Konten dari Pengguna

Nurfaidah, PMI yang Baru Pulang saat Pandemi Usai 16 Tahun Bekerja di Arab Saudi

Agus Hidayatulloh
Santri yang sedang menyamar sebagai ASN/diplomat Kementerian Luar Negeri RI. S1 Sastra Arab Universitas Al-Azhar Cairo. S2 Kajian Timur Tengah Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
6 Mei 2022 14:58 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Hidayatulloh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Nurfaidah dinikahkan oleh ayah kandungnya (celana hitam, berpeci) pada lebaran hari kedua. (Foto: Nurfaidah)
zoom-in-whitePerbesar
Nurfaidah dinikahkan oleh ayah kandungnya (celana hitam, berpeci) pada lebaran hari kedua. (Foto: Nurfaidah)
ADVERTISEMENT
Selasa, 3 Mei 2022 menjadi hari bahagia bagi Nurfaidah, 43 tahun, seorang eks PMI di Arab Saudi. Hari itu ia menikah dengan lelaki yang rumahnya tak jauh-jauh amat, tetangga kecamatan. Tak terbayangkan sebelumnya karena ia sempat menyebut hendak menikah dengan lelaki di Arab Saudi pada Agustus 2020. “Rahasia,” demikian jawabnya saat itu ketika ditanya sang ayah tentang sosok calon suaminya. Sang ayah pun shock dibuatnya.
ADVERTISEMENT
Ia memang menghabiskan hampir separuh hidupnya di Arab Saudi. Selama hampir 20 tahun ia mengadu nasib dengan bekerja sebagai pekerja migran. Pertama-tama ia bekerja 3 tahun di Tabuk, sekitar 1250 km barat laut Riyadh. Lalu setelah sempat pulang ke tanah air dan berdiam di kampung halaman selama 3 bulan, ia mengaku tak betah sehingga memutuskan untuk merantau kembali. Arab Saudi lagi-lagi menjadi tujuannya.
Ia terbang pada Desember 2004 dan langsung bekerja pada seorang majikan di Unaizah, sekitar 350 km barat laut Riyadh. Sejak saat itu, ia tak pernah dipulangkan oleh majikannya. Berkirim kabar pun hanya sepotong-sepotong. Bahkan di zaman kemudahan video call saat ini, kabar yang diterima orang tuanya hanya melalui kiriman video atau pesan suara. Tak ada cengkerama atau komunikasi dua arah.
ADVERTISEMENT
Keluarga lalu melaporkan kepada Kepala Desa. Kebetulan Kepala Desa mengetahui ada salah satu warganya sedang bertugas di KBRI Riyadh. Ia menghubungi saya yang ketika itu bertugas sebagai Pelaksana Fungsi Konsuler KBRI Riyadh. Selasa, 3 Desember 2019, HP berdering atas masuknya pesan WA dari nomor tak dikenal. “Saya Bayu Sukmono, Kepala Desa Wonoyoso Buaran Pekalongan, ada warga saya bekerja di Arab Saudi sudah 15 tahun belum pernah pulang. Mohon bantuannya Mas Agus,” demikian bunyi pesan WA.

