Peta : Transformasi Peran, Fungsi dan Kebijakannya

Agung Christianto
Pranata Humas pada Badan Informasi Geospasial
Konten dari Pengguna
12 Oktober 2022 19:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agung Christianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pekerjaan scribbing untuk pembuatan peta secara manual (Sumber: Bakosurtanal, 2009 )
zoom-in-whitePerbesar
Pekerjaan scribbing untuk pembuatan peta secara manual (Sumber: Bakosurtanal, 2009 )

Hari Informasi Geospasial dan Cikal Bakal Berdirinya BIG

ADVERTISEMENT
Menjelang bulan Oktober tiap tahunnya, di BIG (Badan Informasi Geospasial) selalu terjadi kesibukan-kesibukan kecil, di luar rutinitas. Aktivitas itu dilakukan dalam kaitan dengan peringatan Hari Informasi Geospasial, yang jatuh pada tanggal 17 Oktober. Dipilihnya tanggal itu, sebagai peringatan terbitnya Keppres pembentukan Bakorsurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) pada tanggal yang sama, di tahun 1969.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarahnya, Bakosurtanal lahir untuk mewujudkan kemandirian bangsa di bidang survei dan pemetaan, yang pendiriannya dipelopori oleh Mayjend. (Purn) Ir. Pranoto Asmoro, Prof. Jacub Rais dan Prof. Kardono Darmoyuwono. Kelahiran Bakorsurtanal, berimplikasi pada pembubaran dan peleburan lembaga yang telah ada sebelumnya : Desurtanal (Dewan Survei dan Pemetaan Nasional) dan Kosurtanal (Komando Survei dan Pemetaan Nasional). Keduanya dibentuk pada tahun 1965.
Demikian pula dengan keberadaan Batnas (Badan Atlas Nasional), yang ditugaskan untuk menginventarisasi sumber-sumber kekayaan alam nasional, ketika tak bekerja dengan baik, kemudian dilebur jadi Bakosurtanal. Ini menunjukkan, sejak lahirnya orde baru, reformasi birokrasi telah dilakukan.

Pengenalan Peta oleh Warga Nusantara

Uraian sejarah yang menjelaskan pengenalan warga Nusantara pada peta, tak banyak ditemukan. Jikapun ada, uraiannya sangat terbatas. Salah satunya, dikutip dari buku “Survei dan Pemetan Nusantara”, yang diterbitkan Bakosurtanal, 2009. Di dalamnya terdapat kutipan artikel C.J. Zandvliet, di jurnal “Holland Horizon” Volume 6 Nomor 1 Tahun 1994. Disebutkan, menurut sejarah Tiongkok tahun 1369-1370, saat penyerbuan tentara Yuan ke Jawa 1292-1293, Raden Wijaya mempersembahkan peta administrasi Kerajaan Kediri kepada tentara Yuan. Catatan sejarah ini bisa jadi indikasi, peta telah dikenal Bangsa Indonesia sekitar abad ke-13. Namun sayangnya hingga saat ini, tak ada bukti, dalam wujud apa peta yang diberikan Raden Wijaya kepada tentara Yuan.
ADVERTISEMENT
Catatan lain menguraikan, Nusantara dikenal oleh bangsa-bangsa dari Eropa, berdasar peta. Para penjelajah di abad ke-16 membuat Peta Nusantara, versi masa itu. Ini bertujuan untuk kepentingan explorasi dan kolonialisasi bangsa penjelajah. Tentu saja, pemetaan dibuat dengan dominasi Bangsa Eropa.
Sedangkan di masa Hindia Belanda, peta dibuat untuk kepentingan militer. Belanda sangat serius melakukan pemetaan ketika berhadapan dengan para pendukung Pangeran Diponegoro di tahun 1825-1830. Peta Topografi di wilayah pendukung Pangeran Diponegoro, di Pulau Jawa, dibuat dengan cepat, untuk dimanfaatkan mempersempit ruang gerak para pendukung Pangeran Diponegoro. Benteng-benteng pertahanan dengan lokasi-lokasi strategis yang telah ditentukan melalui peta, dibangun oleh Belanda untuk menunjukkan hegemoninya di masa perang itu. Meskipun kenyataannya, Pangeran Diponegoro tidak dapat ditundukan dengan perang fisik, tetapi perang mental terhadap pada para pengikutnya, telah mendorong goyahnya kesetiaan pengikut Pangeran Diponegoro.
ADVERTISEMENT

Aktivitas Pemetaan di Hindia Belanda

Kegiatan pemetaan topografi, rupabumi untuk wilayah Hindia Belanda, dilakukan oleh tentara Belanda, dengan memanfaatkan kesatuan bidang pemetaan. Tahun 1864, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Topographische Beurau en de Militaire Verkenningen (Biro Topografi dan Survei Militer). Lembaga ini ditugaskan untuk melakukan survei dan pengukuran di seluruh wilayah Jawa. Pada tahun 1874, Biro Topografi tersebut ditingkatkan menjadi Dinas Topografi Militer yang merupakan bagian dari Departemen Pertahanan. Gambaran betapa seriusnya lembaga ini, di awal abad ke-20 dinas bentukan Belanda ini, telah mempekerjaan sedikitnya 500 orang Indonesia. Mereka ditugaskan untuk membuat peta topografi Nusantara. Hasilnya, pada tahun 1938, “Atlas von Tropisch Netherland” diterbitkan. Ini merupakan penggambaran berbentuk peta untuk seluruh wilayah Nusantara.
ADVERTISEMENT
Salah seorang officer-nya, Ferdinand Jan Ormeling, melanjutkan survei dan pemetaan yang diterbitkan sebagai “Grote Atlas van Nederland Oost-Indie, Comprehensive Atlas of Netherlands East Indies”, di tahun 1939. Ini merupakan karya besar di masa itu, mengingat dengan teknologi dan peralatan terbatas, berhasil menggambarkan Nusantara dalam satu bidang datar berupa peta. Tentu saja, terdapat peran SDM pribumi dan tenaga-tenaga terampil yang terlibat, saat melakukan survei secara fisik di lapangan.
Peta wilayah Indonesia punya peran sentral saat Perang Dunia II berlangsung. Belanda yang telah menguasai Nusantara lebih dari tiga setengah abad, mengkonsolidasikan sekutunya lewat pemetaan yang lebih baik, dalam menahan agresi Jepang. Peta Indonesia versi US Army terbitan tahun 1940-an, merupakan salah satu produk pemetaan di masa Perang Dunia II, yang masih dapat ditemui di lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Sedangkan peran Jepang, juga tak dapat diabaikan. Mereka membentuk So Kuryo Kyoku yang berfungsi sebagai kantor pengukuran. Ini bergabung dengan Jawatan Kadaster, di bawah Departemen Kehakiman.
ADVERTISEMENT

