news-card-video
29 Ramadhan 1446 HSabtu, 29 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Dari GPK, KKB, ke Teroris: Status Kelompok Bersenjata di Papua & Konsekuensinya

Agaton Kenshanahan
Jurnalis Liputan Khusus kumparan
21 Februari 2023 8:39 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agaton Kenshanahan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi TNI buru KKB Papua. Dok. Pupspen TNI
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi TNI buru KKB Papua. Dok. Pupspen TNI
ADVERTISEMENT
Kelompok bersenjata pro kemerdekaan di Papua punya banyak status atau sebutan di Indonesia. Para pemangku kepentingan di Indonesia meminta kelompok ini ditindak tegas, akan tetapi ketegasan ini akan bergantung pada status yang disematkan terhadap entitas tersebut dan institusi mana yang menanganinya.
ADVERTISEMENT
Ketegasan sendiri di setiap entitas dan institusi pasti punya makna tersendiri. "Tegas terukur" di institusi Polri, salah satu tafsirnya, bisa bermakna petugas menembak pelaku kriminal. Ketegasan di TNI—yang moncong bedilnya menurut UU diarahkan demi pertahanan dan kedaulatan negara—akan bermakna lain lagi.
Penetapan status kelompok bersenjata pro kemerdekaan di Indonesia juga berganti sepanjang waktu. Mulai era Orde Baru, ia jamak disebut oleh militer dan media massa sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK).
Kelompok bersenjata itu kemudian bersalin rupa statusnya menjadi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), penetapan KKB diakui sejak Jenderal Pol Tito Karnavian menjabat Kapolda Papua 2012-2014.
Ketum PBSI, Wiranto, saat memberikan pidato di Munas PBSI. Foto: Media PBSI
Pada 2017, Menko Polhukam, Wiranto, menetapkan KKB sebagai Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB). Kata separatis disematkan lantaran dalam kegiatannya kelompok ini menghendaki pemisahan diri dari NKRI. Ini, menurut Wiranto, melegitimasi keterlibatan TNI dalam penanganan kelompok itu.
ADVERTISEMENT
Teranyar, status KKB atau KKSB berubah lagi pada 2021 setelah Menko Polhukam Mahfud MD menetapkannya sebagai teroris. Pemerintah Indonesia menindak KKB dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif dan bertujuan untuk menimbulkan rasa takut (teror) akan ditindak sesuai Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018.
Perubahan status-status kelompok bersenjata ini secara politis memiliki konsekuensi-konsekuensi berbeda dalam penanganannya. Baik itu konsekuensi menguntungkan maupun merugikan Indonesia dan KKB itu sendiri.

GPK dan Konsekuensinya

Ilustrasi TNI Angkatan Darat. Foto: Shutter Stock
Istilah GPK mengemuka, misalnya, saat Indonesia menangani penyanderaan 26 anggota Ekspedisi Lorentz '95 oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Kelly Kwalik pada 1996.
Kala itu, TNI-Polri masih menjadi satu entitas tunggal yang belum dipisahkan tupoksinya. Dan pembebasan sandera, setelah jalan negosiasi gagal, dilakukan dengan operasi militer oleh Kopassus.
ADVERTISEMENT
Tak ada definisi pasti yang dilontarkan institusi resmi terkait GPK ketika itu. Menilik istilahnya, ini merujuk pada kelompok yang bertujuan untuk mengacaukan keamanan dalam berbangsa dan bernegara. GPK juga disebut sebagai gerombolan (bersenjata) kala itu.
Istilah GPK digunakan agaknya untuk mengaburkan dan menihilkan tujuan aktivitas OPM sebagai kelompok bersenjata pro kemerdekaan. Penggunaan istilah gerombolan juga mengindikasikan bahwa penyanderaan, kekacauan, dan tuntutan politik yang dilakukan kelompok ini tidak terorganisir, serta hanya melibatkan segelintir kecil orang saja, bukan mewakili masyarakat Papua secara umum.
Meski demikian, istilah GPK yang punya makna luas dan multitafsir itu, bukannya tanpa konsekuensi lain. Dengan istilah itu, maka bukan tidak mungkin mereka yang 'dianggap' mengacaukan keamanan negara seraya mengganggu ketertiban bisa dianggap GPK dan ditumpas militer.
ADVERTISEMENT
Tanpa dasar hukum yuridis yang jelas, penentuan status GPK bisa disematkan ke siapa saja dan bisa jadi penanganannya melebihi apa yang dilakukan pihak tersebut.