15 Tahun Nyaris Tanpa Kabar

Saya terhenyak karena aduan kali ini datang dari kalangan terdekat. Selama hampir 2 tahun bertugas di KBRI Riyadh, sudah menangani ratusan aduan, namun baru kali ini merasakan emosi yang berbeda. Terlebih alamat domisilinya masih di gang yang sama dengan mertua. Saya memang hanya menantu warga Wonoyoso, tetapi saya merasakan betapa perihnya pengaduan ini. Selama 15 tahun bekerja, tidak pernah pulang, jarang ada kabar, dan kiriman hasil kerja kepada orang tua hanya baru 2 kali diterima di awal-awal bekerja dulu.
ADVERTISEMENT
Setelah mendapatkan data-data pengaduan, pada hari yang sama, saya pun segera menghubungi majikan Nurfaidah. Majikan sampaikan bahwa Nurfaidah baik-baik saja. Saat saya meminta untuk berbicara langsung dengan Nurfaidah, majikan menjawab tidak bisa. “Nurfaidah sedang di tempat kerja,” ujar majikan. Saya pun mencoba terus mengejar kapan saya bisa mendengar suara Nurfaidah secara langsung. Majikan menjanjikan sore harinya akan menghubungi balik.
Tidak sampai sore, pada siang hari majikan sudah menghubungi balik. Terdengar di sana suara Nurfaidah. Sungguh mengejutkan, setelah 15 tahun bekerja tanpa putus di Arab Saudi, logat Pekalongan-nya masih begitu kental. Saya berpikir hal ini disebabkan karena Nurfaidah terisolir dari dunia luar. Tidak pernah bersentuhan selain dengan pekerjaan hariannya di balik tembok rumah majikan. Pikiran tersebut terpaksa buyar mendengar jawaban-jawaban Nurfaidah, “Aku baik-baik saja. Gajiku lancar dan kusimpan sendiri. Tidak kukirim ke keluarga karena takut habis. Aku mau pulangnya nanti saja kalau pasporku mau habis masa berlaku (April 2023).”
ADVERTISEMENT
Perkembangan ini segera saya laporkan kepada Pak Kades. Menurut Pak Kades, penjelasan Nurfaidah via telepon ini cukup janggal. Pertama, karena menurut orang tuanya Nurfaidah baru 2 kali mengirim uang, itu pun tidak banyak. Kedua, karena bagaimana mungkin seseorang mampu terpisah dari orang tuanya selama belasan tahun nyaris tiada kabar sama sekali, padahal orang tuanya bukan orang jahat atau pesakitan.
Pak Kades lalu mengulangi harapannya agar KBRI Riyadh bisa memulangkan warganya tersebut. Saya menjawab bahwa KBRI Riyadh pasti mengupayakan pemulangan WNI yang dilaporkan sudah lama tidak pulang, minimal agar cuti atau liburan ke tanah air dulu. Saya jelaskan pula bahwa dalam hal kasus semacam ini, KBRI Riyadh biasanya menggunakan 2 cara, pendekatan negosiasi langsung dengan majikan dan/atau pelaporan kepada instansi Pemerintah Arab Saudi—sebagaimana diamanahkan oleh aturan setempat.
ADVERTISEMENT
Karena pendekatan kepada majikan sepertinya terlihat jauh dari hasil, maka pada 10 Desember 2019 KBRI Riyadh melayangkan nota diplomatik melalui Kementerian Luar Negeri Arab Saudi untuk mengadukan kasus Nurfaidah ini. Selanjutnya pada 14 Februari 2020, KBRI Riyadh mengirim Tim ke Provinsi Gasim untuk menangani beberapa kasus, termasuk kasus Nurfaidah di Kabupaten Unaizah.
Upaya bertemu langsung dengan Nurfaidah masih terkendala. Menurut majikan, pihaknya dan Nurfaidah beberapa hari sebelumnya telah dipanggil oleh Kantor Ketenagakerjaan Kabupaten Unaizah berdasarkan nota diplomatik KBRI Riyadh. Di Kantor Ketenagakerjaan Kabupaten Unaizah tersebut, pihaknya bersama Nurfaidah membubuhkan pernyataan yang isinya kesepakatan melanjutkan kerja sama yang nyaman tersebut. Disepakati juga bahwa majikan akan memulangkan Nurfaidah pada November 2020.
ADVERTISEMENT
Meski tidak bisa bertemu langsung—karena majikan menolak kedatangan tamu di rumahnya, Tim KBRI Riyadh dapat berbicara langsung dengan Nurfaidah via telepon. Lagi-lagi Nurfaidah menyampaikan kondisinya yang nyaman. “Saya bekerja dengan nyaman. Saya telah menerima seluruh hak/gaji saya. Saat ini saya belum mau pulang ke tanah air,” demikian suara Nurfaidah di ujung telepon.

