Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Seberapa Besar Pengaruh Gugatan Genosida Afrika Selatan ke Israel di ICJ?
16 Januari 2024 13:13 WIB
·
waktu baca 7 menitADVERTISEMENT
“Berbagai pemberitaan kita menunjukkan gambaran nyata penderitaan yang tak tertahankan untuk ditonton. Tak ada yang bisa menghentikan penderitaan ini kecuali putusan dari pengadilan ini. Tanpa adanya putusan sela (provisional measure), kekejaman akan terus berlanjut, dan IDF mengindikasikan bahwa mereka bermaksud melakukan tindakan [genosida] ini setidaknya selama setahun lamanya.”
ADVERTISEMENT
Pengacara berusia 30 tahun berbasis di Johannesburg itu menyebut setidaknya empat laku genosida Israel. Pertama, pembunuhan massal rakyat Palestina. Kedua, membuat rakyat Palestina menderita secara mental dan fisik. Ketiga, menyebabkan Gaza tidak layak ditinggali sehingga menyebabkan kehancuran fisik. Keempat, mencegah masuknya bantuan dengan maksud untuk mencegah kelahiran dan berkembangnya populasi rakyat Palestina.
Keempat laku genosida itulah yang kemudian dibantah oleh Israel dengan berdalih bahwa serangan-serangan mereka adalah bentuk pembelaan diri. “Israel sedang berperang mempertahankan diri dari Hamas, bukan melawan rakyat Palestina,” kata perwakilan Israel Tal Becker yang juga penasihat hukum Kemenlu Israel .
ADVERTISEMENT
Gugatan itu masuk sebagai kasus sengketa (contestious case) dalam Mahkamah Internasional (International Court of Justice: ICJ). Meski Afsel bukan korban genosida Israel, benang persengketaan hukum internasional berkelindan karena keduanya sama-sama merupakan para pihak dalam Konvensi Genosida.
Menggunakan dalil pasal 1 konvensi itu, maka para pihak bisa berupaya mencegah dan sepakat menghukum pelaku genosida–walaupun salah satunya bukan korban pihak yang lain. Kasus semacam ini juga memiliki yurisprudensi di antaranya Gambia vs Myanmar (soal Rohingya) atau Ukraina vs Rusia (soal perang kedua negara).
Dapat diakui, Afsel cukup cerdik memanfaatkan Hukum Internasional sebagai instrumen untuk mendobrak impunitas Israel dalam perkara kejahatan genosida. Akan tetapi muncul pertanyaan: Seberapa signifikan langkah ini dalam perspektif Hubungan Internasional (HI)?
ADVERTISEMENT
Tantangan dan Keraguan
Gugatan genosida oleh Afsel menjadi preseden baru dalam menangani permasalahan kemanusiaan di Palestina. Cara ini ditempuh setelah cara-cara sebelumnya tak berhasil menembus impunitas atas agresi membabi-buta dan kolonialisme Israel terhadap Palestina.
Dewan Keamanan PBB kerap gagal membuat resolusi berorientasi kemanusiaan dan perdamaian lantaran veto Amerika Serikat–yang merupakan sekutu Israel. Sementara resolusi Majelis Umum PBB tak memiliki kekuatan memaksa meski dinilai punya tekanan diplomatik untuk DK PBB mengambil keputusan.
Maka ketika langkah Afsel menggugat Israel di ICJ ini diambil, sebagian pihak juga skeptis cara ini bisa mendorong Israel menghentikan kekerasan kolektif terhadap rakyat Palestina. Keraguan itu berdasar sebab ICJ–andaikata memutus sengketa ini dengan memenangkan Afsel–tidak memiliki kekuatan untuk menegakkan putusannya.
ADVERTISEMENT
Berbeda pada pengadilan nasional yang memiliki instrumen penegakkan hukum, kekuatan putusan ICJ bersandar pada komitmen negara masing-masing. Artinya, semua bergantung pada kepatuhan negara tersebut. Dan sudah barang tentu dengan tudingan genosida, Israel tidak akan mematuhi putusan kelak meski kini perwakilannya hadir di persidangan.
Jika situasi tersebut terjadi, prosedur penegakkan putusan dapat dimintakan kepada DK PBB. Tetapi, sebagaimana preseden Nikaragua vs AS (1984) yang memenangkan Nikaragua, AS tidak patuh pada putusan ICJ untuk memberi reparasi negara itu. Nikaragua membawa permasalahan itu di DK PBB dan draft resolusi itu kembali di-veto AS.
Demi Kemanusiaan
Perlu diingat bahwa putusan final ICJ bisa keluar hingga beberapa tahun seperti kasus Bosnia vs Serbia (14 tahun). Dalam jeda waktu yang begitu lama menunggu putusan itu, ada yang dinamakan provisional measure atau putusan sela ICJ untuk menentukan langkah sementara terkait sengketa demi melindungi hak pihak terkait.
ADVERTISEMENT
Dua hearing yang dilakukan 11-12 Januari 2024 lalu ialah untuk menentukan apakah provisional measure itu layak dijatuhkan oleh mahkamah–bukan memutus apakah Israel melakukan tindakan-tindakan genosida sesuai yang dipersengketakan oleh Afsel. Proses yang berlangsung hingga maksimal empat pekan itulah yang diincar sebagai langkah jangka pendek membantu warga Palestina.