KKB dan Konsekuensinya

Tim gabungan TNI-Polri bebaskan 15 orang pekerja pembangunan rumah sakit yang sempat disandera KKB di Paro, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan, Rabu (8/2/2023). Foto: Dok. Istimewa
Penetapan kelompok bersenjata di Papua sebagai KKB menunjukkan bahwa kelompok tersebut melakukan kejahatan yang terkait dengan kekerasan bersenjata, tetapi tidak secara langsung mengancam keamanan dan pertahanan nasional.
Penanganan KKB lebih difokuskan pada penegakan hukum dan pengamanan wilayah. Artinya, KKB dianggap setara dengan pelaku kriminal lain seperti pencurian, pemerkosaan, atau pembunuhan. Bedanya, dalam KKB ada motif politis atau separatisme saat melakukan tindak pidana.
Maka ketika status KKB disematkan, penanganan penegakan hukum dan menjaga ketertiban dari mereka yang terlibat kelompok bersenjata pro kemerdekaan di Papua hanya bisa dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). TNI bukanlah instrumen penegak hukum.
ADVERTISEMENT
Tentu berharap Polri menumpas KKB sampai ke akar–dengan wewenang terbatas–adalah sesuatu yang agaknya mustahil. Polisi hanya bisa menindak seseorang yang secara nyata melakukan kekerasan bersenjata sesuai dengan pasal-pasal pidana dan UU.
Tim gabungan TNI-Polri bebaskan 15 orang pekerja pembangunan rumah sakit yang sempat disandera KKB di Paro, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan, Rabu (8/2/2023). Foto: Dok. Istimewa
Sedangkan di sisi lain, KKB sudah terang-terangan menyatakan perang kepada Republik Indonesia.
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, sayap militer OPM, mengeklaim telah mendeklarasikan perang terhadap TNI melalui Revolusi Tahapan sejak 2017 di Yambi, Kabupaten Puncak Jaya. TPNPB menganggap perang sudah dimulai di wilayah Ilaga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Ndugama, Pegunungan Bintang, Maybrat, dan Sorong.
Kepada kumparan, Juru Bicara TPNPB, Sebby Sambom, menyatakan bahwa masyarakat hingga penerbangan sipil dilarang masuk wilayah perang tersebut.
Polri sendiri bukanlah alat perang negara. Maka menempatkan Polri untuk menumpas entitas yang mendeklarasikan perang kepada negara akan berdampak pada penanganan yang terbatas.
ADVERTISEMENT
Pelibatan TNI dalam kasus kriminal secara umum tidak bisa dilakukan karena TNI bukanlah penegak hukum. Kecuali dalam kasus khusus seperti terorisme atau separatisme bersenjata yang bakal dibahas kemudian.