Minta Izin Menikah

Setelah dibuat cukup tenang dengan kesepakatan kepulangan Nurfaidah pada November 2020—meski bukan waktu tunggu yang sebentar juga—keluarga Nurfaidah kaget bukan kepalang saat mendapat kabar rencana pernikahan anaknya di Arab Saudi. “Aku mau menikah di sini, mohon doanya,” ungkap Nurfaidah dalam video yang dikirimkan ke keluarga di tanah air, yang segera diteruskan kepada saya.
Tanpa pikir panjang, saya segera hubungi majikan Nurfaidah. Sang majikan membenarkan rencana Nurfaidah tersebut. Saya pun sampaikan bahwa ayah Nurfaidah tidak menyetujui rencana pernikahan tersebut. Saya ingatkan aturan syariat Islam bahwa pernikahan seorang gadis harus atas persetujuan walinya. Majikan Nurfaidah tidak bisa berkata banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Perkembangan selanjutnya baru muncul pada 4 November 2020. Saya hubungi majikan lagi, itu pun dengan meminta bantuan teman warga Arab Saudi untuk memperkuat negosiasi. Alhamdulillah, dalam kontak telepon tersebut, dipastikan bahwa Nurfaidah tidak jadi menikah di Arab Saudi. Hanya saja, janji kepulangan Nurfaidah kembali menguap.
“Aku mau umrah dulu, nanti setelah umrah baru aku pulang,” ucap Nurfaidah di ujung telepon, tetap dengan logat Pekalongan yang masih kental. Saya sampaikan bahwa di masa pandemi ini, umrah tidak semudah dulu. Banyak langkah yang harus dipersiapkan. Akan terasa cukup rumit bagi orang yang pertama kali hendak umrah. Nurfaidah tetap ngotot dengan rencananya sendiri. Karena saya mendengar kalimat itu dari Nurfaidah langsung maka saya pun tak bisa mendesak lebih banyak lagi. Dalam hati terkadang berburuk sangka, “Ini pasti karena tekanan pihak majikan.” Namun, apa daya saya tak bisa membuktikan apa pun.
ADVERTISEMENT
Kabar itu pun saya sampaikan kepada Pak Kades. Menurut Pak Kades, keluarga akan terus mengikuti perkembangan Nurfaidah dan menyerahkan segala daya dan upaya kepada KBRI Riyadh. Saya ungkapkan pula bahwa dalam waktu dekat majikan Nurfaidah akan kirimkan sebagian gaji Nurfaidah kepada keluarga di tanah air.

