Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Membangun Efektivitas Kerja "Kabinet Harmonis"
12 November 2024 14:38 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Agung Hendarto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pelantikan kabinet Prabowo pada 21 Oktober 2024 menandai titik penting dalam politik Indonesia. Sayangnya tidak ada sambutan presiden yang menjelaskan visi atau semacam mission statement untuk program pembangunan lima tahun ke depan. Kita hanya disuguhi komposisi menteri yang beragam—yang mencakup aktivis, artis, pebisnis, politisi, agamawan, profesional, dan akademisi— yang mencerminkan upaya presiden untuk menciptakan "kabinet harmonis." Keberagaman anggota kabinet ini sekaligus membawa tantangan tersendiri bagi presiden terkait koordinasi dan efektivitas pelaksanaan program pembangunan.
ADVERTISEMENT
Kabinet baru ini dihadapkan pada isu-isu mendesak. Pengangguran mencapai 7,2 juta dan angka kemiskinan masih tinggi, sekitar 25,22 juta. Ketidakmerataan pendapatan tercermin dari rasio Gini yang mencapai 0,379, menandakan kesenjangan yang lebar. Skor Indeks Persepsi Korupsi yang hanya 3,85 mencerminkan rendahnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Di sektor pendidikan, Indonesia menempati posisi 15 terendah dalam Program for International Student Assessment (PISA), sedangkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang berada di angka 0,713 menunjukkan bahwa Indonesia masih jauh dari standar pembangunan yang diharapkan, terutama dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Menghadapi tantangan-tantangan ini, Prabowo perlu menggabungkan kekuatan politisi dan teknokrat. Politisi harus merumuskan kebijakan yang tepat, sementara teknokrat bertugas memberikan analisis berbasis data yang mendalam. Sinergi ini penting untuk memastikan program pembangunan berjalan efektif dan berkelanjutan. Max Weber dalam bukunya Politics as a Vocation menekankan bahwa politik adalah panggilan untuk mengelola sumber daya demi kesejahteraan publik. Dalam kerangka ini, politisi merumuskan kebijakan yang mencerminkan aspirasi rakyat, sementara teknokrat berperan sebagai pelaksana yang memiliki keahlian di bidangnya. Keterpaduan antara kedua elemen ini bisa menjadi kunci untuk mengatasi tantangan dalam pelaksanaan program-program pembangunan.
ADVERTISEMENT
Pendekatan "delivery unit" menjadi alternatif solusi dalam konteks ini, berfokus pada peningkatan efisiensi dan efektivitas pemberian layanan publik. Pendekatan ini bertujuan untuk mencapai hasil konkret yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat, dengan mendorong penggunaan data untuk mengidentifikasi masalah, memantau kemajuan, dan mengukur dampak program. Selain itu, pentingnya koordinasi antarlembaga diharapkan dapat meningkatkan sinkronisasi dan efektivitas layanan.
"Delivery unit" juga menekankan pemberdayaan tim dengan otonomi lebih besar untuk mengambil keputusan, menjamin pengelolaan sumber daya yang efisien dan pencapaian hasil yang diinginkan. Dalam konteks kabinet Prabowo, penerapan teori ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan kerja kolaboratif, di mana berbagai lembaga pemerintah bekerja sama untuk menyelesaikan masalah pembangunan yang kompleks.
Salah satu tokoh yang sering dikaitkan dengan pemikiran ini adalah Dwight D. Eisenhower, yang dikenal dengan pendekatan sistematis dalam manajemen kebijakan. Michael Barber juga menjadi sosok kunci yang mengembangkan konsep "delivery unit," yang menekankan efektivitas dalam pemberian layanan publik. Prinsip-prinsip Barber diharapkan dapat meningkatkan koordinasi dan kinerja program-program pembangunan, sehingga kabinet mampu menghadapi tantangan secara lebih efektif.
ADVERTISEMENT
Politisi memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan sebagai wakil rakyat. Mereka harus mendengarkan suara konstituen dan menerjemahkannya menjadi kebijakan publik. Namun, pemahaman teknis mereka tentang implementasi seringkali tidak sebanding dengan kemampuan dalam merumuskan kebijakan. Di sinilah peran teknokrat sangat krusial, memberikan analisis berbasis data yang mendukung keputusan yang diambil.
Indonesia pernah memiliki lembaga serupa "delivery unit," meskipun kinerjanya belum optimal, seperti Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan (Sesdalopbang) era Orde Baru yang bertugas memberikan dukungan staf dan administrasi sehari-hari kepada Presiden dalam menyelenggarakan pengendalian operasional pembangunan. Sementara Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) era SBY bertugas membantu Presiden dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian pembangunan. Sedangkan Kantor Staf Presiden (KSP) era Jokowi berfungsi mengendalikan pelaksanaan 3 kegiatan strategis yaitu pelaksanaan pogram prioritas nasional, komunikasi politik kepresidenan, dan pengelolaan isu strategis.
Praktik serupa terlihat di negara lain. Di Amerika Serikat, Office of Management and Budget (OMB) mengawasi pelaksanaan anggaran federal dan kebijakan administrasi, dengan tim teknokrat berpengalaman memastikan keselarasan kebijakan dengan data. Di Inggris, Prime Minister’s Delivery Unit (PMDU) berfokus pada pengukuran hasil dan pencapaian tujuan. Singapura juga memiliki unit di Prime Minister's Office (PMO) yang bertanggung jawab untuk pemantauan dan evaluasi kebijakan.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan program pembangunan sangat bergantung pada kolaborasi sinergis antara politisi dan teknokrat. Politisi harus menciptakan iklim yang mendukung bagi teknokrat, sementara teknokrat harus memberikan masukan objektif yang tidak terpengaruh kepentingan politik. Tantangan kolaborasi ini tetap ada, termasuk potensi konflik kepentingan. Oleh karena itu, mekanisme pengawasan yang transparan dan akuntabel diperlukan, bersama pelatihan bagi kedua kelompok agar politisi memahami aspek teknis kebijakan.
Dalam dunia yang semakin kompleks, pembentukan kabinet yang didukung oleh "delivery unit" teknokrat adalah langkah strategis untuk memastikan keberhasilan program pembangunan. Kombinasi politisi yang memahami aspirasi masyarakat dan teknokrat yang menguasai implementasi menjadi kunci untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Mewujudkan kolaborasi ini bukanlah hal mudah, tetapi dengan komitmen dan dialog konstruktif, potensi untuk menciptakan perubahan positif bagi masyarakat dapat tercapai. Pengalaman Indonesia dan praktik terbaik dari negara lain menunjukkan bahwa sinergi antara politisi dan teknokrat sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan pembangunan yang sesungguhnya. Pertanyaannya, apakah Prabowo akan menjadikan KSP sebagai "delivery unit" Kabinet Merah Putih demi efektivitas pemerintahannya atau tidak diperlukan "delivery unit" dalam pemerintahannya?
ADVERTISEMENT