KKSB dan Konsekuensinya

Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) Papua. Foto: Puspen TNI
Menempatkan kelompok bersenjata di Papua sebagai KKSB dapat menimbulkan dua tafsir. Di satu sisi, kelompok ini adalah pihak yang melakukan tindak kriminal. Penanganannya bisa dilakukan oleh kepolisian.
Di sisi lain, dengan status KKSB–dengan titik tekan pada 'S' atau separatis–kelompok bersenjata di Papua mendapat pengakuan bahwa mereka melakukan serangkaian kekerasan untuk pemisahan atau memerdekakan diri (separatisme).
Pengakuan status kelompok bersenjata sebagai separatis membuat TNI bisa dilibatkan dalam operasi mengatasi KKSB. Hal itu berlandaskan UU 34/2004 yang mana mengatasi gerakan separatis dan pemberontakan bersenjata merupakan bagian dari operasi militer selain perang TNI.
ADVERTISEMENT
Penanganan gerakan separatis menggunakan instrumen militer ala TNI boleh jadi punya punya kekuatan yang lebih mumpuni. Meski demikian, penanganan KKSB di Papua bakal berubah orientasi dari sekadar penegakkan hukum, menjadi penumpasan gerakan separatis. Indonesia pun pernah melakukan ini.
KKSB sebarkan foto korbannya yang dibunuh. Foto: Dok. Istimewa
Selama periode 1961-1998, Komnas HAM, mengutip kajian ELSAM, mencatat ada 44 operasi militer dan operasi intelijen di wilayah Papua. Operasi itu dilaksanakan dua tahap: sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dan sesudahnya. Tujuan operasi militer sesudah Pepera ialah mempertahankan Pepera, menyukseskan Pemilu, dan menumpas gerakan OPM.
Meski tercatat belasan operasi melawan OPM sudah dilancarkan, tetapi separatisme di Papua masih ada hingga kini. Operasi-operasi itu pun menyisakan luka sejarah di benak masyarakat Papua.
Dan luka itu diwariskan antar-generasi yang membuat bibit-bibit OPM masih merebak meski sudah berupaya ditumpas. Militer bisa menguasai wilayah secara fisik, tapi tidak dengan hati dan pikiran orang-orang yang tinggal di atasnya.
ADVERTISEMENT
Penggunaan kekuatan militer dalam penanganan kelompok bersenjata di Papua juga rawan bersinggungan dengan pelanggaran HAM. Ketika memburu OPM, operasi militer di masa lampau kerap bersinggungan dengan target-target sipil yang bukan sasaran moncong bedil (kombatan).
Anggota OPM saat menyerahkan diri pada TNI. Foto: Kogabwilhan III
Orang boleh saja menihilkan perkara HAM di saat perang. Tetapi perang adalah kosakata politik yang punya konsekuensi politik ketika dideklarasikan.
Maka ketika Indonesia–melalui militernya–menyatakan perang dengan OPM, ada kaidah-kaidah perang yang wajib ditaati: misalnya hanya menarget kombatan berseragam dan menyerang sesuai asas kepentingan militer (military necessity). Kaidah lengkap soal ini diatur dalam Hukum Humaniter Internasional (HHI) di antaranya Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1997.
Meski demikian, mendeklarasikan perang terhadap OPM membuat entitas itu berpotensi punya daya tawar baru di hadapan komunitas internasional. Deklarasi perang terhadap OPM secara tidak langsung membuat Indonesia mengakui ada konflik dengan karakter non-internasional (perang sipil/saudara), dan OPM adalah salah satu aktor yang diakuinya.
ADVERTISEMENT
Jika milisi OPM dalam perang itu terorganisir di bawah komando yang bertanggung jawab melaksanakan kekuasaan atas suatu wilayah, dan memungkinkan mereka melaksanakan operasi militer secara terus menerus, teratur, serta mengikuti hukum perang, maka potensi ia mendapat status beligerensi semakin tinggi.
Status beligerensi dalam hukum perang secara harfiah dipahami sebagai pihak yang berperang/bersengketa. Meski patokan status tersebut lebih bersifat politis ketimbang yuridis, diakuinya OPM sebagai beligerensi akan membuatnya menjadi subjek hukum internasional.
Dengan menjadi subjek hukum internasional, OPM bisa disejajarkan statusnya dengan aktor negara. Ia memungkinkan punya kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain dan menentukan nasibnya sendiri selayaknya negara berdaulat.
Status OPM saat menjadi subjek hukum internasional bertambah kuat ketika ia mendapatkan dukungan dari masyarakat di wilayahnya dan dukungan komunitas internasional. Ketika Indonesia tak lagi bisa meredam dukungan tersebut, Papua merdeka adalah sebuah keniscayaan.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, alas status OPM sebagai beligerensi saat ini agaknya masih belum bisa diwujudkan. Pasalnya, selain karena minim pengakuan komunitas internasional, milisi OPM masih melakukan hal-hal yang tak memenuhi hukum perang/HHI.
Penyanderaan terhadap pilot Susi Air Captain Philip Mehrtens yang merupakan sipil dan bukan pihak berkonflik adalah contohnya. Penyanderaan terhadap subjek non-kombatan seperti Captain Philip, alih-alih memperkuat daya tawar di meja perundingan, justru membuat OPM sendiri bisa kehilangan landasan menuju status beligerensi dan menurunkan reputasinya sebagai subjek hukum internasional di mata komunitas internasional.