Kiriman Setelah Belasan Tahun

Pada 9 November 2020, saya hubungi Pak Kades lagi; menanyakan apakah keluarga Nurfaidah sudah menerima kiriman sebagian gaji. Setelah menanyakan kepada keluarga Nurfaidah, Pak Kades mengkonfirmasi bahwa telah ada kiriman uang sekitar Rp 11 juta. Alhamdulillah, janji majikan soal kiriman gaji telah ditepati.
Di sisi lain, saya perlu mengabarkan berita yang kurang baik. “Nurfaidah belum jadi pulang dalam waktu dekat ini. Ditunda hingga Lebaran tahun depan,” lirih saya kepada Pak Kades. Dengan penuh kepercayaan, Pak Kades sampaikan terima kasih atas informasi tersebut. Namun, tetap menegaskan harapan keluarga agar Nurfaidah segera dipulangkan. Pak Kades juga memberi saran, “Kalau majikan menunda kepulangan begitu apa tidak bisa ditolak saja izinnya oleh KBRI?”
ADVERTISEMENT
Saya jelaskan dengan pelan bahwa soal “izin”, mungkin izin bekerja, maka tidak ada kewenangan di KBRI. Secara de facto, Pemerintah Indonesia, termasuk KBRI, telah melarang pengiriman WNI sektor domestik ke negara-negara Timteng sejak 2015. Realitanya, pengiriman tersebut terus berlangsung. Ada saja cara para agen untuk mengirimkan para PMI domestik tersebut. Tentu saja semua itu tanpa izin dari KBRI.
Peluang untuk “menahan” Nurfaidah sebenarnya pernah ada pada April 2018. Saat itu, Nurfaidah dan majikannya datang ke KBRI Riyadh untuk memperbarui paspor yang hampir habis masa berlakunya. Sesuai prosedur, setiap PMI yang hendak memperbarui paspor maka harus melewati clearance dari KBRI terkait 3 hal: Menerima gaji penuh setiap bulan sesuai standar (minimal SAR 1.500 atau sekitar Rp 5,6 juta), komunikasi dengan keluarga lancar, dan perlakuan majikan baik. Entah sudah dikondisikan atau bagaimana, Nurfaidah saat itu menjawab semuanya baik-baik saja. Tidak ada keluhan atas ketiga hal tersebut. Maka tidak ada peluang dari KBRI saat itu untuk “menahan” Nurfaidah dari majikannya. Lagi pula, belum ada aduan terkait Nurfaidah saat itu.
ADVERTISEMENT

Estafet Pengurusan Kasus

Tidak terasa sudah hampir 3 tahun saya bertugas di KBRI Riyadh. Saya menghubungi Pak Kades bahwa masa tugas saya di KBRI Riyadh akan segera berakhir pada 31 Januari 2021. Saya memohon maaf karena hingga rencana kepulangan saya pada awal Februari 2021, saya belum bisa membawa Nurfaidah pulang ke pelukan orang tuanya. Namun, saya tegaskan bahwa kasus Nurfaidah akan terus ditindaklanjuti oleh Tim KBRI.
Sebelum terbang kembali ke tanah air, saya pun sempat menghubungi Nurfaidah dan majikannya. Sang majikan mengaku masih membutuhkan Nurfaidah. Di sisi lain, Nurfaidah juga menyampaikan dirinya belum mau pulang dulu dalam beberapa waktu ke depan. Saya memelas kepada Nurfaidah bagaimana nanti saya menjelaskan kondisi ini kepada orang tuanya di kampung halaman. Sayangnya, harapan saya segera membawa pulang Nurfaidah belum juga kesampaian.
ADVERTISEMENT
Meski telah kembali ke Jakarta, saya beberapa kali tetap berkomunikasi dengan KBRI Riyadh. Saya menanyakan atau ditanyai beberapa kasus, tentu saja termasuk kasus Nurfaidah. Sayangnya, hingga beberapa bulan waktu berjalan, masih belum ada titik terang mengenai kepulangan Nurfaidah. Termasuk saat waktu lebaran tahun 2021, belum ada tanda-tanda mengenai pemulangan Nurfaidah.
Saat mudik ke rumah mertua, saya pun kembali sampaikan permohonan maaf kepada Pak Kades. Saya betul-betul sedih dengan kondisi yang dialami Nurfaidah dan keluarganya. Pak Kades mau mengerti atas kondisi tersebut. Menurut Pak Kades, pihaknya bersama orang tua Nurfaidah hanya bisa berdoa semoga Tim KBRI Riyadh dapat segera memulangkan Nurfaidah.

