disertai dengan berbagai konsekuensi emosional, sosial, dan finansial yang signifikan. Rasa sakit akibat perceraian tidak hanya dirasakan oleh pasangan itu sendiri, tetapi juga oleh anak-anak mereka (jika ada), keluarga besar, dan lingkungan sosial mereka. Ketidakpastian ini membuat banyak orang merasa takut untuk menikah, karena risiko kegagalan dianggap terlalu besar.
Namun, penting untuk diingat bahwa kegagalan dalam pernikahan bukanlah sesuatu yang tak terhindarkan. Meskipun tingkat perceraian meningkat, ada banyak pasangan yang berhasil mempertahankan hubungan yang sehat dan bahagia. Pernikahan yang berhasil sering kali didasarkan pada komitmen yang kuat, komunikasi yang baik, serta kemampuan untuk bekerja sama dalam menghadapi tantangan hidup. Hal ini menekankan pentingnya persiapan mental dan emosional sebelum memasuki pernikahan, serta pemahaman bahwa pernikahan bukanlah tujuan akhir, melainkan proses yang harus dijalani bersama-sama.
ADVERTISEMENT
Pandangan sosial tentang pernikahan juga mengalami perubahan signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Di masa lalu, pernikahan dianggap sebagai kewajiban sosial yang harus dipenuhi oleh setiap individu, terutama bagi perempuan. Namun, di era modern ini, pandangan tersebut mulai bergeser. Banyak orang, terutama di kalangan generasi muda, melihat pernikahan bukan lagi sebagai keharusan, melainkan pilihan pribadi.
Perubahan ini didorong oleh berbagai faktor, termasuk meningkatnya kemandirian perempuan, perubahan nilai-nilai sosial, serta kemajuan dalam hak-hak individu. Saat ini, orang lebih fokus pada pencapaian pribadi, karier, dan pengembangan diri sebelum memikirkan pernikahan. Fenomena ini memunculkan tren pernikahan di usia yang lebih tua, atau bahkan keputusan untuk tidak menikah sama sekali.
Di sisi lain, tekanan sosial untuk menikah masih ada di banyak komunitas, terutama di negara-negara dengan budaya tradisional yang kuat. Orang yang memilih untuk tidak menikah sering kali dianggap sebagai “abnormal” atau “egois”. Hal ini menciptakan konflik antara keinginan pribadi untuk hidup mandiri dengan tekanan sosial untuk menikah dan membentuk keluarga.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif psikologis, ketakutan terhadap pernikahan sering kali terkait dengan masalah kepercayaan dan trauma masa lalu. Seseorang yang pernah mengalami hubungan yang buruk atau berasal dari keluarga yang mengalami perceraian mungkin memiliki pandangan yang negatif tentang pernikahan. Ketakutan akan pengkhianatan, kehilangan, atau rasa sakit emosional dapat menghambat keinginan untuk menikah.

Pengaruh Sosial Media

Di era digital yang semakin canggih ini, media sosial telah menjadi salah satu alat paling kuat dalam membentuk pandangan masyarakat terhadap berbagai isu, termasuk tentang pernikahan dan kehidupan keluarga. Banyak orang menggunakan platform seperti Instagram, Facebook, TikTok, dan YouTube untuk berbagi momen kehidupan mereka, mulai dari kebahagiaan hingga kesedihan. Namun, ada fenomena menarik yang terjadi: narasi tentang ketidakharmonisan, konflik rumah tangga, hingga perceraian sering kali lebih menonjol daripada cerita-cerita mengenai kehidupan keluarga yang harmonis dan bahagia. Padahal, jika dilihat secara statistik, keluarga yang hidup harmonis jauh lebih banyak dibandingkan mereka yang mengalami masalah serius. Dalam pembahasan ini, kita akan menganalisis bagaimana media sosial memperkuat narasi negatif tersebut dan apa dampaknya bagi persepsi publik tentang pernikahan dan keluarga.
ADVERTISEMENT
Salah satu alasan utama mengapa cerita tentang keluarga yang tidak harmonis sering mendominasi media sosial adalah karena konten negatif memiliki daya tarik tersendiri. Di dunia digital yang dipenuhi dengan konten yang terus berubah, perhatian adalah mata uang yang paling berharga. Pengguna media sosial cenderung lebih tertarik pada cerita yang menimbulkan emosi yang kuat, seperti kemarahan, kesedihan, atau ketidaksetujuan, daripada cerita-cerita yang bersifat biasa-biasa saja atau “normal.” Konflik, drama, dan perselisihan keluarga cenderung menimbulkan reaksi emosional yang lebih mendalam dibandingkan kebahagiaan sehari-hari yang terkesan "datar."
Fenomena ini juga didorong oleh algoritma media sosial, yang sering kali memprioritaskan konten yang mendapatkan lebih banyak interaksi. Postingan tentang perceraian, perselingkuhan, atau konflik dalam keluarga cenderung memicu komentar, like, dan share lebih banyak daripada postingan tentang kehidupan keluarga yang harmonis. Akibatnya, konten semacam itu lebih sering muncul di linimasa pengguna, memperkuat narasi bahwa pernikahan atau keluarga cenderung bermasalah.
