Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.106.0
Konten dari Pengguna
Leaders Eat Last: Resep Menjadi Pemimpin yang Dicintai, Bukan Ditakuti
22 Mei 2025 13:47 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Agnesya Maharani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di tengah dunia kerja modern yang penuh tekanan target, angka, dan persaingan, Simon Sinek melalui bukunya Leaders Eat Last menyuguhkan satu pandangan yang menyegarkan: pemimpin yang sejati bukan yang memerintah dari atas menara gading, tapi yang rela berada di barisan terakhir demi memastikan timnya mendapatkan yang terbaik lebih dulu. Buku ini bukan hanya bacaan bagi para eksekutif, tapi juga pelajaran berharga bagi pelajar atau mahasiswa yang kelak akan menjadi bagian dari sistem, entah sebagai pemimpin maupun anggota tim.
ADVERTISEMENT
Judul buku ini terinspirasi dari tradisi di Korps Marinir Amerika Serikat. Dalam banyak kesempatan makan bersama, para perwira dan pemimpin tidak makan terlebih dahulu. Sebaliknya, mereka makan terakhir, memastikan para prajurit yang mereka pimpin telah cukup makan. Tidak ada aturan tertulis tentang ini—ini soal nilai, soal keteladanan. Dan itulah esensi kepemimpinan menurut Sinek: mengutamakan orang lain di atas kepentingan pribadi.
Buku ini disusun dalam delapan bagian besar, dimulai dengan kebutuhan dasar manusia akan rasa aman (safety), lalu berkembang ke tantangan modern dalam organisasi, hingga ajakan untuk menciptakan lingkungan kerja yang penuh empati dan kolaborasi.
Dalam bab awal, Sinek menyampaikan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang secara biologis dirancang untuk hidup dalam kelompok. Dalam kelompok yang aman, kita bisa berkembang, berinovasi, dan mengambil risiko. Namun, ketika lingkungan kerja dipenuhi dengan ancaman, tekanan berlebihan, dan kompetisi internal, manusia justru kembali pada naluri bertahan hidupnya—mementingkan diri sendiri dan curiga terhadap orang lain.
ADVERTISEMENT
Di sinilah peran pemimpin menjadi krusial. Pemimpin bukan sekadar pencetak target, tapi pencipta circle of safety—lingkaran aman tempat orang merasa dihargai, didengarkan, dan dilindungi. Bila orang merasa aman, mereka akan rela bekerja lebih keras dan lebih tulus. Tapi bila merasa terancam, bahkan yang paling cakap pun bisa berubah menjadi pasif atau bahkan destruktif.
Salah satu cerita paling menyentuh dalam buku ini adalah kisah pilot A-10 Amerika bernama Kapten Mike “Johnny Bravo” Drowley yang nekat menembus awan tebal di malam gelap Afghanistan demi membantu tim pasukan khusus yang sedang dalam bahaya. Tidak ada perintah eksplisit, tidak ada janji bonus atau pujian. Ia bertindak karena empati—karena ia membayangkan jika dirinya yang berada di bawah.
ADVERTISEMENT
Simon Sinek ingin menegaskan bahwa kepemimpinan sejati dibangun dari empati dan keberanian untuk mengutamakan orang lain, bukan dari kekuasaan atau otoritas semata. Ia bahkan menyebut empati sebagai aset terbesar pemimpin.
Buku ini juga menantang anggapan bahwa kepemimpinan selalu identik dengan jabatan tinggi. Faktanya, banyak orang yang punya jabatan tapi gagal memimpin, karena hanya memerintah dan menghitung untung-rugi. Sebaliknya, ada banyak orang biasa yang bertindak luar biasa karena peduli terhadap orang lain dan berani mengambil tanggung jawab lebih.
Dengan kata lain, pemimpin adalah siapa pun yang memilih untuk peduli. Ini relevan sekali bagi mahasiswa: kita bisa mulai mempraktikkan kepemimpinan bahkan dari organisasi kampus, kelompok belajar, atau kegiatan sosial.
Sinek cukup tajam dalam mengkritik budaya kerja modern yang terlalu berfokus pada angka, target kuartalan, dan kepuasan pemegang saham. Ia menyebutnya sebagai "abstraksi modern"—situasi di mana orang tidak lagi merasa terhubung satu sama lain, karena segalanya diukur dari grafik, bukan dari manusia di balik grafik tersebut.
ADVERTISEMENT
Salah satu contohnya adalah ketika perusahaan memilih melakukan PHK massal hanya untuk menyelamatkan keuntungan jangka pendek, padahal ada opsi lain seperti pengurangan jam kerja atau gaji sementara. Ketika angka lebih penting daripada manusia, maka loyalitas dan produktivitas pun perlahan terkikis.
Dalam salah satu bagian paling inspiratif, Sinek menyoroti kisah Bob Chapman, CEO Barry-Wehmiller, sebuah perusahaan manufaktur di AS. Ketika ia mengambil alih perusahaan yang sedang krisis, alih-alih melakukan pemangkasan besar-besaran, ia justru mendengarkan keluhan karyawan. Ia menghapus sistem absensi jam kerja, membuka gudang alat yang tadinya terkunci rapat, dan memperlakukan pekerja pabrik sama seperti pegawai kantor.
Hasilnya? Performa perusahaan meningkat drastis, dan yang lebih penting: karyawan merasa dihargai dan bersatu. Ini bukti bahwa empati dalam kepemimpinan bukan hanya baik secara moral, tapi juga efektif secara bisnis.
ADVERTISEMENT
Sebagai mahasiswa, kita sering menganggap bahwa isu kepemimpinan adalah urusan masa depan. Namun, justru masa kuliah adalah momen terbaik untuk mengasah kemampuan memimpin—dalam skala kecil sekalipun. Buku ini mengingatkan bahwa kepemimpinan bukan soal menjadi yang paling pintar atau paling kuat, melainkan soal menciptakan ruang aman untuk tumbuh bersama.
Di tengah budaya individualisme dan kompetisi yang makin tinggi, kita butuh lebih banyak pemimpin yang tahu cara menyatukan, bukan memecah belah. Yang berani turun tangan, bukan lepas tangan.
Leaders Eat Last bukan buku teori kepemimpinan biasa. Ia adalah panggilan moral untuk membalik paradigma: dari “apa yang bisa saya dapatkan” menjadi “apa yang bisa saya berikan”. Di dunia yang makin kompleks dan saling terhubung, kepemimpinan berbasis empati dan keberanian adalah jalan satu-satunya untuk menciptakan organisasi dan masyarakat yang sehat, kuat, dan bermakna.
ADVERTISEMENT
Membaca buku ini bukan hanya membuka wawasan tentang dunia kerja, tetapi juga menyadarkan kita bahwa nilai-nilai kemanusiaan tak boleh ditinggalkan, sekecil apa pun peran kita hari ini. Sebab, siapa tahu, kelak kita adalah pemimpin yang berdiri paling belakang—bukan karena kalah, tapi karena memilih melindungi yang lain lebih dulu.