Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
"Shadow Economy" dan Eksploitasi Buruh di Pabrik Smelter Nikel Indonesia ?
27 September 2024 16:33 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Agil Septiyan Habib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perdebatan tentang industri nikel di Indonesia sepertinya tengah memanas belakangan ini, khususnya setelah adanya laporan yang menyoroti praktik kerja paksa di pabrik smelter nikel.
ADVERTISEMENT
Eksploitasi ini tak hanya merusak citra ekonomi Indonesia yang sedang menggencarkan tambang sebagai pilar kekuatan nasional, tetapi juga menguak sisi gelap ekonomi bayangan (shadow economy) yang sering kali terabaikan. Industri (hilirisasi) nikel yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi hijau, malah tersandung masalah yang melibatkan buruh.
Menurut Alejandro Portes dalam karyanya "The Informal Economy: Studies in Advanced and Less Developed Countries," ekonomi bayangan seringkali muncul sebagai respons terhadap kebijakan dan regulasi yang tidak memadai. Dalam konteks industri nikel Indonesia, praktik-praktik ini sepertinya menyelinap di antara celah-celah hukum ketenagakerjaan, menempatkan buruh dalam situasi yang rentan dan tidak berdaya. Sementara fokus utama selalu pada keuntungan besar industri, sehingga buruh seringkali berada di garis depan tanpa perlindungan yang sepadan.
ADVERTISEMENT
Hal ini menimbulkan pertanyaan penting, di mana letak tanggung jawab pemerintah dan perusahaan tambang dalam menjamin hak-hak dasar pekerjanya?
Pengaruh Globalisasi dan Ambisi Tambang
Ambisi besar pemerintah Indonesia untuk menjadi pemain utama dalam industri nikel global menghadirkan masalah serius di tingkat domestik. Keinginan untuk memenuhi permintaan pasar global yang terus meningkat membuat industri nikel berlari tanpa rem, dengan mengabaikan etika kerja.
Industri tambang ini bukan hanya menjadi motor penggerak ekonomi nasional, tetapi juga menjadi bagian dari rantai pasok global untuk teknologi hijau, seperti baterai mobil listrik. Namun, yang sering luput dari sorotan adalah bagaimana industri ini menyerap tenaga kerja dengan cara-cara yang mengesampingkan hak-hak mereka.
Thomas Piketty dalam Capital in the Twenty-First Century pernah mengatakan, "Le capitalisme sans freins conduit inévitablement à des inégalités croissantes" (Kapitalisme tanpa rem pasti mengarah pada ketidaksetaraan yang semakin besar). Terjemahan dari gagasan Piketty ini bisa kita lihat pada bagaimana ambisi ekonomi seringkali melibas mereka yang paling lemah dalam rantai produksi, diantaranya adalah para buruh tambang.
Jejak Ekonomi Bayangan: Buruh di Persimpangan
Keberadaan ekonomi bayangan di sektor tambang nikel ini bukan sekadar kebetulan. Fenomena ini adalah cermin dari lemahnya pengawasan dan regulasi yang diberlakukan oleh pemerintah. Buruh yang terjebak dalam sistem informal ini sering kali bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi, tanpa kontrak yang jelas dan upah yang layak.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, perusahaan tambang menghindari tanggung jawab sosial mereka dengan memanfaatkan kebingungan hukum dan celah-celah dalam peraturan ketenagakerjaan.
Dalam buku The Informal Economy, Portes menunjukkan bahwa sektor informal berkembang subur di negara-negara berkembang karena adanya kekosongan kebijakan yang seharusnya melindungi pekerja. Ironisnya, ekonomi bayangan ini malah menjadi roda penggerak dari industri formal yang terlihat mewah di mata global. Buruh-buruh yang terjebak di dalamnya adalah korban dari kapitalisme yang tak terkendali.
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan: Realita atau Retorika?
Pertanyaan penting yang sering kali tidak terjawab adalah: Apakah tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) hanya sebatas jargon marketing belaka? Banyak perusahaan tambang besar yang memamerkan program CSR mereka, seolah-olah itu adalah upaya tulus untuk memperbaiki dampak negatif yang mereka timbulkan.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, kenyataan di lapangan sangatlah berbeda. Banyak buruh yang tidak pernah merasakan manfaat dari program CSR ini. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan buruh, program CSR lebih sering diarahkan untuk menjaga citra perusahaan di mata publik dan investor.
Di dalam buku Corporate Social Responsibility in Developing and Emerging Markets, Michael Blowfield membahas bahwa CSR di negara-negara berkembang sering kali hanya menjadi alat politik daripada alat perubahan sosial yang sejati. Industri nikel di Indonesia mungkin menjadi salah satu contoh nyata di mana program CSR tidak berfungsi sebagaimana mestinya, terutama dalam hal perlindungan hak-hak buruh.
Solusi dan Harapan
Untuk menyeimbangkan kembali hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan hak-hak buruh, diperlukan reformasi menyeluruh dalam regulasi ketenagakerjaan dan pengawasan pemerintah terhadap industri tambang. Tidak hanya itu, perusahaan tambang juga harus lebih transparan dalam operasional mereka, terutama dalam memperbaiki kondisi kerja buruh tambang. Jika tidak, ekonomi bayangan akan terus merongrong fondasi sosial kita, menciptakan ketidaksetaraan yang semakin mendalam.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana dikatakan Noam Chomsky, "The more you can increase fear of drugs and crime, welfare mothers, immigrants, and aliens, the more you control all the people" (Semakin Anda bisa menambah ketakutan terhadap narkoba, kejahatan, tunjangan, imigran, dan alien, semakin Anda mengontrol semua orang). Ketakutan ini menjadi alat bagi perusahaan tambang untuk mempertahankan status quo, sambil mengabaikan kondisi kerja buruh.
Kita membutuhkan solusi yang nyata untuk keluar dari jeratan ekonomi bayangan ini. Industri tambang nikel Indonesia bisa tetap menjadi andalan ekonomi, tetapi bukan dengan mengorbankan hak-hak dasar pekerja yang seharusnya dilindungi.
Maturnuwun,
Agil Septiyan Habib