ADVERTISEMENT
Ketertarikan ini juga diperkuat oleh konsep **schadenfreude**, yaitu kesenangan yang dirasakan ketika melihat orang lain menderita atau mengalami masalah. Meskipun ini mungkin tampak tidak etis, kenyataannya, banyak orang merasa lega atau lebih baik tentang diri mereka sendiri ketika melihat bahwa orang lain, termasuk selebritas atau influencer yang tampaknya “sempurna,” juga mengalami masalah dalam kehidupan pribadi mereka.
Ilustrasi Keluarga Harmonis (Sumber: BaLL LunLa/Shutterstock.com)
Tidak bisa dipungkiri bahwa media sosial adalah ruang yang sering kali menyajikan gambaran yang tidak seimbang tentang kehidupan nyata. Meskipun lebih banyak keluarga yang sebenarnya hidup harmonis, hanya sedikit yang merasa perlu untuk memamerkan kebahagiaan mereka secara terus-menerus di media sosial. Kebahagiaan yang tenang dan konsisten dalam hubungan sering kali dianggap sebagai sesuatu yang pribadi dan tidak perlu dipublikasikan. Di sisi lain, mereka yang mengalami masalah dalam pernikahan atau keluarga mungkin merasa lebih terdorong untuk berbagi pengalaman mereka, baik untuk mendapatkan simpati, dukungan, atau sekadar melepaskan emosi.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus ini, media sosial menjadi cermin yang memantulkan masalah-masalah keluarga, tetapi bukan representasi akurat dari kehidupan pernikahan secara keseluruhan. Kita lebih sering melihat cerita-cerita tentang keluarga yang bermasalah karena mereka lebih sering dibagikan dan dibicarakan, sementara kehidupan keluarga yang bahagia, meskipun jauh lebih umum, cenderung tenggelam dalam kebisingan digital.
Lebih jauh lagi, media sosial cenderung menyoroti pengalaman individu yang ekstrem. Ini bukan berarti bahwa masalah keluarga yang dibagikan di media sosial tidak nyata, tetapi sering kali masalah tersebut diangkat dengan cara yang lebih dramatis atau berlebihan untuk menarik perhatian lebih banyak orang. Hal ini dapat menciptakan distorsi persepsi tentang seberapa umum masalah-masalah tersebut terjadi dalam pernikahan dan keluarga pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Dampak dari dominasi narasi negatif di media sosial terhadap persepsi publik tentang pernikahan dan keluarga tidak bisa diabaikan. Orang yang sering terpapar pada cerita-cerita tentang perceraian, perselingkuhan, dan ketidakharmonisan keluarga mungkin mulai mengembangkan pandangan yang lebih pesimis tentang pernikahan. Mereka mungkin berpikir bahwa pernikahan adalah institusi yang gagal, penuh dengan risiko konflik dan kegagalan. Hal ini bisa membuat seseorang yang belum menikah merasa takut untuk memulai hubungan yang serius atau bahkan menghindari pernikahan sama sekali.
Sebaliknya, orang yang telah menikah mungkin mulai meragukan hubungan mereka sendiri ketika mereka melihat banyaknya cerita tentang pernikahan yang gagal di media sosial. Mereka mungkin mulai membandingkan kehidupan pernikahan mereka dengan cerita-cerita yang mereka lihat online, meskipun perbandingan tersebut sering kali tidak adil atau realistis. Perbandingan semacam ini dapat menciptakan ketidakpuasan dalam hubungan yang sebenarnya baik-baik saja, hanya karena ekspektasi yang tidak realistis atau pengaruh dari cerita negatif yang mereka lihat.
ADVERTISEMENT
Persepsi negatif ini juga bisa memperburuk stigma sosial terhadap perceraian atau ketidakharmonisan keluarga. Orang yang mengalami masalah dalam pernikahan mereka mungkin merasa malu atau takut untuk mencari bantuan, karena mereka merasa bahwa mereka telah "gagal" dalam memenuhi harapan masyarakat tentang pernikahan yang sempurna. Ini bisa menyebabkan masalah dalam hubungan tersebut tidak segera ditangani, yang pada akhirnya dapat memperburuk situasi.
Salah satu pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah mengapa cerita tentang keluarga yang harmonis jarang terlihat di media sosial, padahal secara statistik, mereka jauh lebih banyak? Ada beberapa alasan yang bisa menjelaskan fenomena ini.
Pertama, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kebahagiaan dalam hubungan sering kali dianggap sebagai hal yang bersifat pribadi. Banyak pasangan yang hidup bahagia tidak merasa perlu untuk mempublikasikan kehidupan rumah tangga mereka ke publik. Mereka mungkin melihat kebahagiaan mereka sebagai sesuatu yang internal dan tidak perlu diumbar. Selain itu, kebahagiaan yang konsisten sering kali tidak menarik perhatian seperti halnya konflik atau drama. Dalam konteks media sosial, "tidak ada berita" sering kali dianggap sebagai "berita baik," dan karena itu, cerita tentang kebahagiaan cenderung kurang menonjol.