Teroris dan Konsekuensinya

Ilustrasi Teroris Foto: Shutter Stock
Penyematan status teroris bagi kelompok bersenjata di Papua hampir sama konsekuensinya ketika kelompok ini disebut sebagai KKB. Bedanya, status teroris bagi kelompok bersenjata ini merupakan bentuk spesifik dari perilaku kriminal yang mereka buat.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, teroris merupakan tindak pidana yang penanggulangannya berbasis pada criminal justice model atau penegakan hukum. Leading sector penanggulangan terorisme adalah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (perumus kebijakan, koordinasi lembaga, hingga deradikalisasi) dan Kepolisian (penyidikan).
Dalam UU 5/2018, tentara dilibatkan dalam penanganan terorisme sebagai bagian operasi militer selain perang. Namun sejauh mana keterlibatan TNI mengatasi terorisme belum diatur dalam Peraturan Presiden yang menjadi regulasi turunannya. Agaknya alas hukum keterlibatan TNI di Papua untuk menangani terorisme memang masih kabur.
Dengan penegakkan hukum, penanganan teroris di Papua hanya berfokus pada aksi-aksi yang melanggar hukum dan sesuai dengan definisi terorisme yang dilakukan individu atau kelompok. Suatu kelompok atau organisasi juga baru bisa disebut teroris jika sudah ditetapkan sebagai organisasi teroris.
ADVERTISEMENT
Penetapan sebuah organisasi terorisme itu tak bisa serta merta dengan pelabelan sepihak institusi atau lembaga yang berwenang menangani terorisme, melainkan ia harus melalui penetapan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sesuai pasal 27 UU 9/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Manakala seseorang sudah menjadi anggota kelompok yang ditetapkan atau diputuskan pengadilan sebagai organisasi teroris, meski tak secara langsung terlibat aksi terorisme, maka barulah ia dapat dipidana penjara 2-7 tahun sesuai pasal 12A ayat (2) UU 5/2018.
Penetapan kelompok bersenjata sebagai organisasi teroris memiliki konsekuensi penanganan terorisme yang rumit dan berorientasi pada sistem penal terhadap aksi dan kelompok semata.
***
Keempat status tersebut sudah pernah coba disematkan Indonesia dalam penanganan kelompok bersenjata di Papua. Meski demikian, upaya itu belum juga menyelesaikan masalah eksistensi kelompok bersenjata yang menimbulkan ekses kekerasan di Bumi Cenderawasih.
ADVERTISEMENT
Keempat status kelompok bersenjata di Papua yang pernah disematkan pemerintah itu punya satu benang merah yang jika ditarik sama-sama menampakkan satu corak penanganan masalah Papua yang serupa yakni melalui pendekatan keamanan.
Dengan demikian, jika terbukti tak kunjung menyelesaikan akar masalah, sudah saatnya Indonesia mengevaluasi corak pendekatan ini dan mencoba mengambil jalan lain dalam persoalan Papua.