Mari Bicara (2)

Konten dari Pengguna
14 Juli 2017 13:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agun Gunandjar Sudarsa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rapat pertama Pansus KPK (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rapat pertama Pansus KPK (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Sebenarnya bukan lagi masanya saya membuat opini ke publik seolah sedang cari perhatian. Buat saya masa-masa itu sudah lewat. Sekarang saatnya yang muda yang tampil, membawa ide dan gagasan baru bagi kehidupan demokrasi kita tanpa kehilangan jatidiri kebangsaan.
ADVERTISEMENT
Mengapa saya ungkap opini ini? Hal itu karena rasa tanggung jawab saya sebagai mantan aktivis dan praktisi politik nasional terhadap kualitas kehidupan berdemokrasi kita, kualitas kita dalam berdialektika. Saya melihat gejala-gejala yang tidak sehat dan membahayakan. (Baca juga: Mari Bicara)
Saat ini demokrasi kita diarahkan menuju pada demokrasi liberal, yaitu kehidupan berdemokrasi yang lebih mengarus utamakan peran civil society seperti LSM dan menihilkan peran lembaga suprastruktur demokrasi yang dijamin oleh UUD yaitu DPR.
Saya ambil contoh dari yang saya alami saat ini di Pansus Hak Angket KPK.
DPR membentuk Pansus Hak Angket KPK untuk menjalankan tugas konstitusional yaitu penyelidikan terhadap kinerja KPK. Tetapi, pada perjalanannya Pansus justru diserang dengan pernyataan-pernyataan di media massa yang dibuat oleh KPK, sejumlah akademisi, kelompok dan LSM yang sudah berafiliasi dan bekerja sama dengan KPK selama ini.
ADVERTISEMENT
KPK dan pendukungnya tsb. menyatakan bahwa Pansus tidak sah, tidak sesuai UU MD3, KPK bukan objek angket karena KPK koalisi yudikatif, Pansus berniat mengadu KPK dengan Polri, Kejaksaan dan Presiden. Lalu saya sebagai saksi dalam kasus E-KTP dituding mangkir dari panggilan KPK dan berlindung dibalik Pansus.
Tetapi Fakta menunjukan, Pansus dimuat dalam berita negara dan saya sebagai saksi bersikap patuh, taat dan menjalani pro yustisia di KPK. Pada hari Selasa tanggal 11 Juli 2017, saya datang ke KPK dan diperiksa penyidik KPK. Kooperatif.
Sadar atau tidak, KPK dan para pendukungnya sedang “membajak” hak-hak Pansus karena telah mengalihkan dan memindahkan permasalahan yang menjadi domain Pansus menjadi diluar dari mekanisme formil sebagaimana konstitusi dan UU mengaturnya. Bermain di tataran opini, KPK dan para pendukungnya jadi lebih mirip politisi.
ADVERTISEMENT
Lebih menarik lagi KPK menerapkan standar ganda dalam bersikap. Di satu sisi mengatakan independen tapi di sisi lain meminta Presiden untuk intervensi. Di satu sisi mengatakan KPK koalisi yudikatif (agar tidak termasuk objek hak angket ) tapi di sisi lain berlindung dibawah eksekutif.
Para pendukung KPK menyatakan narasumber Pansus tidak objektif, karena YIM dan RAS pernah menjadi ahli untuk tersangka KPK, tapi bagaimana Pansus punya kesempatan objektif dihadapan KPK, jika KPK bersikap menolak keberadaan Pansus dengan bersandar pada pendapat pakar dan sejumlah dukungan tolak Pansus. Padahal sebagai penyelenggara negara mestinya KPK lebih terikat pada hukum negara , bukan pada pendapat pakar yang subjektif.
Dampak dari pola perilaku KPK dan para pendukungnya yang melakukan gerakan delegitimasi terhadap Pansus, telah memancing reaksi publik. Sekarang publik terbelah, ada kelompok yang pro KPK dan ada kelompok yang pro Pansus. Suasana gaduh, media massa ramai, Publik di giring ke sana-kesini tidak produktif. Legitimasi dinilai dari besarnya riuh dukung- mendukung atau mobilisasi massa. Demokrasi kita turun kelas.
ADVERTISEMENT
Padahal harapan Pansus dan juga rakyat Indonesia sangatlah sederhana, KPK datang dan mari bicara. Terapkan kehidupan bernegara yang demokratis konstitusional yaitu sikap subjek-subjek negara yang patuh, taat & melaksanakan hukum-hukum negara. Tidak hanya melaksanakan hak-haknya tapi juga melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Pansus tidak akan pernah mengkhianati cita-cita reformasi. KPK sebagai komitmen politik pemberantasan korupsi, akan tetap ada dan semakin kuat.
Semoga,