Konten dari Pengguna

Kasus 'Ambulans Bawa Batu': Hoaks atau Sebuah Simulakra?

Agaton Kenshanahan
Jurnalis Liputan Khusus kumparan
28 September 2019 23:30 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agaton Kenshanahan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Wartawan mengambil gambar mobil ambulans milik Pemprov DKI Jakarta yang ditahan di Halaman Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (26/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Reno Esnir
zoom-in-whitePerbesar
Wartawan mengambil gambar mobil ambulans milik Pemprov DKI Jakarta yang ditahan di Halaman Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (26/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Reno Esnir
ADVERTISEMENT
Di era digital saat ini, keberadaan media sosial membuat hoaks (kabar bohong) begitu rentan tercipta. Hoaks mampu menciptakan polemik fakta atau bukan fakta dalam sebuah informasi. Tak hanya masyarakat biasa, tapi pegawai pemerintah, jurnalis, hingga aparat bisa menjadi korbannya.
ADVERTISEMENT
Bukan itu saja yang mengkhawatirkan. Informasi yang tersebar di dunia maya juga dapat memfabrikasi apa yang tidak ada menjadi ada, begitu pula sebaliknya. Menciptakan sebuah realitas baru yang dipercaya.
Kasus 'ambulans DKI bawa batu' contohnya. Tudingan sumir yang pertama kali disebarkan akun media sosial Twitter TMC P*lda M*tro J*ya itu ternyata meleset.
Namun, narasi sudah disebar. Ambulans itu dianggap membawa batu dan bensin untuk massa perusuh yang mendompleng demonstran dalam aksi penolakan sejumlah RUU di DPR RI.
Inilah yang dinamakan simulakra, yakni sebuah tiruan tanpa wujud asli realitanya (copy without origin). Manakala istilah yang dipopulerkan filsuf Prancis, Jean Baudrillard, ini benar-benar dipercaya, dalam tahap tertinggi akan memunculkan hiperrealitas.
Hoaks dan simulakra sepintas mirip, tetapi sebenarnya berbeda. Misalnya, Anda tidak sakit, tapi bilang sakit kepada atasan Anda sebagai alasan untuk tidak masuk kerja. Ini adalah hoaks.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, simulakra tak sekadar berkata bohong. Dalam kasus ini, Anda juga akan berusaha menciptakan situasi sakit yang sebenarnya. Tidur di rumah sakit, berselimut menggigil, sambil berpose seperti orang sakit.
Tinggal difoto cekrek, lalu dikirim ke atasan. Bubuhi dengan caption sedang sakit dan imbauan dokter untuk istirahat. Dalam perspektif atasan yang dikirimi foto itu, Anda pasti akan dikira sakit "betulan".
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, dalam simulakra, kondisi sakit itu dibuat untuk menciptakan realitas semu. Realitas (mirip) orang sakit memang ada, tapi gejala sakit sebagai suatu hal yang alamiah itu dipalsukan atau memang palsu sejak awal.
Seperti pada kasus 'ambulans bawa batu' ini. Ambulansnya memang ada, batunya pun disebut ada. Tapi narasi yang diungkap tak mewakili realitas sebenarnya sampai klarifikasi dibuat.
Terciptanya hoaks dan simulakra adalah konsekuensi logis dari kultur siber yang kompleks. Struktur informasi bersilang dan berasal dari berbagai arah membuatnya tak lagi punya kebenaran tunggal.
ADVERTISEMENT
Apalagi, di dunia maya, manusia tak lagi menjadi satu-satunya anggota. Akun robot (bot), buzzer, laman pemerintahan, laman shitposting bertumpuk menjadi representasi masyarakat baru (new society).
Masyarakat baru ini perlu dibekali kemampuan untuk membedakan mana yang hoaks atau bukan dan nyata betulan atau simulakra. Kasus 'ambulans bawa batu' agaknya jadi pelajaran bahwa di dunia maya kebenaran dapat diciptakan hingga dipertukarkan.
Waspadalah!