Ada 9 poin tuntutan dari Afsel mengenai provisional measure ini, di antaranya Israel mesti dengan segera menunda operasi militer di dan melawan Gaza hingga menghentikan empat jenis tindakan genosida terhadap rakyat Palestina sesuai Konvensi Genosida yang disebut Adila Hassim di atas. Termasuk, Israel dan Afsel juga mesti melakukan segala tindakan yang perlu untuk mencegah genosida terjadi.
Provisional measure diharapkan menjadi terobosan jangka pendek demi kemanusiaan. Jika langkah itu diperintahkan mahkamah, ini bisa menjadi pretext atau justifikasi komunitas internasional terlibat lebih jauh membantu warga Gaza. Sebab, selama ini negara-negara diam karena khawatir ketika turut campur tangan urusan Gaza, mereka dinilai mengintervensi konflik dan menganggu prinsip utama bernegara: menghormati kedaulatan.
ADVERTISEMENT
Walau Israel boleh jadi tidak serta-merta bakal mematuhi provisional measure tersebut, kini komunitas internasional punya alasan moral dengan menyandarkan diri pada putusan hukum (internasional) untuk menekan impunitas Israel. Secara tidak langsung, tuntutan Afsel di ICJ dapat dijadikan moral force dalam tawar menawar diplomatik.
Perspektif realisme dalam HI akan mendebat dengan anggapan bahwa negara sebagai aktor satu-satunya politik dunia tidak bertindak sesuai moral dan aturan. Laku sebuah negara didasarkan pada upaya untuk sintas sebagai entitas pelaku HI. Ia bersifat tamak, doyan perang, dan seperti istilah yang dipopulerkan Thomas Hobbes homo homini lupus–bagai serigala bagi serigala yang lain. Persis laku Israel.
Tetapi, pandangan para konstruktivis mempercayai adanya norma dan aturan dalam pergaulan internasional dan ini turut membentuk tatanan dunia. Dan teori aliran ini percaya bahwa negara bukan satu-satunya pelaku HI, melainkan para agen yang juga terdiri dari negara, organisasi internasional, atau bahkan individu.
Dalam kasus tuntutan Afsel, jika pun Israel tidak mematuhi baik provisional measure atau putusan ICJ kelak terkait Palestina, putusan tersebut jadi moral force untuk mempengaruhi agen-agen lain yang menjadi support system Israel seperti pemerintah negara lain (AS, Inggris, Prancis dll) atau warga negara di negara lain yang pemerintahnya mendukung Israel.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, berubahnya kebijakan perang AS di Vietnam kala dokumen studi perang itu yang disebut “Pentagon Papers” bocor di publik. Dokumen itu menunjukkan adanya alasan tidak strategis untuk terus mengobarkan perang, salah satunya terungkap dalam memo Dephan AS yang mengatakan keberadaan AS di Vietnam 70% di antaranya demi gengsi agar tak dianggap kalah memalukan.
Oleh karena itulah, terkuak bahwa prajurit AS yang dikirim ke Vietnam bukanlah demi patriotisme tetapi dianggap mati sia-sia. Pengaruh Pentagon Papers menyebabkan desakan moral publik yang kuat hingga mengguncang pemerintahan Presiden Richard Nixon dan mengubah arah kebijakannya.
Moral force memang tidak semata-mata didesain untuk mempengaruhi sebuah negara. Tetapi ia dapat mempengaruhi orang-orang yang berinteraksi dengan negara tersebut–baik itu di level akar rumput (masyarakat) atau di level pengambil keputusan–untuk mengubah kebijakan negara itu.
ADVERTISEMENT
Pendek kata: rules as moral force, moral force influence peoples, and peoples (within or outside the government) influence the state.
Bahan bakar mengobarkan perang dalam suatu negara selain kekuatan ekonomi-militer ialah justifikasi moral. Maka posisi putusan ICJ kelak dapat berperan dalam menggangsir keduanya. Pertama, saat negara pendukungnya teryakinkan untuk tidak membantu. Kedua, saat warga dan lingkaran pemerintah di Israel sendiri sadar mereka tak punya lagi justifikasi moral untuk berperang membabi buta.
Selain itu, tuntutan Afsel bisa jadi pijakan jangka panjang dalam menentukan status quo perlakuan Israel terhadap Palestina. Sebagaimana kasus Bosnia vs Serbia, mahkamah menjatuhi putusan bahwa Serbia gagal mencegah terjadinya genosida di Srebenica pada 1995.
Saya percaya tuntutan Afsel punya bobot politik di mata Israel dengan dua indikasi. Pertama, negara Zionis ini repot-repot hadir di ICJ untuk membuktikan mereka tak sebagaimana yang ditudingkan, padahal mereka bisa saja mengabaikannya. Kedua, mereka juga rela beriklan di Google agar propaganda hukum berada di puncak pencarian kasus Afsel vs Israel.
Harapan lebih jauh ketika terjawab status quo apakah Israel melakukan genosida di mata ICJ ialah adanya dorongan membawa orang-per-orang anggota pemerintahan yang bertanggung jawab terhadap genosida di Israel ke Mahkamah Kriminal Internasional (ICC). Jika berhasil, hal itu dapat menjadi deterensi (efek tangkal) bagi pemerintahan Israel ke depan agar tidak membuat kebijakan perang semena-mena.
ADVERTISEMENT
Memang hal ini tidak mudah, apalagi Israel bukan penandatangan Statuta Roma yang jadi dasar pembentukan ICC. Preseden berbicara Israel pernah menolak investigasi ICC soal kejahatan perang di Gaza. Meski demikian, sejarah pasti akan menemukan jalannya untuk mencari kebenaran dan menegakkan keadilan.