Kabar Mengejutkan

Pada 19 Agustus 2021, Pak Kades tiba-tiba menghubungi saya. Menurutnya, keluarga mendapat kabar bahwa Nurfaidah tengah dalam perjalanan dari Jakarta menuju ke Pekalongan. “Nurfaidah juga sudah selesai menjalani karantina di Wisma Atlet karena pulang di tengah masa pandemi ini,” kata Pak Kades. Saya hampir tak percaya. Terlebih lagi Nurfaidah memang belum betul-betul sampai ke pelukan orang tuanya di Pekalongan. Saya pun segera menghubungi KBRI Riyadh, apakah kepulangan Nurfaidah ini tercatat di sana.
ADVERTISEMENT
Menurut kawan di KBRI Riyadh, beberapa hari ini sedang tidak ada pemulangan WNI. KBRI Riyadh juga mengingatkan bahwa banyak sekali kasus WNI yang ditangani KBRI dan dikejar pemulangannya kepada majikan, setelah lama tak ada kabar ternyata WNI sudah dipulangkan oleh majikan secara langsung. Tidak melalui KBRI dan tidak dilaporkan kepada KBRI. Dalam hal ini, KBRI tidak ambil pusing.
Asalkan WNI bisa kembali ke kampung halamannya, pemulangannya tidak dilaporkan ke KBRI pun tidak mengapa. Hanya saja, kondisi itu terkadang memang meninggalkan residu. Biasanya berupa persoalan gaji atau hak-hak WNI. Karena saking inginnya dipulangkan maka WNI biasanya mau saja menandatangi berkas apa pun yang disodorkan kepadanya. Padahal dalam berkas tersebut biasanya ada pernyataan tentang pelunasan gaji dan hak. Karena ditulis dalam bahasa Arab, dan kebanyakan PMI tidak pandai baca-tulis Arab, maka PMI “terjerumus” untuk mengakui bahwa semua haknya sudah diterima penuh, padahal nyatanya tidak.
ADVERTISEMENT
Kalau sudah begitu, maka penyelesaian aduannya hanyalah mengandalkan pendekatan kekeluargaan kepada majikan. Karena secara hukum, pihak PMI telah kalah dengan adanya pernyataan bertanda tangan, atau bercap jempol berisi pelunasan gaji dan hak secara penuh.
Kondisi Nurfaidah juga sebelas-dua belas. Usai lebih dari 16 tahun bekerja pada majikan yang sama, saat pulang ia hanya membawa uang sekitar Rp 35 juta. Nurfaidah mengisahkan, “Aku pernah protes kepada majikan, kenapa aku tanda tangan slip gaji sebesar SAR 1.300 (sekitar Rp 4,8 juta), tetapi hanya menerima SAR 800 (sekitar Rp 3 juta)?” Tak kalah sengit, majikan justru berbalik membentak Nurfaidah, “Sudah diam saja kamu dan kembali bekerja sana!”
Sudah gajinya diterima di bawah standar dan di bawah angka yang tercantum, untuk beberapa keperluan pun Nurfaidah harus membeli sendiri. Bahkan, Nurfaidah mengaku pernah beberapa kali ia mentraktir makanan untuk majikannya. “Majikanku memang bukan orang kaya,” terang Nurfaidah dengan keluguannya.
Undangan pernikahan Nurfaidah (Foto: Agus Hidayatulloh)
Anehnya, atau hebatnya, Nurfaidah menyampaikan bahwa ia tidak menyimpan dendam sama sekali kepada majikannya. Hingga kini pun ia masih aktif berkomunikasi dengan majikannya itu. Sebelum bulan Ramadhan lalu, ia juga mengontak majikannya dan menyampaikan rencana pernikahannya pada hari kedua Lebaran. Saat itu, majikan lalu mengirimkan uang sebesar SAR 1.200 (sekitar Rp 4,5 juta). “Untuk pernikahan ini juga katanya majikan akan memberi kado lagi,” kata Nurfaidah ketika ditemui pada 5 Mei 2022 saat tilik manten 2 hari usai pernikahannya.
ADVERTISEMENT
Luar biasa! Mungkin tidak banyak orang sekuat Nurfaidah dan ayahnya. Dengan segala liku kehidupan yang sudah dilaluinya, Nurfaidah dan keluarganya masih tetap mengumbar senyum pada setiap tamu yang mendatanginya. Mereka seperti tak mau kehilangan momen indah pernikahan Nurfaidah, terlebih acara pernikahan di masa (akhir) pandemi ini.