Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Diskontinuitas Radikalisme
3 November 2019 16:15 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Agaton Kenshanahan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Siapa yang saat SD atau di masa kecil pernah mencoba permainan pesan berantai? Itu lho, permainan yang dilakukan dengan berbaris sambil duduk atau berdiri lalu membisikkan pesan tertentu pada teman di depan anda.
ADVERTISEMENT
Pesan itu bisa berupa gabungan beberapa kata atau kalimat. Ia bisa disampaikan dengan bahasa daerah atau Bahasa Indonesia. Bahasa Inggris juga tidak apa-apa, kalau paham. Asalkan bukan bahasa hati yang susah sampainya, eits.
Permainan ini biasa dimainkan dalam tim. Siapa yang paling cepat sampai pesannya di teman yang berbaris paling depan, tim itulah yang menang.
Semakin panjang barisan dalam tim, maka semakin sulit menyampaikan pesannya. Kalau tidak hati-hati, bisa-bisa apa yang disampaikan oleh anggota tim yang berbaris paling depan tak sesuai dengan penyebar pesan pertama kali.
Misalnya begini:
Penyebar pesan: Aku suka kamu wahai sayangku apa adanya
Anggota tim 1: Aku suka kamu wahai sayangku apa adanya
Anggota tim 2: Aku suka sayangku wahai kamu apa adanya
Anggota tim 3: Aku suka sayang kau wahai kamu ada apanya
Anggota tim paling depan: Aku suka sayang kamu walau ada apa-apanya
ADVERTISEMENT
Kalau pesannya tak sinkron seperti itu, kemenangan tim dipastikan gugur. Kalau sudah begini siapa yang mesti disalahkan? Teman setim atau sistem permainannya yang menuntut untuk cepat-cepat membisikkan pesan?
Nyatanya, salah penyampaian yang mengakibatkan perubahan pesan dan makna juga kerap terjadi pada realitas sehari-hari. Misalnya, dalam memahami diskursus radikalisme. Istilah yang marak dibahas belakangan ini, meminjam pisau analisis filsuf Prancis Michel Foucault, sudah mengalami diskontinuitas.
Dalam Archaeology of Knowledge (1969), Foucault memperkenalkan Arkeologi sebagai sebagai sebuah upaya pencarian diskontinuitas (ketidaksinambungan) dalam sejarah berpikir kita (history of ideas).
Metode tersebut berkebalikan dengan metode para sejarawan yang mencari kontinuitas demi melengkapi temuan empiris yang terbatas. Metode sejarah punya kelemahan.
ADVERTISEMENT
Kesinambungan peristiwa atau pemikiran yang dipaksakan oleh sejarawan ini bisa meleset dari hakikat awalnya. Sama seperti main pesan berantai. Kalau Anda hanya sekadar percaya pada teman di belakang yang membisikkan pesan, Anda bisa jadi salah.
Arkeologi berusaha untuk menemukan kesalahan yang tidak diakui oleh metode Sejarah, yakni dengan mencari diskontinuitas. Ibaratnya, di akhir permainan pesan berantai, kita perlu merunut ulang setiap pesan yang diucapkan para pemain. Di sana akan kelihatan siapa saja yang salah menyampaikan pesan dan karena apa faktornya.
Foucault percaya bahwa narasi sejarah selalu mengalami perpindahan dan transformasi yang menyebabkan diskontinuitas. Termasuk bagaimana sejarah mentransformasi sebuah konsep atau istilah. Radikalisme adalah korban diskontinuitas tersebut.
Kalau dirunut awalnya, kata radikal (radix: akar) muncul sebagai sebuah label gerakan sosial-politik revolusioner abad 18. Gerakan itulah yang kita kenal sebagai Revolusi Prancis demi menggulingkan pemerintahan monarki Louis XVI. Gerakan ini mengilhami beberapa gerakan revolusioner lain di Amerika latin, Inggris, dan Eropa kontinental.
ADVERTISEMENT
Pada abad 19, Radikalisme menjadi doktrin politik yang mengilhami gerakan republik dan nasional yang berkomitmen pada kebebasan dan emansipasi individu dan kolektif. Ia diarahkan melawan status quo monarki dan aristokrat.
Berlanjut pada abad 20, radikalisme berkembang menjadi sebuah gerakan pro demokrasi. Tuntutan semacam diadakannya hak pilih perempuan menjadi gagasan arus utama yang dikampanyekan.
Radikalisme yang berkonotasi reformis dalam sejarahnya di belahan dunia lain itu, entah bagaimana, di Indonesia mengalami perubahan makna signifikan. Selain mengarah pada konteks yang khusus (berkenaan dengan terorisme), radikalisme di Indonesia juga terkesan hanya ditujukan pada satu komunitas masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kita bisa menarik narasi, misalnya, dari BNPT yang mengatakan bahwa radikalisme sebagai embrio lahirnya terorisme. Ia adalah suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan dan aksi-aksi ekstrem.
Tak cuma narasi yang bersifat autoritatif dari pemerintah. Narasi yang dibuat pada kajian akademik juga mengindikasikan kalau radikalisme mengarah pada satu komunitas tertentu semata.
ADVERTISEMENT
Dalam bukunya berjudul Explaining Islamist Insurgencies:The Case of al-Jamaah al-Islamiyyah and the Radicalisation of the Poso Conflict, 2000-2007 , Tito Karnavian (Mendagri eks Kapolri) secara eksplisit menggunakan kata "Radikal Islam" untuk merujuk pada objek penelitiannya, Jamaah Islamiyah di Poso.
Mengutip Silber and Bhatt (2007: 16), Tito menyebut garis antara radikalisasi dan terorisme sangat tipis. Radikalisasi merujuk pada proses mengadopsi, memelihara, dan mengembangkan sistem kepercayaan Islam ekstrem yang mencakup keinginan untuk menggunakan, mendukung, atau untuk memfasilitasi kekerasan sebagai metode untuk mempengaruhi perubahan sosial. Katanya, radikalisme adalah prekusor dari terorisme.
Pemaknaan radikalisme yang ada saat ini bergaung terkesan menimbulkan kecurigaan. Ia mengalami diskontinuitas dari sejarah awal kata ini muncul. Maka tak heran kalau Presiden Jokowi sampai mengusulkan istilah baru untuk menggantikannya, yakni Manipulator Agama. Meskipun itu juga menuai perdebatan.
ADVERTISEMENT
Peran media yang menginformasikan narasi radikalisme secara sumir dan tak tuntas bisa jadi berperan dalam diskontinuitas sejarah radikalisme. Namun, peranan pendefinisian dan penggunaan istilah radikalisme yang kurang bijak dari otoritas kekuasaan diduga lebih kuat lagi.
Diskontinuitas istilah radikalisme ini bisa berakhir kalau publik tidak diberi pesan berantai yang palsu. Saatnya otoritas yang berwenang mencari arkeologi istilah ini. Agar tak bias politis dan menimbulkan kegaduhan baru. Apalagi sampai harus mengait-ngaitkannya dengan celana cingkrang dan cadar. Lucu!