ADVERTISEMENT
Kedua, ada anggapan bahwa membagikan kebahagiaan secara berlebihan di media sosial dapat dianggap sombong atau pamer. Banyak orang yang hidup harmonis mungkin khawatir bahwa memamerkan kehidupan keluarga mereka yang bahagia dapat memicu kecemburuan atau kritik dari orang lain. Mereka mungkin takut dianggap tidak sensitif terhadap mereka yang sedang mengalami masalah dalam kehidupan rumah tangga mereka. Oleh karena itu, banyak orang memilih untuk menjaga kebahagiaan mereka tetap pribadi, daripada mempublikasikannya secara terbuka di media sosial.
Namun, hal ini menimbulkan tantangan tersendiri, yaitu ketidakseimbangan representasi di media sosial. Dengan lebih sedikit cerita tentang keluarga yang harmonis, narasi tentang pernikahan yang sukses dan bahagia semakin tenggelam. Ini memperkuat persepsi bahwa masalah dalam pernikahan jauh lebih umum daripada yang sebenarnya terjadi, padahal banyak keluarga yang berhasil membangun kehidupan rumah tangga yang bahagia dan memuaskan.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi ketidakseimbangan ini, ada beberapa langkah yang dapat diambil oleh pengguna media sosial dan platform itu sendiri. Sebagai pengguna, penting untuk menyadari bahwa apa yang kita lihat di media sosial hanyalah sepotong kecil dari kehidupan nyata. Narasi negatif yang mendominasi mungkin hanya mencerminkan sebagian kecil pengalaman, dan tidak mewakili seluruh gambaran tentang pernikahan atau keluarga.
Pengguna juga bisa berperan aktif dalam menciptakan narasi yang lebih seimbang dengan berbagi cerita positif tentang kehidupan keluarga mereka. Ini bukan berarti memamerkan kebahagiaan, tetapi lebih kepada memberikan representasi yang lebih realistis tentang bagaimana pernikahan dan keluarga bekerja. Kebahagiaan dalam hubungan bukanlah sesuatu yang sempurna dan tanpa masalah, tetapi sesuatu yang dibangun melalui kerja sama, pengertian, dan komitmen. Dengan berbagi pengalaman tentang bagaimana mereka mengatasi tantangan dan tetap bahagia, pengguna media sosial dapat membantu mematahkan narasi negatif yang terlalu mendominasi.
ADVERTISEMENT
Platform media sosial juga memiliki tanggung jawab dalam hal ini. Mereka bisa memodifikasi algoritma mereka untuk tidak hanya memprioritaskan konten yang paling menarik secara emosional, tetapi juga konten yang memberikan perspektif yang lebih seimbang tentang kehidupan pernikahan dan keluarga. Misalnya, dengan lebih mempromosikan cerita-cerita yang memberikan inspirasi positif tentang keluarga dan hubungan yang berhasil.
Media sosial memiliki peran yang besar dalam membentuk persepsi publik tentang pernikahan dan keluarga, dan sayangnya, narasi tentang ketidakharmonisan sering kali lebih mendominasi daripada narasi tentang kebahagiaan. Ini disebabkan oleh daya tarik konten negatif, yang sering kali mendapatkan lebih banyak perhatian dan interaksi di platform digital. Meskipun demikian, kenyataannya, lebih banyak keluarga yang hidup harmonis dan
ADVERTISEMENT
Pernikahan memang bisa tampak menakutkan bagi banyak orang, terutama ketika mempertimbangkan kompleksitas komitmen, tantangan finansial, ketidakpastian masa depan, serta perubahan pandangan sosial tentang pernikahan. Namun, penting untuk diingat bahwa pernikahan, seperti halnya institusi sosial lainnya, bukanlah satu ukuran yang pas untuk semua orang. Ketakutan terhadap pernikahan sering kali berakar dari ketidakpastian dan trauma masa lalu, serta tekanan sosial yang tidak selalu mencerminkan keinginan pribadi.
Pada akhirnya, pernikahan adalah pilihan pribadi yang harus didasarkan pada kesiapan emosional, mental, dan finansial. Bagi mereka yang memilih untuk menikah, persiapan yang matang serta pemahaman tentang apa yang diperlukan untuk menjaga hubungan yang sehat dapat membantu mengurangi ketakutan yang ada. Sebaliknya, bagi mereka yang memilih untuk tidak menikah, pilihan tersebut juga sah dan seharusnya tidak dipandang sebagai keputusan yang "salah" atau "menyimpang". Yang paling penting adalah setiap individu merasa puas dan bahagia dengan keputusan yang diambil, terlepas dari apakah mereka memutuskan untuk menikah atau tidak.
ADVERTISEMENT