Transformasi Peran Peta dan Relevansinya di Era Digital

Di masa perang, peta identik dengan keperluan militer. Bahkan hingga tahun 1980-an, akses terhadap peta rupabumi, tidak mudah diperoleh. Peta dianggap sebagai bagian pertahanan negara. Tuntutan keterbukaan informasi publik dan lahirnya UU Informasi Geospasial, mendorong keterbukaan akses terhadap peta. Kini peta bertransformasi menjadi informasi geospasial.
Peta produk informasi geospasial, khususnya peta Rupabumi Indonesia (RBI) berstatus sebagai public goods. Dengan status ini, RBI dapat diperoleh masyarakat lebih mudah, lebih murah, bahkan tak dikenakan biaya. Ini dapat diakses melalui geoportal: tanahair.indonesia.go.id.
Bakosurtanal sebagai lembaga survei dan pemetaan, sejak tahun 1969 telah mengubah pandangan: peta tak identik dengan militer. Untuk urusan sipil, khususnya pembangunan, diperlukan peta. BIG (Badan Informasi Geospasial) sebagai transformasi Bakosurtanal, telah memujudkan pemanfaaatan peta bukan sebatas urusan pembangunan, bahkan hingga di level kebijakan. Kebijakan Satu Peta (KSP) berdasar Perpres 9 Tahun 2016 yang kemudian diubah dengan Perpres 23 Tahun 2021, dan lahirnya Prespres 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia makin memperkuat peran peta sebagai informasi geospasial.
ADVERTISEMENT
Informasi Geospasial punya posisi penting, terkait perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengawasan aktivitas nasional. Bukan hanya untuk pembangunan, tetapi juga sebagai bagian dari kebijakan pemerintah, perizinan usaha, penerbitan undang-undang wilayah seperti daerah otonom baru atau pemekaran wilayah. Bahkan hingga hal-hal yang terkait dengan rutinitas hidup, seperti ojek daring, belanja daring, dan lainnya, memanfaatkan informasi geospasial ini.
Di awal pendirian Bakosurtanal, Prof. Jacub Rais, mengungkapkan melalui buku “Konsepsi Pemetaan Penginderaan Jauh untuk Sumberdaya Alam dan Lingkungan”, yang terbit tahun 2002, tentang peran Mayjend. (Purn) Ir. Pranoto Asmoro sebagai Ketua Bakosurtanal. Asmoro berhasil meyakinkan Departeman Pertahanan dan Keamanan maupun Bappenas, pemetaan topografi adalah tanggung jawab nasional. Berdasar buah persuasi itu, di tahun 1971-1972 dilakukan proyek Pemetaan Dasar Nasional Matra Darat. Dilanjutkan pada tahun 1978, Bakosurtanal memperoleh 2 pesawat pemotretan udara, berjenis Taurus King Air Type A-90, yang dilengkapi kamera ganda RC-10 dan 10 alat penentuan posisi dengan Teknik Doppler. Ini digunakan pada program Resources Evaluation Aerial Photography (REAP). Sejak tahun 1980, Program Natural Resource Information System Network berlangsung. Dan diubah namanya menjadi Sistem Informasi Geografi Nasional (SIGNas) tahun 1990-an, dan kini menjadi Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN) dengan dasar Perpres 27 Tahun 2014.
ADVERTISEMENT
Melalui lahirnya UU tentang Cipta Kerja, peran penting informasi geospasial, makin terakomodasi. Informasi geospasial jadi bagian yang tidak terpisahkan dari roda ekonomi negara. Keterbukaan dan peran informasi geospasial jadi bagian penarik investasi. Ini sangat relevan dengan lahirnya perpres tentang kerjasama pemerintah pusat dengan BUMN dalam penyelenggaraan informasi geospasial dasar, yang bertujuan untuk menarik investasi menuju kemandirian bangsa.
Transformasi peran peta yang kini jadi informasi geospasial, tak hanya berhenti pada titik ini. Era digital dengan kencang mendorong penggunanya memanfaatkan teknologi. Ini termasuk teknologi lokasi, untuk memudahkan kehidupan yang dijalaninya. Di masa mendatang, informasi geospasial penghubung antara dunia nyata dan metaverse. Kendaraan nir pengemudi pun, bisa diwujudkan dengan data dan informasi geospasial yang akurat. Demikian pula, data dan informasi geospasial jadi bagian dari teknologi teleportasi. Manusia adalah mahluk Tuhan yang paling bijaksana. Maka tentunya akan menggunakan akal dan budidayanya untuk kehidupan yang lebih baik, demikian pula dalam memanfaatkan informasi geospasial.
ADVERTISEMENT